Area rumah tangga! Bagaimana jika keuangan rumah tangga dihandle oleh mertua? Dan bagaimana pula apabila seorang suami selalu bertumpu kepada ibu dan saudara-saudarinya, tanpa peduli akan perasaan istri? Akankah seorang istri mampu untuk bertahan? Atau karma tragis akan menimpa para pecundang? Yuk, baca dan ikuti terus novel ini ya. Terimakasih ...
View MoreBab 1 Pakaian Bekas Ibu Masih Banyak. Buat Apa Beli Yang Baru?
"Mas, bagaimana kalau Adek beli gamis baru untuk di pakai pas acara pernikahan Cindi Nanti?"
Aku mendekati Mas Galih yang sedang duduk santai di teras rumah dan mencoba merayunya.
"Lho baju lebaran mu kemarin kan masih bagus, Dek?" Mas Galih mengernyitkan dahi.
Aku menghela nafas kecewa. ini pertanda buruk. Dari nada suaranya saja terdengar keberatan.
"Mas, baju lebaran saya kemarin sudah enggak muat lagi. Apalagi di bagian perut. Bisa sesak nafasku,"
Aku mengelus perut yang sudah membesar.
"Enggak gitu juga kali Dek, Mas lihat baju kemarin itu masih cukup besar di badanmu,"
Lagi-lagi aku kecewa dengan jawabannya.
"Mas, Mas mau melihat aku sesak nafas di acara pernikahan Cindi?" Aku cemberut.
Acara resepsi pernikahan Cindi, adik bungsu Mas Galih akan di selenggarakan sepuluh hari lagi. Aku merasa perlu juga sesekali berdandan cantik. Sudah capek rasanya sehari-hari dengan gamis dan daster-daster bekas mertuaku. Daster warisan. Di antara daster-daster itu sudah banyak yang bolong-bolong akibat termakan usia.
Bukan tidak bersyukur, tapi sebagai istri yang sedang hamil anak pertama, aku kecewa. Ingin rasanya sesekali mencoba mencicipi daster baru, atau gamis baru. Apalagi di acara penting keluarga.
"Kalau begitu, ya sudahlah, Mas,"
Dengan gontai aku melangkah masuk. Sebulir tetesan kuning menetes dari sudut. Sebegitu susahkah untuk sekedar membeli selembar gamis?
"Dek," sebuah tangan menggenggam jemari ku dari belakang.
Aku menoleh,
"Ada apa lagi, Mas?"
"Adek marah?" Tanyanya.
Sepatutnya sebagai suami ia tidak perlu bertanya lagi.
"Tidak." Jawabku.
Dalam hati aku berkata memang benar aku tidak marah, tapi lebih tepatnya kesal. Kesal dengan sikapnya yang selalu saja tidak mengindahkanku.
"Dek, nanti aku bicarakan sama ibu. Adek yang sabar dulu ya,"
Aku menghela nafas. Selalu saja begitu, apa-apa selalu mau bilang sama ibu terlebih dahulu.
"Nggak usah, Mas." Jawabku.
Aku melangkah, namun lagi-lagi mas Galih menahanku.
"Ya udah jangan marah, Sayang. Mas akan usahakan," ujarnya cepat.
"Baiklah."
Aku menjawab tanpa memandang ke mukanya.
Terlihat Mas Galih menuju ke lantai atas, ingin menemui ibunya mungkin. Ya selama ini ibu mertuaku yang memegang seluruh kendali kebutuhan rumah. Mulai dari membeli kebutuhan dapur, listrik, air, hingga pakaian dalam, semuanya ibu mertuaku yang ngatur.
Sial memang hidupku, kurang lebih sepuluh juta dari gaji Mas galih sebagai anggota pejabat di kantor perusahaan swasta, bagianku hanya lima ratus ribu sebulan. Selebihnya ibu mertuaku yang pegang. Dengan alasan untuk kebutuhan seisi rumah.
