Bab 6 Jangan Mengeruk Uang Anakku!
"Tolong, jangan hina keluargaku! Mereka tidak bersalah dalam hal ini, Bu!"
"Aku tidak menyalahkan, kok. Cuma mengatakan kenyataan. Mengapa kau harus tersinggung? Makanya, nyadar! Masih untung anak saya mau memungutmu menjadi istrinya. Dengan begitu kamu bisa tinggal di rumah sebesar ini. Bisa berbaur dengan keluarga Galih yang jauh beda kualitasnya di banding sama keluargamu. Seharusmya kau tahu diri tugasmu di rumah ini apa? Bukan untuk bermanja-manja, ataupun bersenang-senang. Bukan cuma untuk memanfaatkan uang anakku saja!" Bu Farah berucap dengan kesombongan bak anaknya pengusaha besar.
Benar-benar keterlaluan tuh mulut. Mulut judesnya tidak ketulungan.
Dalam situasi ini, aku teringat pada Papa.
'Maafkan Kiara, Pa. Dulu tidak mendengar nasehatmu. Maafkan Kiara yang dulu telah mengabaikan pesan dan tidak mengindahkan ucapanmu. Maafkan Kiara, Pa!' aku membatin di dalam hati.
Seperti kata Pepatah, menyesal itu memang belakangan. Ternyata seperti kata Papa, pilihanku memang tidak tepat. Keluarga ini sangat tidak menghargai orang lain.
"Kau tahu, Kiara! Dulu aku memang tidak menyetujui pernikahan kalian, makanya jadi perempuan jangan ganjen. Saya tahu betul, dulu kau yang terlalu kegatalan mempengaruhi anak laki-lakiku satu-satunya. Sampai-sampai ngotot ingin dinikahi," tuduh Bu Farah lagi.
"Bu, kalau ingatan ibu masih kuat, seharusnya Ibu ingat dulu ketika Mas Galih memohon-mohon ingin menikahiku? Apa Ibu sudah lupa? Kami berjodoh karena takdir Tuhan. Bukan karena aku ganjen. Apalagi sampai pengaruh-mempengaruhi. Tidak, Bu! Aku tidak serendah itu. Tidak perlu harus mengemis-ngemis untuk sekedar bisa di nikahi oleh Mas Galih," balasku.
Mendengar perkataanku muka Bu Farah semakin bersemu merah. Alis matanya semakin terlihat melengkung laksana celurit. Akan tetapi penampakan pada wajahnya tidak cukup mudah untuk membuatku gugup.
Kuperhatikan, beliau tidaklah seistimewa seperti yang sering beliau banggakan selama ini. Tampang dan gayanya biasa saja, tidak begitu menarik sebagaimana ibu-ibu sosialita yang kebanyakan kulihat. Penampilannya lebih terkesan pada dandanan yang menor dan berlebihan.
Bahkan pakaian mahal yang menempel pada tubuhnya, sama sekali tidak mampu memberikan kesan elegan
"Kiara ...! Kau pikir kau pantas melawanku seperti ini? Anak kandungku saja tidak pernah menentangku. Kamu yang pendatang baru di rumah ini malah berani untuk bersikap kurang sjar. Dimana hati nuranimu? Haa?" Bentak ibu mertuaku menggelegar.
Kali ini keberanianku kian berkuasa.
"Bu, sebelum bertanya dimana hati nuraniku, sebaiknya ibu lempar pertanyaan itu pada diri ibu sendiri!"
Malas untuk berdebat lebih lama, aku mencoba untuk melangkah menjauh.
"Hei, tunggu? Mau menghindar kemana?" Bu Farah menarik tanganku secara paksa.
"Ibu mau apalagi?" Tanyaku.
"Enak sekali kau bertanya. Karena kau telah melawanku, sekarang kuperingatkam kamu, jangan pernah lagi kau mengeruk dan memanfaatkan uang anak lelakiku!" Ucap Bu Farah dengan kasar.
Kali ini kubalas tatapan matanya dengan tidak kalah tajam.
"Aku tidak pernah mengeruk uang anak laki-laki Ibu. Bukankah uang Mas Galih Ibu yang pegang? Ibu yang atur? Jadi tidak usah bicara soal uang anak Ibu padaku!" Imbuhku.
"Kiara, aku ini ibunya. Ibu yang melahirkan dan membesarkannya, menyekolahkannya tinggi-tinggi hingga bisa mendapatkan pekerjaan terhormat seperti sekarang. Lalu setelah dia sukses, kau pikir bisa menyetir uangnya sesuka hati? Tidak, Kiara. Aku lebih berhak dibanding kamu. Karena didikankulah Galih bisa bekerja dan bergaji besar seperti saat ini,"
Dengan kesombongan yang nampak begitu jelas dari mimik wajahnya, Bu Farah berucap kasar dan sangar seolah aku ini bergantung hidup seratus persen pada anaknya.
