"Kenapa Bu Fatimah?" tanya Ibu tidak sabaran.
"Anak saya itu duda anak satu," lanjutnya. Ayah langsung melirikku, kuhela napas panjang tidak tahu harus menjawab apa. Semua keputusan kuserahkan ke Ayah. Kalaupun Ayah setuju, maka aku pun ikhlas menerima.
Kalau boleh memilih, aku akan menolak. Bukan karena mendengar dia duda, tapi lebih ke rasa trauma yang belum hilang. Aku masih takut, masih terbayang kegagalan yang telah lalu. Lebih tidak tega melihat Ayah yang bersikeras mencarikanku calon suami.
"Kami boleh ketemu anak Ibu? Setidaknya kami ingin melihat dan menilai seperti apa dia. Saya rasa ini hal yang lumrah bukan?" Pertanyaan Ayah dianggukkan kepala oleh Bu Fatimah.
"Orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, apalagi untuk pendamping hidup. Saya pun tidak dapat memutuskan sekarang, izinkan kami berunding terlebih dulu," sambung Ayah.
"Iya, saya mengerti. Nanti saya akan minta dia longgarkan waktu untuk bertemu Bapak dan keluarga. Kebetulan dia sangat sibuk," jelas Bu Fatimah.
"Memangnya apa pekerjaan anak Ibu?" tanya Ibu tampak penasaran.
"Dia cuma karyawan biasa. Biasalah, akhir bulan selalu dikejar deadline." Bu Fatimah menyunggingkan seulas senyum tipis.
"Oh." Ibu membulatkan bibir dengan menarik satu sudut bibirnya.
"Terima saja, Yah. Daripada tidak ada sama sekali. Susah kan mencari lagi, memang mau anaknya jadi perawan tua."
Degh. Kutolehkan kepala ke arah Ibu.
Tega. Kenapa Ibu menyebutku begitu di hadapan Bu Fatimah? Setidaknya jangan menjatuhkan harga diriku di depan orang yang ingin melamar.
Wanita paruh baya yang duduk di hadapanku hanya tersenyum tipis saat kami terpaut pandang.
"Maaf, Bu. Sebelumnya terima kasih sudah berkenan datang kemari ingin melamar anak kami--Maysarah. Seperti yang sudah-sudah, kami akan pertimbangkan setiap tawaran yang datang termasuk dari Ibu," ucap Ayah dengan sopan. Ayah juga memberikan nomor telepon yang bisa dihubungi, begitupun sebaliknya dari pihak Bu Fatimah.
Setelah pembicaraan dirasa cukup, Bu Fatimah pun pamit pulang. Tidak lupa dia juga memperlihatkan gambar anaknya yang kuketahui bernama Samudra. Tampan. Dilihat dari gambar tersebut, umurnya sekitar tiga puluhan.
***
"Ibu apa-apaan menyebut May begitu di depan Bu Fatimah?" Ternyata Ayah tidak terima aku dikatakan begitu oleh Ibu. Beliau membahasnya lagi setelah BunFatimah pergi. Aku masih berada di hadapan mereka, belum beranjak masuk ke kamar.
"Loh, salah lagi kan Ibu. Lihat May, semua yang Ibu katakan selalu salah di mata ayahmu." Aku mendesah berat melihat perselisihan ini terus terjadi di antara mereka.
"Memang salah kalau Ibu minta Ayahmu menerima lamaran wanita tadi?" Gegas Ibu bertanya tajam ke arah Ayah.
"Bukan masalah lamaran, tapi ucapan Ibu yang bilang May menjadi perawan tua," tegur Ayah menjawab pertanyaan Ibu.
"Benar kan? Apa yang salah. Kalau ditolak siapa lagi yang mau menikahi May. Ini momen yang pas saat May gagal ke jenjang pernikahan, dan ada yang menggantikan. Apalagi para tetangga sudah banyak yang berbisik menyebut May anak sial."
"Ibu!" Bentak Ayah. Tetiba ia memegang dada sebelah kiri meringis kesakitan.
"A--ayah? Ayah kenapa? Jantungnya kumat lagi?" Aku segera merangkulnya, bertanya dengan cemas. Ia menggeleng. Ibu secepat kilat pergi dan datang kembali membawakan obat Ayah.
"Yah, minum dulu obatnya," pinta Ibu menyodorkan obat ke tangan Ayah.
"Istirahat dulu, Yah. Jangan banyak pikiran. Maafkan perkataan Ibu tadi." Tampak penyesalan dari perkataan Ibu barusan. Setelah menegak obatnya, Ibu menuntun Ayah masuk kamar.
Ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Aku harus mengambil keputusan. Aku tidak mau Ayah terlalu keras memikirkan anaknya ini yang belum menikah juga. Biarlah luka yang menganga ini harus diobati dengan senyuman Ayah. Mungkin lukaku akan berangsur sembuh. Demimu Ayah, May akan menerima lamaran ini apapun resikonya.
***
"Ya, mau gimana lagi, gue kesal sama dia." Samar kutangkap suara yang tidak asing di telinga. Kutajamkan Indra pendengaran.
"Tega Lu ya, Nir. Padahal kakak Lu itu baik, kita aja kalau mampir ke rumah Lu selalu disuguhkan cemilan yang enak." Suara yang lain menimpali.
Aku duduk di salah satu cafe yang tempat dudukku berhadapan dengan dinding partisi berbahan kaca. Jadi suara dibalik dinding penyekat itu kedengaran tapi wajahnya tidak, karena kaca buram yang mengaburkan penglihatan. Aku sedang duduk menunggu seorang teman.
"Mau gimana lagi. Gue kesal Ayah itu terlalu sayang dengan anak kandungnya, sedangkan gue selalu di nomor duakan." Bukankah ini suara Nirmala.
"Namanya juga anak bawaan, ya disayanglah. Cuma cara Lu apa nggak keterlaluan. Sudah dua kali Lu gagalkan pernikahannya, dan ini mau yang ketiga kalinya. Apa lagi rencana Lu buat gagalin yang sekarang?"
Siapa yang dibicarakan mereka? Apakah itu aku? Yang gagal nikah sampai dua kali itu aku kan? Dadaku terasa berdegup kencang. Perasaanku jadi tak enak.
Jadi benar kecurigaanku selama ini kalau Nirmala lah dibalik semua kegagalan pernikahanku. Kenapa adik tiriku itu begitu tega melakukan semua ini? Apakah rasa irinya pada kasih sayang Ayah sampai menimbulkan kebencian yang mendalam?
Deg. Terlalu serius aku sampai tidak sadar tetiba ada tangan yang menepuk pundakku dari belakang. Siapa?
"May!""Astagfirullah," lirihku berucap sembari mengelus dada. Linda.Ternyata Linda yang menepuk bahuku dari belakang. Bikin kaget saja."Eh, kamu kenapa May tegang begitu? Kayak habis lihat setan saja. Ini di siang bolong loh May, jangan bilang aku setannya." Linda memundurkan kursi di sebelahku untuk duduk."Nggak. Nggak kok. Aku kaget saja." Kutempelkan jari telunjuk ke bibir isyarat diam pada Linda. Temanku ini terlihat bingung dengan mengernyitkan keningnya."Ada a--""Kak May!" Aku dan Linda refleks menoleh ke asal suara. Nirmala, jadi benar dia orang yang ada di sebelah tempatku duduk, yang hanya dibatasi dengan dinding partisi kaca."Kakak ada di sini, sedang apa?" Nirmala bertanya
Sejak aku tahu kebusukan hati Nirmala, sejak saat itu pula aku berhenti bersikap baik padanya. Tak ada senyum hangat untuk sang adik durjana.Kurang apa aku padanya? Setiap apa yang diinginkannya, selalu kupenuhi. Setiap dia ada kesulitan juga selalu ku tolong. Bahkan boneka kesayangan dulu, ku ikhlaskan untuknya karena dia menginginkannya, padahal boneka itu satu-satunya kenangan dari almarhumah Bunda.***Aku mau boneka itu, Bu …!" Rengekan Nirmala tak berhenti, saat melihat boneka kecil Teddy bear kesayangan yang berada di pelukanku."Itu kecil sayang, nanti Ibu beli yang besar sekali, iya kan Ayah?" Bujuk Ibu dengan mengerlingkan mata ke arah Ayah. Lelaki--ku itu mengangguk."Nggak! Aku mau
Hari yang disebutkan Ayah, akhirnya tiba juga. Bu Fatimah akan datang bersama Samudra, anaknya. Lucunya Nirmala jatuh sakit tepat di hari ini. Bagiku dia hanya pura-pura saja agar tetap berada di rumah. Entah apa yang akan direncanakannya, aku sudah berpasrah diri kalau memang laki-laki yang bernama Samudra itu bukan jodohku. Mungkin Tuhan sedang mempersiapkan jodoh terbaikNya."Biarlah dia tetap di rumah. Ibu malah khawatir kalau dia harus diungsikan ke tempat lain. Lagian Ayah kan tahu, Nirmala ini kalau sakit, orangnya manja banget. Dikit-dikit Ibu." Ibu menatap Nirmala dengan penuh cinta. Diusapnya lembut rambut bergelombang Nirmala. Ia terbaring lemah di tempat tidur dengan berselimutkan sampai batas leher."Memang kamu sakit apa, Nir? Kok mendadak," tanyaku menyelidik."Ehm ... Nggak tahu, tiba-tiba n
"apa!" Ibu terkejut mendengar siapa jati diri Samudra sebenarnya. Begitu juga dengan kami yang berada di sini. Aku bahkan tidak tahu menahu siapa sosok calon suamiku ini."Kenalkan Pak, saya Nirmala, anak marketing. Baru masuk dan masih dalam masa percobaan enam bulan." Tangan Nirmala masih mengambang di udara menunggu sambutan dari Samudra.Lelaki yang sedang ditunggu sambutan tangannya ini melirikku sekilas, lalu, "Samudra," jawabnya dengan menangkupkan kedua tangan di dada tanpa mengulurkan tangannya ke arah Nirmala. Aku kaget, apalagi melihat Bulan malah tertawa terkikik, melihat uluran tangan Nirmala yang tidak diterima ayahnya."Kayaknya Tante ini juga nggak tahu Nek, kalau bukan perempuan tidak boleh salaman," celoteh Bulan masih dengan tawa yang belum hilang. Aku sampai mengulum senyum saat Nirmala menarik tangannya dengan malu.&nbs
Aku mematut diri di cermin. Menatap bayangan sendiri. Kulepas kacamata yang sudah bertengger manis di pangkal hidung. Mengamati sebentar wajah ini tanpa kaca berbingkai dua tersebut, lalu memasangnya kembali.Perkataan Nirmala terngiang kembali di telinga. Apa hubungannya dengan kacamata ini? Aku hanya menggunakannya saat ke sekolah saja. Lagian ke sana buat ngajar, bukan buat narik perhatian kaum Adam. Heh! Saranmu tidak perlu keturuti. Gaya pakaian seharianku juga tidak kuno, apalagi ketinggalan jaman. Penampilanku masih modis. Lebih baik jadi diri sendiri. Tidak ingin juga jadi orang lain, apalagi jadi kamu, Nir.Kepalaku menoleh ke suara pintu yang berderit. Nirmala. Untuk apa lagi dia masuk ke kamarku sepagi ini? Apa gegara dia barusan muncul di benakku? Sepertinya aku harus memasang alarm di ponsel, sebagai pengingat untuk selalu mengunci pintu.
Setiap hari aktivitasku hanya seputar rumah dan sekolah. Setelah selesai ngajar, maka langsung pulang ke rumah. Pergi keluar kalau ada kepentingan mendesak saja atau memang ada ajakan dari teman terdekat. Itu pun perginya cuma sebentar. Biasanya pergi pas weekend atau libur ngajar.***"Kasihan ya Bu May. Gagal terus nikahnya. Mungkin kena karma ibunya kali. Iya kan Lin?" Kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam kantor guru, terhenti di depan pintu yang terbuka. Kuusap pelan dada, meredakan emosi yang mulai naik. Selalu saja ada yang mengaitkan tentang nasib burukku yang gagal menikah dengan almarhumah Bunda."Hussstttt! Jangan bicara sembarang. Memang takdir saja. Lagi pula mungkin itu cara Tuhan menyeleksi jodoh Bu May. Asal Bu Rahma tahu, calon Bu May yang sebelumnya nggak ada yang beres. Untunglah Bu May dikasih lihat terlebih dulu daripada menyesal di kemudian," timpal Linda membelaku. Linda memang
Tidak mungkin Ken--pemuja rahasiaku itu. Kalau memang ia, kenapa bisa menyukaiku dan memberikan banyak hadiah, serta untaian kata suka. Apa bagusnya aku di mata anak bau kencur ini? Penampilanku saja kalah jauh dengan siswi cantik yang sering dekat dan mengejarnya.Lagipula kalau kutanyakan tentang secret admirer itu, kurasa dia tidak akan mengaku, atau bisa jadi bukan dia. Justru malah aku yang malu karena sudah menudingnya sebagai sang pemuja rahasia. Itu memalukan. Mau ditaruh dimana mukaku saat ngajar nanti.Bukan, pasti bukan dia. Anak tengil ini tidak mungkin menyukaiku apalagi sampai mengajak menikah."Ada apa Bu? Saya ganteng. Udah biasa, Bu. Jangan melihat saya seperti itu, saya malah tambah ganteng jadinya. Kan Bu May bisa lihat sendiri kalau banyak cewek pada ngejar saya." Ken memuji dirinya sendiri karena kutatap intens. Nyesel rasanya menatapnya be
"Ken, Rio. Pulang ke rumah ya! Jangan keluyuran lagi dengan masih mengenakan seragam sekolah," perintahku pada dua anak didik yang salah satunya masih menatapku penuh tanya. Aku berlalu masuk ke dalam mobil duduk di samping Nirmala.Aku menatap lekat perempuan yang masih mengenakan pakaian kerja di sampingku ini."Bingung ya Kak, kenapa aku bisa berada di dalam mobil ini?" tanyanya sesuai dengan apa yang bersarang di benakku.Nirmala tersenyum sambil mendekatkan badannya lebih maju ke arahku."Pak Biru minta khusus aku buat nemani Kakak. Takut selera Kakak terlalu biasa atau rendahan." Nirmala tersenyum saat mengatakannya. Saat dia menekankan kata rendahan, aku tahu dia sedang mengejekku."Kenapa Kak? Masih tidak percaya?" Aku melengos dengan menatap ke depan."Atau perlu kuhubungi Pak Biru dan bilang calon istrinya t