Share

Marah

Kekecewaan memang sangat menyiksa dan terkadang pula mengakibatkan sakit hati. Hal itu akan timbul sebab harapan yang dibuat terlalu tinggi. Namun, kenyataan berkata lain.

(Amirah Najwa Syaifuddin)

***

Pukul 4 pagi, Amirah bangun dari tidur. Dengan pelan ia bangun dari ranjang, melepas pelukan Abizar, melangkah terseok, karena perih di selakangannya akibat aktivitas tadi malam. Masih jelas di ingatan Amirah apa yang Abizar lakukan tadi malam, Amirah tidak menyesali karena bagaimana pun ia tahu tugasnya sebagai seorang istri, Amirah hanya kecewa, saat melakukannya Abizar tidak sadar. Bahkan Abi selalu meracau memanggil nama perempuan lain. Dengan langkah terseok Amirah menuju kamar mandi, menumpahkan tangis dan kekecewaaan. "Berendam air hangat di bathrobe mungkin akan menghilangkan sedikit rasa nyeri," pikir Amirah.

Di dapur Amirah melihat Bik Na sedang menyiapkan bahan untuk membuat sarapan ditemani Ambar yang duduk manis di kursi roda. Ia pun menyapa mereka. Ambar menanyakan keadaannya dengan raut khawatir dan meminta maaf tidak bisa menjenguk ke atas.

"Tidak apa-apa, Ma. Yang penting Amirah hari ini sudah sembuh, dan nanti bisa anterin mama terapi lagi," jawab Amirah tulus. Ambar sempat menolak karena kasihan melihat Amirah yang baru sembuh tapi Amirah tetap meyakinkan dirinya sudah tidak apa-apa.

"Mama sangat bahagia, Nak. Kamu masuk dalam kehidupan Abizar, masuk dalam kehidupan kami, menjadi bagian dari hidup kami," tutur mama mertuanya masih terisak. Amirah menenangkan sang mama dan mengelap air matanya. Bik Na yang mendengar penuturan mertua dan menantu itu pun ikut terharu, sambil memasak ikut terisak.

***

Abizar menggeliatkan badan, kepalanya masih berdenyut efek minuman beralkohol tadi malam, bahkan ia lupa kejadian tadi malam. Sambil memijat kepalanya, berusaha mengumpulkan kesadarannya, betapa kagetnya ia melihat tubuhnya telanjang tanpa sehelai benang yang menempel di tubuh atletisnya, matanya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, Abizar melihat pakaiannya yang berserakan di atas ranjang, masih mencoba mengingat, tapi dia tidak ingat apa-apa. Ia menyibak selimut, mencoba turun dari ranjangnya. Namun, sebelum ia turun ia melihat bercak darah di seprei.

"Darah apa ini? Jangan-jangan tadi malam aku dan Amirah telah melakukan ....” Abizar tidak melanjutkan pemikirannya. "Ahh. Bodoh ... bodoh ... bodoh ...." Abizar merutuki diri.

Abizar menyesal seharusnya ia langsung pulang tidak menuruti ajakan Rian. Toh, selama ini ia belum pernah meminum minuman keras, jelas saja mabuk.

"Bagaimana kalau Amirah hamil?" pikirnya, ia frustrasi dan bingung. "Kalau Amirah hamil, tidak mungkin mama mengizinkan aku menceraikannya, terus bagaimana hubunganku dengan Amanda? aku sangat mencintai Amanda, aku enggak mau kehilangannya, Amirah pasti sengaja menjebakku, dasar wanita licik, pasti Amirah sengaja memanfaatkan ketidaksadaranku, iya, ini pasti ulahnya," ucapnya sambil mengepalkan tangan marah.

Ambar menyuruh Amirah memanggil Abi untuk sarapan. Sebenarnya Amirah ragu dan takut, mengingat tadi malam membuat hatinya berdesir malu, tapi desiran itu hilang berganti rasa takut, takut Abizar berpikir macam-macam, niatnya hanya ingin menolong supaya sang mama tidak tahu kalau putra kesayangannya pulang larut malam dalam keadaan mabuk, tapi naas ia harus kehilangan kegadisan yang selama ini ia jaga, meskipun orang yang mengambil adalah suami sahnya. Namun, tidak dipungkiri bahwa Abizar melakukannya dalam keadaan tidak sadar. Dengan langkah berat Amirah masuk ke kamar tidur Abizar, rupanya Abizar masih mandi, ia membereskan pakaian Abi yang kotor dan bau alkohol kemudian memasukkannya ke keranjang pakaian kotor. Amirah merapikan ranjang dan mengganti seprei, seketika itu hatinya teriris melihat bercak noda kegadisannya, mengusap air mata dengan kasar, Amirah memasukkan seprei itu ke keranjang dan mengganti dengan seprei bersih.

Ceklek ... pintu kamar mandi terbuka, Abizar berdiri hanya menggunakan handuk yang menutupi pinggang sampai lutut. Menatap Amirah dengan tajam, amarahnya sudah memuncak, seperti singa yang menemukan buruan. Ia melangkah mendekati Amirah yang baru selesai merapikan ranjang, menyentak tangannya dengan kasar. Mengumpat dan marah besar.

"Dasar wanita licik," ocehnya.

"Maksud, Pak Dokter?"

"Jangan berpura-pura polos, wanita sepertimu tak pantas diberi perhatian dan kebaikan," ucapnya dingin. Amirah yang tidak mengerti maksud Abizar hanya diam saja.

"Kenapa diam, hah?" Bahkan Abizar semakin erat mencengkeram tangan Amirah.

"Lepaskan ... sakit ... Dokter," keluh Amirah tapi tidak didengarkan Abizar.

"Kau licik sekali, kau sudah memanfaatkan ketidaksadaranku, kau memanfaatkan kebaikanku, kau wanita ular," tuduhnya.

"Aku tidak seperti itu ...." Amirah membantah tuduhan Abizar.

"Lantas seperti apa kamu? Kamu perempuan licik Yang menghalalkan berbagai cara untuk mengikatku, kamu ingin menghancurkan hubunganku dengan Amanda kan? kamu memanfaatkan ketidaksadaranku untuk menyentuhmu sehingga kamu bisa hamil dan aku tidak jadi menceraikanmu, jangan harap itu terjadi! kamu hanya wanita murahan, aku menyesal membawamu masuk dalam kehidupanku," ucapnya dingin.

"Cukup!" teriak Amirah. Rasanya tidak tahan mendengar tuduhan Abizar padanya, Amirah menutup kedua telinganya, air matanya sudah membasahi pipinya.

"Jangan harap aku akan bertanggung jawab kalau kamu hamil, aku akan tetap menceraikanmu sesuai perjanjian kita setelah mama sembuh, aku tidak sudi hidup dengan wanita murahan berhati licik sepertimu," ucap Abizar lagi.

Plakk ... Amirah menampar pipi Abizar, seketika Abizar terdiam. "Kamu ... kamu boleh menghinaku karena aku miskin, tetapi aku juga punya perasaan aku tidak akan terima kalau kamu merendahkanku dengan mengatakanku murahan. Aku sadar aku masih mempunyai hutang padamu, aku berharap mama cepat sembuh sehingga aku bisa terlepas darimu, dan dengar baik-baik, walaupun aku hamil, aku tidak akan meminta kamu bertanggung jawab, aku akan menjadi ayah dan juga ibu buat anak yang aku kandung, tanpa harus meminta sesuatu darimu, jadi kamu tenang saja," ucapnya sambil mengelap air mata, lalu ia berlalu meninggalkan Abizar yang berdiri mematung setelah mendapat tamparan tadi.

Entah apa yang dipikirkan Abizar, ada perasaan sedih ketika mendengar Amirah berkata demikian, Abizar masih mematung memegangi pipi kirinya yang ditampar Amirah, baru kali ini ada wanita yang menamparnya, bukan sakit pada pipinya tapi hatinya sedikit tercubit dengan kata terakhir Amirah yang mengatakan tidak butuh tanggung jawabnya, menurut Abizar, Amirah sudah menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang laki-laki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status