"Kiara, tolong rapikan meja makan ya! Sebentar lagi sudah waktunya kita makan malam," teriak ibu mertua dari pucuk tangga di lantai dua.
Tanpa menjawab aku melangkah ke dapur.
Ku pandang meja makan yang baru saja di utak-atik sama Angga, suami Mbak Megan kakak sulung Mas Galih yang juga tinggal di rumah ini.
Aku berusaha menahan kehidupan ini karena anak di perutku.
Untuk mengadu pada orang tua, aku tak mempunyai nyali yang cukup. Pernikahanku dan Mas Galih dulu memang menuai ketidaksetujuan Papa.
Namun karena cintaku sama Mas Galih, akhirnya pernikahan itu tetap terjadi juga.
Sekarang, untuk menyembunyikan nasibku yang apes, terpaksa aku pura-pura bahagia di depan kedua orang tuaku.
***
"Bu," seorang lelaki menghampiri seorang ibu yang berpakaian rapi yang sedang duduk di sofa."Ada apa Galih?" Tanggap wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar pipih di tangan.
"Mmm, bisa Galih bicara sebentar?" tanya Galih.
"Ya,"
"Masih adakah sisa uang Galih di tangan Ibu?" Tanya Galih hati-hati.
"Kenapa bertanya soal uang, Nak?"
"Begini, Bu. Aku ingin membelikan Kiara pakaian untuk ia kenakan di acara resepsi pernikahan Cindi nanti," ujar Galih menjelaskan.
Bu Farah, ibunya Galih meletakkan ponselnya ke atas meja.
"Galih, pakaian ibu banyak, bagus-bagus lagi. Gamis ibu juga masih selemari penuh yang tidak terpakai. Semuanya pas di tubuh istrimu. Buat apa membeli yang baru kalau yang ada masih lebih dari cukup? Jangan ajari istrimu untuk berboros, Nak! Cari uang itu susah. Apa kau ingin istrimu hidup bergelimang kesenangan, sedangkan kau sendiri yang kesusahan mencari pendapatan"
Bab 63 Disebuah teras hotel, dua orang tengah bertengkar mulut. Seorang perempuan dengan muka kusam dan pakaian yang sangat biasa-biasa saja, mengomel ngomel tidak karuan kepada seorang laki-laki berpakaian necis. Terlihat sekali jika omelan perempuan itu tak berguna dimata laki-laki kaya di depannya. "Praska kau tidak boleh melepaskan tanggung jawab begitu saja. Ingat ..! aku ini sedang mengandung anakmu. Sebentar lagi ia akan lahir ke dunia. Kau harus bertanggung jawab penuh, Praska!" Celine berucap tegas. "Enak saja ... Apa buktinya kalau janin yang sedang kau kandung itu adalah putraku? Kau tidak boleh asal bicara begitu saja. Minta saja pertanggungjawaban sama Galih. Dia kan mantan suamimu. tentu saja yang kau kandung di perutmu juga darah dagingnya, ngapain minta tanggung jawab sama saya. Kurang kerjaan aku ngurus anak orang," timp Praska jengkel. 