"Baik, Bu. Mulai saat ini, aku tidak akan menerima uang dari Mas Galih. Silahkan Ibu pegang gajinya secara keseluruhan. Ambil semua gajinya ...!"
Bab 63 Disebuah teras hotel, dua orang tengah bertengkar mulut. Seorang perempuan dengan muka kusam dan pakaian yang sangat biasa-biasa saja, mengomel ngomel tidak karuan kepada seorang laki-laki berpakaian necis. Terlihat sekali jika omelan perempuan itu tak berguna dimata laki-laki kaya di depannya. "Praska kau tidak boleh melepaskan tanggung jawab begitu saja. Ingat ..! aku ini sedang mengandung anakmu. Sebentar lagi ia akan lahir ke dunia. Kau harus bertanggung jawab penuh, Praska!" Celine berucap tegas. "Enak saja ... Apa buktinya kalau janin yang sedang kau kandung itu adalah putraku? Kau tidak boleh asal bicara begitu saja. Minta saja pertanggungjawaban sama Galih. Dia kan mantan suamimu. tentu saja yang kau kandung di perutmu juga darah dagingnya, ngapain minta tanggung jawab sama saya. Kurang kerjaan aku ngurus anak orang," timp Praska jengkel. 
Bab 62 Celine mengelus perutnya. Bahunya bersandar pada seorang lelaki yang bebas mengekspos tubuhnya. "Sayang, kapan kau akan menikahiku?"tanya Celine. "Sabar dulu, Sayang. Oh ya bagaimana uang dari mertuamu kemarin? Apakah sudah ada? Usahaku sedang membutuhkan banyak uang ini. Supaya lebih lancar ya dana juga harus banyak masuk," Praska memulai bahasan. "Soal itu sih aku belum sempat menanyakannya sama Galih dan ibunya. Lagian hubungan di antara kami juga sedang tidak baik." Jawab Kiara. "Haduuh, Sayang. Rugi dong kalau kamu tak ambil uang itu. Lumayan buat nambah isi kantong," ucap Praska lagi. Celine diam benerapa saat. "Oh ya, baiklah. Nanti akan ku coba untuk kembali berbicara kepada mereka," jawab Kiara. "Tapi janji, Ya, Sayang. Jamu harus cepet-
Bab 61 Kiara berjalan menyusuri lorong kantor. Memasuki ruang kerjanya. Ia merasakan ada hal yang berbeda hari ini. Ya, ia tersadar biasanya ada seseorang yang akan menyapanya setiap pagi, dan kali ini tidak. Ingatannya langsung tertuju pada seseorang. "Huuuh, mengapa harus aku mengingatnya? Kiara, lupakan dia," batin Kiara bersikeras meyakinkan hati. Jam kerja tiba, Kiara mulai sibuk menyelesaikan satu persatu apa yang menjadi tugasnya. Tiba-tiba saja ia merasa kesulitan. "Ah laki-laki itu lagi ...!" Gerutu Kiara. Kembali ia tersadar jikalau kapanpun ia mengalami kesulitan pasti akan bertanya pada sosok yang bernama Mahendra. Suasana memang benar-benar tak lagi sama. Mau tidak mau Kiara mengaku jika merasakan sepi tanpa kehadiran Mahendra. &nbs
Bab 60 "Ada perlu apa kau pada orang tuaku ...?" desak Kiara. "Apa kau ingin mengumbar kata-kata yang sama sekali tidak perlu?" "Kiara, kau sungguh marah padaku hanya karena kata-kata di kertas itu kemarin?" Mahendra bertanya dengan mata sendu dan memerah. "Tanya saja dirimu. Aku kasih tahu kamu sekarang, bahwa aku sama sekali tidak menyukai kata-kata seperti itu," lanjut Kiara lagi. "Kiara, maafkan aku. Aku sungguh tidak sengaja meletakkan kertas itu pada dokumenmu. Karena kau sudah terlanjur melihat, maka aku akan berkata jujur. Tulisan itu kutulis tepat pada hari di mana Galih mengucapkan ikrar ijab Kabul kalian di depan penghulu. Sekarang aku katakan, Kiara. Aku mencintaimu sejak dulu. Tapi ternyata kau lebih memilih Galih. Terus terang aku kecewa. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan sama sekali tidak bisa menyala
Bab 59 "Lho kok ini mapnya ada dua ...? Lhoo ... Yang ini beda, punya siapa ya?" Kiara menggumam. Tangannya memegang isi map. Ingin membukanya. Hupp ... Selembar kertas terjatuh. Tiara melirik ke kertas tersebut, dan memperhatikannya baik-baik. Seketika dahinya mengernyit. "Kenapa ada fotoku di sini?" Dan bukan hanya foto itu yang mengusik perhatian Kiara, namun goresan-goresan kata di sana juga cukup membuatnya bertanya-tanya. Karena rasa penasaran ia mencoba untuk membaca goresan tinta yang tertoreh di kertas putih tersebut. [Ya, Tuhan ... ternyata selama ini aku mempunyai perasaan yang salah. Aku mencintai wanita yang tida
Bab 58 Sementara itu, di sebuah apartemen. Seorang pria duduk menghadap ke layar laptop. Mengerjakan kinerja yang belum selesai tadi siang. Sebentar-sebentar matanya melirik ke sebuah potret yang sengaja ia pajang pada dinding ruang kerjanya. Sebuah potret wanita yang ia kagumi sejak dahulu. Perlahan ia menarik sebuah lembaran yang ia tulis beberapa tahun yang lalu. Dimana disana ia mencurahkan rasa kecewa yang dalam ketika mendengar wanita yang ia puja-puja akan menikah dengan pria lain. Sebuah foto kecil menyertai lembaran tersebut dengan lukisan wajah yang cukup ayu dengan sorot mata jernih dan bulu mata yang lentik. "Ya Tuhan, seandainya saja ia bisa benar-benar menjadi milikku," gumamnya dalam hati. Sebenarnya siapakah wanita yang ia maksud? Wanita itu adala
Bab 57 Galih menyibak tirai, seberkas sinar cahaya matahari pagi menerobos masuk. Yang melirik jam tangannya, "Sudah hampir pukul 08.00 pagi. Astaga ...!" Lelaki itu tereranjat. Dengan bergegas, Galih menuju ke kamar mandi. Sepeninggal Galih, Celine membuka mata. Matanya tertuju pada tirai yang sudah tersingkap. "Sudah siang rupanya ..." Celine menggeliat. Namun sejenak kemudian ia kembali menarik selimut. "Ah biarin ajah ... Toh ada Bu Farah yang mengerjakan semua kerjaan rumah," imbuhnya seraya kembali meringkuk. Baru saja ia ingin kembali terlelap, tiba-tiba Celine merasa perutnya bergolak. "Aduh ... Kenapa ini perut? Kok jadi mules sih ..." Gerutunya. "Hueekh ...!" Celine tidak tahan menahan
Bab 56 "Celine, memangnya apa saja sih yang kamu laporin sama anakku? Sampai-sampai dia sekarang membenciku sedemikian rupa. Apakah kamu memang berniat untuk memisahkan kami?" Bu Farah terlihat geram. Celine yang baru saja pulang, terlihat melengos dengan pertanyaan Bu Farah. "Huuh ... Siapa juga yang ingin memisahkan kalian, mau ibu ambil Galih seutuhnya pun aku tak mengapa," tanggap Celine cuek. "Apa maksudmu?" Bentak Bu Farah. "Dasar aneh ...," celetuk Celine sambil berlalu. "Kamu dengar apa tidak aku tanya apa?" hlang Bu Farah. "Halah ... Tidak usah terlalu banyak tanya, Bu. Apa Ibu benar-benar ingin aku memisahkan ibu sama Mas Galih? Kalau ibu menginginkannya tidak apa-apa, akan kulakukan dengan senang hati," ujar Celine sinis.  
Bab 55 "Wah, lumayan juga ini duitnya, Mas...!" Sinar mata Celine berbinar-binar melihat lembaran-lembaran uang di tangan Galih. "Ya, cukuplah buat bayar sewa rumah dan untuk biaya makan kita," sahut Galih. "Hmmm ... Cuma buat bayar sewa rumah dan makan doang?" Tanya Celine dengan sungut manjanya. Galih sudah bisa membaca apa yang diinginkan istri cantiknya tersebut. "Iya, Sayang ... Jangan cemberut dulu dong," Galih membelai dagu Celine lembut. "Kamu jangan khawatir, Mas pasti akan memberimu sebagian dari uang-uang ini," lanjut Galih kemudian. Mendengarnya, wajah Celine berubah lebih sumringah. "Mas ...!" rengeknya. "Ya, Sayang" "Mmm ... Mas mau kasih berapa buat aku?" ucapnya dengan manja yang di buat-buat.