Sejak aku tahu kebusukan hati Nirmala, sejak saat itu pula aku berhenti bersikap baik padanya. Tak ada senyum hangat untuk sang adik durjana.
Kurang apa aku padanya? Setiap apa yang diinginkannya, selalu kupenuhi. Setiap dia ada kesulitan juga selalu ku tolong. Bahkan boneka kesayangan dulu, ku ikhlaskan untuknya karena dia menginginkannya, padahal boneka itu satu-satunya kenangan dari almarhumah Bunda.
***
Aku mau boneka itu, Bu …!" Rengekan Nirmala tak berhenti, saat melihat boneka kecil Teddy bear kesayangan yang berada di pelukanku.
"Itu kecil sayang, nanti Ibu beli yang besar sekali, iya kan Ayah?" Bujuk Ibu dengan mengerlingkan mata ke arah Ayah. Lelaki--ku itu mengangguk.
"Nggak! Aku mau yang punyanya Kak May. Aku mau itu!" Sekarang rengekannya ditambah dengan Isak tangis.
Aku yang tahu 'Didi-ku' bakal direbut Nirmala, mendekap erat boneka yang awalnya berwarna pink itu, takut diambilnya. Beringsut kumundurkan tubuh ke belakang Ayah, mencari perlindungan.
Nirmala yang kala itu baru menginjakkan kaki di rumah ini bersama ibunya, tak disangka malah berulah menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Boneka Teddy bearku yang bernama Didi. Apa yang dilihatnya dari boneka yang warnanya sudah berubah menjadi kecoklatan, karena tidak pernah dicuci?
Masih kuingat jelas, Ayah mencoba membujukku agar mau meminjamkan boneka tersebut untuk semalam saja, itu janjinya. Mencoba mengalah karena Ayah sudah membawakan seorang adik waktu itu. Namun nyatanya boneka itu tidak pernah kembali. Walaupun sudah digantikan Ayah dengan boneka yang sama, tapi rasanya sudah berbeda. Tidak pernah sama.
***
Kenapa baru sekarang kusadari kalau dari dulu Nirmala selalu menginginkan milikku? 'Sakitkah' adikku itu?
Selama ini kulihat Ayah berusaha bersikap adil membagi kasih sayangnya. Tidak kulihat ketimpangan walaupun Nirmala bukan anak kandungnya. Lain hal dengan Ibu. Kentara sekali dia sangat menyayangi anak kandungnya tersebut. Apa aku iri? Ya, aku iri karena Ibu penuh kasih sayang pada Nirmala, sedang padaku, hanya dibagi di kala Ayah ada. Jika Ayah pergi kerja, atau lagi tidak ada di rumah, aku bagaikan orang asing di matanya. Untungnya dia tidak pernah memperlakukanku dengan buruk, tidak pernah main tangan, hanya saja ucapannya yang sering melukai hati.
Apakah rasa iri ini membuatku sampai berbuat sekeji itu? Tidak. Aku selalu berpikir positif karena mungkin Nirmala itu anaknya. Aku pun masih berpikir positif, ketika para lelaki itu lebih memilih Nirmala dibandingkan diriku. Cantik. Mungkin kata itu yang membedakan kami. Harus kuakui Nirmala sangatlahcantik ditambah dengan kedua mata birunya.
***
"May, pekan ini Ibu Fatimah dan anaknya Samudera akan berkunjung kemari. Ini baik untuk kalian agar saling mengenal." Ayah membuka obrolan di meja makan saat makan malam berlangsung. Aku hanya menyunggingkan senyum tipis menanggapi ucapannya.
Pasrah. Apapun yang terjadi nanti, ikhlaskan May. Kucoba menyemangati diri sendiri.
"Oh, namanya Samudera, Yah," timpal Nirmala melempar senyum ke arahku.
"Iya, ingat. Kamu nanti nggak usah gabung. Pergi saja kemana dulu, jangan muncul saat pertemuan itu," tegur Ayah mengingatkan Nirmala.
"Iya, Yah. Ayah tenang saja. Aku tidak akan muncul di sana." Tatapannya masih mengarah padaku. Jujur, aku tidak suka ditatapnya begitu. Seakan dapat kurasakan ada sesuatu yang sedang direncanakannya.
"Kata Ibu, calon Kak May itu duda ya?" Gerakan tanganku terhenti menyuap makanan ke mulut. Refleks mata ini ke arahnya.
Nampak Ayah menghela napas sambil melirikku. "Iya, duda," jawabnya pelan.
"Oh, jadi benar duda anak satu?" Lagi Nirmala bertanya seakan ingin mengulitiku.
"Iya." Terdengar hembusan beratnya kala menjawab pertanyaan Nirmala. "kalau May nanti keberatan, atau sulit untuk melanjutkan, bilang saja. Ayah nggak akan maksa. Kebahagiaan May nomor satu buat Ayah," sambungnya kemudian dengan mengusap lembut tanganku. Kuanggukkan kepala dengan seulas senyum tipis. Sayangnya aku pun tahu kebahagiaan Ayah adalah melihatku secepatnya menikah.
***
"Hm … duda, anak satu. Kasihan sekali nasib kakakku tersayang." Aku yang sedang berhias, bersiap untuk berangkat ke sekolah menoleh ke sumber suara.
Nirmala.
Pintu kamarku yang tidak terkunci dimasukinya begitu saja tanpa permisi. Sudah kebiasaannya, dan kebiasaanku juga yang selalu lupa mengunci pintu.
Ocehannya tidak kugubris. Hal itu hanya akan memperlambat gerakku untuk segera berangkat ke sekolah.
"Padahal kalau Kakak mau, aku bisa bujuk Mas Ibram buat melanjutkan pernikahannya dengan Kak May. Dia pasti mau," ucapnya lagi setelah berada di hadapanku. Kusambut ucapannya dengan senyuman masam.
"Ayolah Kak. Anggap kali ini aku berbaik hati dengan mempersatukan kembali mantan tunangan Kakak itu ke tangan Kak May."
"Lagi pula dia bukan tipeku. Aku hanya main-main saja. Kasihan Kak, dia kayak frustasi gitu waktu kutolak." Dapat kulihat wajahnya yang tersenyum kecut di cermin yang sedang kuhadapi.
Nirmala. Sejak kecil dia memang menjadi pusat perhatian. Wajah blasteran yang ia dapat dari garis keturunan ayahnya, membuatnya semakin bersinar di mana pun berada.
"Lihat Kak persamaan wajah kita! Kita ini sama-sama cantik. Cuma sayang warna kulitnya saja yang berbeda. Aku putih, Kak May ...." Matanya melirikku. "Cokelat manis. Oh, ya lupa, bola mata kita pun berbeda. mataku biru dan punya Kak May, hm ... Biasa saja, cokelat. Sama seperti warna kulit Kakak yang manis. Namun masih manisan senyumku bila tersenyum. Mungkin itu salah satu daya pikatku menarik kaum Adam."
"Dan yang paling menonjol, Kakak selalu menutupi rambut indah Kakak ini dengan kain persegi empat ini. Lihatlah aku! Hanya dengan mengibaskan rambut saja, para lelaki teralihkan dunianya ke arahku. See! Bukan aku yang menggoda lelaki itu, tapi Kakaklah yang menutup diri dan ini," tunjuknya ke arah kaca mata yang bertengger di hidung bangirku. "Buanglah kacamata ini ke sampah. Pakai softlens, biar mata Kakak yang indah ini juga dapat dilihat oleh mereka." Aku hanya menggelengkan kepala dan membenarkan kembali letak kacamata yang barusan disentuhnya tersebut.
"Ucapkan terima kasih kak, karena aku mau berbaik hati memberikan saran untuk mengubah penampilan Kak May. Jangan sampai duda anak satu itu malah kecantol padaku, jodoh Kak May hilang lagi," desisnya di dekat telinga. Tidak lupa kerlingan mata mengejek.
"Dan satu lagi Kak, aku memang janji sama Ayah, tapi aku nggak janji sama Kakak. Kita lihat nanti, duda itu akan tertarik pada Kakak atau malah berpaling ke arahku." Nirmala tertawa kecil saat mengatakannya. Bagiku ketawanya lebih terdengar seperti tawa nenek sihir. Menyeramkan.
Setelah kepergiannya dari kamar, kutatap wajah ini di depan cermin.
Benarkah aku harus mengubah penampilan agar terlihat lebih menarik? Salahkah hijab yang menutupi kepala ini? Aku hanya ingin menyelamatkan Ayah dari siksa api neraka karena dosa anaknya. Kulepas kaca mata dan menatapnya lekat. Sebenarnya tanpa kacamata ini pun aku tidak kesulitan dalam melihat. Menggunakannya hanya sekedar memantaskan diri terlihat lebih dewasa saat mengajar. Haruskah kucopot juga dan menggantikannya dengan softlens seperti yang disarankan Nirmala?
Hari yang disebutkan Ayah, akhirnya tiba juga. Bu Fatimah akan datang bersama Samudra, anaknya. Lucunya Nirmala jatuh sakit tepat di hari ini. Bagiku dia hanya pura-pura saja agar tetap berada di rumah. Entah apa yang akan direncanakannya, aku sudah berpasrah diri kalau memang laki-laki yang bernama Samudra itu bukan jodohku. Mungkin Tuhan sedang mempersiapkan jodoh terbaikNya."Biarlah dia tetap di rumah. Ibu malah khawatir kalau dia harus diungsikan ke tempat lain. Lagian Ayah kan tahu, Nirmala ini kalau sakit, orangnya manja banget. Dikit-dikit Ibu." Ibu menatap Nirmala dengan penuh cinta. Diusapnya lembut rambut bergelombang Nirmala. Ia terbaring lemah di tempat tidur dengan berselimutkan sampai batas leher."Memang kamu sakit apa, Nir? Kok mendadak," tanyaku menyelidik."Ehm ... Nggak tahu, tiba-tiba n
"apa!" Ibu terkejut mendengar siapa jati diri Samudra sebenarnya. Begitu juga dengan kami yang berada di sini. Aku bahkan tidak tahu menahu siapa sosok calon suamiku ini."Kenalkan Pak, saya Nirmala, anak marketing. Baru masuk dan masih dalam masa percobaan enam bulan." Tangan Nirmala masih mengambang di udara menunggu sambutan dari Samudra.Lelaki yang sedang ditunggu sambutan tangannya ini melirikku sekilas, lalu, "Samudra," jawabnya dengan menangkupkan kedua tangan di dada tanpa mengulurkan tangannya ke arah Nirmala. Aku kaget, apalagi melihat Bulan malah tertawa terkikik, melihat uluran tangan Nirmala yang tidak diterima ayahnya."Kayaknya Tante ini juga nggak tahu Nek, kalau bukan perempuan tidak boleh salaman," celoteh Bulan masih dengan tawa yang belum hilang. Aku sampai mengulum senyum saat Nirmala menarik tangannya dengan malu.&nbs
Aku mematut diri di cermin. Menatap bayangan sendiri. Kulepas kacamata yang sudah bertengger manis di pangkal hidung. Mengamati sebentar wajah ini tanpa kaca berbingkai dua tersebut, lalu memasangnya kembali.Perkataan Nirmala terngiang kembali di telinga. Apa hubungannya dengan kacamata ini? Aku hanya menggunakannya saat ke sekolah saja. Lagian ke sana buat ngajar, bukan buat narik perhatian kaum Adam. Heh! Saranmu tidak perlu keturuti. Gaya pakaian seharianku juga tidak kuno, apalagi ketinggalan jaman. Penampilanku masih modis. Lebih baik jadi diri sendiri. Tidak ingin juga jadi orang lain, apalagi jadi kamu, Nir.Kepalaku menoleh ke suara pintu yang berderit. Nirmala. Untuk apa lagi dia masuk ke kamarku sepagi ini? Apa gegara dia barusan muncul di benakku? Sepertinya aku harus memasang alarm di ponsel, sebagai pengingat untuk selalu mengunci pintu.
Setiap hari aktivitasku hanya seputar rumah dan sekolah. Setelah selesai ngajar, maka langsung pulang ke rumah. Pergi keluar kalau ada kepentingan mendesak saja atau memang ada ajakan dari teman terdekat. Itu pun perginya cuma sebentar. Biasanya pergi pas weekend atau libur ngajar.***"Kasihan ya Bu May. Gagal terus nikahnya. Mungkin kena karma ibunya kali. Iya kan Lin?" Kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam kantor guru, terhenti di depan pintu yang terbuka. Kuusap pelan dada, meredakan emosi yang mulai naik. Selalu saja ada yang mengaitkan tentang nasib burukku yang gagal menikah dengan almarhumah Bunda."Hussstttt! Jangan bicara sembarang. Memang takdir saja. Lagi pula mungkin itu cara Tuhan menyeleksi jodoh Bu May. Asal Bu Rahma tahu, calon Bu May yang sebelumnya nggak ada yang beres. Untunglah Bu May dikasih lihat terlebih dulu daripada menyesal di kemudian," timpal Linda membelaku. Linda memang
Tidak mungkin Ken--pemuja rahasiaku itu. Kalau memang ia, kenapa bisa menyukaiku dan memberikan banyak hadiah, serta untaian kata suka. Apa bagusnya aku di mata anak bau kencur ini? Penampilanku saja kalah jauh dengan siswi cantik yang sering dekat dan mengejarnya.Lagipula kalau kutanyakan tentang secret admirer itu, kurasa dia tidak akan mengaku, atau bisa jadi bukan dia. Justru malah aku yang malu karena sudah menudingnya sebagai sang pemuja rahasia. Itu memalukan. Mau ditaruh dimana mukaku saat ngajar nanti.Bukan, pasti bukan dia. Anak tengil ini tidak mungkin menyukaiku apalagi sampai mengajak menikah."Ada apa Bu? Saya ganteng. Udah biasa, Bu. Jangan melihat saya seperti itu, saya malah tambah ganteng jadinya. Kan Bu May bisa lihat sendiri kalau banyak cewek pada ngejar saya." Ken memuji dirinya sendiri karena kutatap intens. Nyesel rasanya menatapnya be
"Ken, Rio. Pulang ke rumah ya! Jangan keluyuran lagi dengan masih mengenakan seragam sekolah," perintahku pada dua anak didik yang salah satunya masih menatapku penuh tanya. Aku berlalu masuk ke dalam mobil duduk di samping Nirmala.Aku menatap lekat perempuan yang masih mengenakan pakaian kerja di sampingku ini."Bingung ya Kak, kenapa aku bisa berada di dalam mobil ini?" tanyanya sesuai dengan apa yang bersarang di benakku.Nirmala tersenyum sambil mendekatkan badannya lebih maju ke arahku."Pak Biru minta khusus aku buat nemani Kakak. Takut selera Kakak terlalu biasa atau rendahan." Nirmala tersenyum saat mengatakannya. Saat dia menekankan kata rendahan, aku tahu dia sedang mengejekku."Kenapa Kak? Masih tidak percaya?" Aku melengos dengan menatap ke depan."Atau perlu kuhubungi Pak Biru dan bilang calon istrinya t
Kami diajak ke lantai atas dengan ruangan yang terlihat lebih besar dibandingkan lantai bawah."Maysarah. Sini Nak, sudah ditunggu dari tadi." Bu Fatimah berseru memintaku menghampirinya yang duduk di sofa berbentuk huru L. Beliau tidak duduk sendiri. Ada lelaki berpakaian unik yang wajahnya pernah kulihat di tivi sebagai host sebuah reality show."Oh ini calon mantu Bu Fatimah. Cucok. Setengah bule, ye," ucap Desainer ternama yang tenar dengan nama Chandra Gunawan menatap ke arah Nirmala.Calon ibu mertuaku itu mengernyit. Sedang Nirmala tersenyum jumawa, besar kepala karena pasti yang ditebak sang desainer adalah dirinya."Maysarah ini, calon mantu saya. Tolong dandani dia dengan gaun pengantin yang sudah saya pesan tempo itu sama kamu," ujar Bu Fatimah merangkulku hangat menyanggah tebakan sang desainer."Eh maaf, salah orang ya. Eyke kira yang ono, dan
Plak!Aku sampai terdorong saat Ibu memberikan sebuah tamparan di pipi. Kaget, baru saja tiba di rumah dan masuk ke dalam ruang tamu, tiba-tiba Ibu datang dan langsung menamparku begitu saja.Sakit. Perih dan panas masih terasa bekasnya menjalar di pipi ini. Ada apa dengannya? Kenapa bisa Semarah itu padaku?"Gimana? Sakit kan? Seperti itulah rasa sakit yang dirasakan oleh Mala, May." Masih dengan wajah merah padam dan napas memburu, Ibu mengatakan semua itu padaku. Jujur, aku tidak paham dengan apa yang dimaksud olehnya."Apa maksud Ibu?" tanyaku masih dengan mengusap bekas tamparan kerasnya. Aku terduduk di kursi tamu. Menatap dengan tajam ke arah Nirmala yang tersenyum samar di hadapanku."Pake nanya lagi! Ngapain kamu ajak adikmu ke butik dengan alasan minta temenin? Hah! Kalau ujung-u