Bab 62 Celine mengelus perutnya. Bahunya bersandar pada seorang lelaki yang bebas mengekspos tubuhnya. "Sayang, kapan kau akan menikahiku?"tanya Celine. "Sabar dulu, Sayang. Oh ya bagaimana uang dari mertuamu kemarin? Apakah sudah ada? Usahaku sedang membutuhkan banyak uang ini. Supaya lebih lancar ya dana juga harus banyak masuk," Praska memulai bahasan. "Soal itu sih aku belum sempat menanyakannya sama Galih dan ibunya. Lagian hubungan di antara kami juga sedang tidak baik." Jawab Kiara. "Haduuh, Sayang. Rugi dong kalau kamu tak ambil uang itu. Lumayan buat nambah isi kantong," ucap Praska lagi. Celine diam benerapa saat. "Oh ya, baiklah. Nanti akan ku coba untuk kembali berbicara kepada mereka," jawab Kiara. "Tapi janji, Ya, Sayang. Jamu harus cepet-
Bab 61 Kiara berjalan menyusuri lorong kantor. Memasuki ruang kerjanya. Ia merasakan ada hal yang berbeda hari ini. Ya, ia tersadar biasanya ada seseorang yang akan menyapanya setiap pagi, dan kali ini tidak. Ingatannya langsung tertuju pada seseorang. "Huuuh, mengapa harus aku mengingatnya? Kiara, lupakan dia," batin Kiara bersikeras meyakinkan hati. Jam kerja tiba, Kiara mulai sibuk menyelesaikan satu persatu apa yang menjadi tugasnya. Tiba-tiba saja ia merasa kesulitan. "Ah laki-laki itu lagi ...!" Gerutu Kiara. Kembali ia tersadar jikalau kapanpun ia mengalami kesulitan pasti akan bertanya pada sosok yang bernama Mahendra. Suasana memang benar-benar tak lagi sama. Mau tidak mau Kiara mengaku jika merasakan sepi tanpa kehadiran Mahendra. &nbs
Bab 60 "Ada perlu apa kau pada orang tuaku ...?" desak Kiara. "Apa kau ingin mengumbar kata-kata yang sama sekali tidak perlu?" "Kiara, kau sungguh marah padaku hanya karena kata-kata di kertas itu kemarin?" Mahendra bertanya dengan mata sendu dan memerah. "Tanya saja dirimu. Aku kasih tahu kamu sekarang, bahwa aku sama sekali tidak menyukai kata-kata seperti itu," lanjut Kiara lagi. "Kiara, maafkan aku. Aku sungguh tidak sengaja meletakkan kertas itu pada dokumenmu. Karena kau sudah terlanjur melihat, maka aku akan berkata jujur. Tulisan itu kutulis tepat pada hari di mana Galih mengucapkan ikrar ijab Kabul kalian di depan penghulu. Sekarang aku katakan, Kiara. Aku mencintaimu sejak dulu. Tapi ternyata kau lebih memilih Galih. Terus terang aku kecewa. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan sama sekali tidak bisa menyala
Bab 59 "Lho kok ini mapnya ada dua ...? Lhoo ... Yang ini beda, punya siapa ya?" Kiara menggumam. Tangannya memegang isi map. Ingin membukanya. Hupp ... Selembar kertas terjatuh. Tiara melirik ke kertas tersebut, dan memperhatikannya baik-baik. Seketika dahinya mengernyit. "Kenapa ada fotoku di sini?" Dan bukan hanya foto itu yang mengusik perhatian Kiara, namun goresan-goresan kata di sana juga cukup membuatnya bertanya-tanya. Karena rasa penasaran ia mencoba untuk membaca goresan tinta yang tertoreh di kertas putih tersebut. [Ya, Tuhan ... ternyata selama ini aku mempunyai perasaan yang salah. Aku mencintai wanita yang tida
Bab 58 Sementara itu, di sebuah apartemen. Seorang pria duduk menghadap ke layar laptop. Mengerjakan kinerja yang belum selesai tadi siang. Sebentar-sebentar matanya melirik ke sebuah potret yang sengaja ia pajang pada dinding ruang kerjanya. Sebuah potret wanita yang ia kagumi sejak dahulu. Perlahan ia menarik sebuah lembaran yang ia tulis beberapa tahun yang lalu. Dimana disana ia mencurahkan rasa kecewa yang dalam ketika mendengar wanita yang ia puja-puja akan menikah dengan pria lain. Sebuah foto kecil menyertai lembaran tersebut dengan lukisan wajah yang cukup ayu dengan sorot mata jernih dan bulu mata yang lentik. "Ya Tuhan, seandainya saja ia bisa benar-benar menjadi milikku," gumamnya dalam hati. Sebenarnya siapakah wanita yang ia maksud? Wanita itu adala
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments