Arsen dan Pak Wiryo makan dengan tenang di kantin rumah sakit itu. Mereka memutuskan untuk makan disana karena menurut Arsen duduk di koridor dirasa kurang nyaman.
"Habis ini Tuan Arsen akan saya antar pulang ke rumah dulu baru saya balik lagi kesini. Biar saya saja yang menunggu pasien selagi kerabatnya datang" ujar Pak Wiryo tanpa bermaksud memerintah tuannya sambil mengangkat gelas kopinya.
"Tidak perlu. Saya akan disini sampai gadis itu boleh pulang" ucap Arsen kalem. Pak Wiryo yang mendengar ucapan tuannya spontan tersedak kopi yang baru saja diseruputnya.
"Tuan.. Jangan bercanda lagi disituasi seperti ini" sahut Pak Wiryo.
"Saya tidak sedang bercanda" Arsen berujar tanpa menatap ke lawan bicaranya. Ia melanjutkan makan malamnya dengan tenang. Tapi Pak Wiryo bisa melihat ada yang janggal dari air mukanya. Seperti sedang menutup-nutupi sesuatu.
"Bagaimana mungkin tuan tak pulang? Bapak dan Ibu nanti khawatir. Terlebih Non Yousi" katanya mengingatkan.
"Saya bukan anak kecil" protes Arsen tak suka. Setiap kali ia tak sengaja 'keluyuran' tanpa sepengetahuan orang rumah, Pak Wiryo selalu mengingatkan betapa dikekangnya ia dalam keluarga. Hal ini yang terkadang mendorong Arsen untuk berontak. Berniat menanggalkan citra 'anak mama' yang sudak lama melekat pada dirinya. Maklum, sudah 25 tahun tapi selalu saja harus membuat laporan saat kemana-mana. Membuat ia risih bukan kepalang.
"Saya tidak mau Tuan Arsen diomeli Ibu karena tak pulang ke rumah" See? Pak Wiryopun bahkan ikut-ikutan 'mengancam'nya. "Malahan aneh terdengar mereka kalau tahu tuan tetap disini hanya karena menunggu pasien yang tidak tuan kenal sama sekali" sambung Pak Wiryo. Kali ini ucapan Pak Wiryo ada benarnya. Malahan seratus persen benar. Tetapi Arsen tetaplah Arsen. Pria keras kepala itu akan tetap pada pendiriannya.
"Tidak peduli Bagaimanapun reaksi mereka nantinya. Saya akan tetap disini" jawabnya sambil memikirkan cara untuk beralasan saat ditanyai orang tuanya nanti.
"Kita tidak tahu kapan pasien akan diperbolehkan untuk pulang. Yang jelas belum malam ini, bukan? Lagipula Tuan Arsen harus istirahat yang cukup karena besok harus bekerja" ujar Pak Wiryo khawatir. Terlihat dari raut wajahnya yang sendu.
"Besok saya tidak akan bekerja. Lagipula saya sudah menghubungi sekretaris" kali ini ia menatap ke arah Pak Wiryo. Secara tidak langsung menyampaikan pesan 'tak ingin lagi berdebat' lewat tatapan matanya.
"Baiklah. Kalau itu yang tuan mau" Pak Wiryo mengalah. Ia tidak mau berdebat yang akhirnya beresiko dipecat. Tidak, ia tidak berencana pensiun menjadi sopir dalam waktu dekat ini.
"Tak usah khawatir. Mama perlu rileks sejenak dari pengekangan yang ia lakukan. Toh tak lama lagi saya akan menikah dan hidup terpisah darinya" jelas Arsen dengan percaya diri. Mencoba mempengaruhi Pak Wiryo agar tak terlalu cemas.
"Kalau dilihat-lihat. Nona Yousi semakin hari menjadi agak sensitif semenjak rencana pernikahan tuan dimajukan. Pun begitu dengan ibu yang saya lihat setiap harinya tampak murung. Apa mereka menentang pernikahan ini ya?" tanya Pak Wiryo dengan polosnya.
"Terlalu overthinking mungkin? Kalau mama masih diam-diaman. Berbeda dengan Kak Yousi yang terang-terangan protes tak menyetujui" koreksinya atas kalimat berisi dugaan dari Pak Wiryo.
"Bisa jadi begitu" kata Pak Wiryo seraya mengangguk, "Tuan Arsen sendiri bagaimana? Kenapa mau menerima perjodohan ini?" tanyanya antusias. Sepertinya Pak Wiryo belum memahami betul konsep perjodohan dikalangan pengusaha. Apalagi kalau bukan karena bisnis?
***
Tidak ada pesan atau panggilan yang masuk.
Ya, setidaknya sudah dari tadi Sarah menunggu di atas ranjangnya sambil memegang ponsel. Barangkali ada pesan masuk dari Arsen untuk meminta maaf atau menjelaskan mengapa dia tak bisa datang, mungkin? Tapi nyatanya sudah hampir larut malampun tak ada niat baik dari pria itu untuk membujuk dirinya yang sedang marah.
Disisi lain yang berbeda dengan Sarah. Yusila sedang menunggu di teras rumahnya lantaran cemas karena putranya belum pulang ke rumah juga. Rusihan memberitahunya agar tak terlalu cemas sebab bisa saja putra mereka memang sedang sibuk. Lagipula ini malam minggu, siapa tahu Arsen sedang jalan-jalan bersama Sarah sepulang fitting gaun pernikahan. Dia juga melarang istrinya menelepon Arsen, takut mengganggu sang putra.
"Sudahlah ma.. Lagi malam mingguan palingan" kata Rusihan menenangkan "Ayo masuk. Di luar dingin lho, nanti mama sakit" sambungnya sambil melirik ke arah jam tangan yang dipakainya.
"Tapi gak biasanya dia gak ngabarin mama dulu, pa. Seringnya.. Pulang telat aja dia telepon mama kok" kata Yusila penuh cemas.
"Kan papa sudah bilang. Mungkin dia lagi jalan-jalan. Terus kelupaan telepon mama, ya kan?"
"Tetep aja mama khawatir. Apa gak sebaiknya mama telepon duluan aja ya?" tawar Yusila kemudian.
***
Sedikit demi sedikit, cahaya yang menyilaukan dari langit-langit mulai menyeruak masuk ke indera penglihatan seseorang. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya agar memperjelas penglihatannya.
'Dimana aku? Mengapa ruangan ini berwarna putih?' gumamnya di hati. Sekali lagi ia memperjelas pandangan ke arah sekitar, sebelum kemudian sadar bahwa ia sedang di rumah sakit.
"Oh iya benar! Aku ditabrak. Sialan! " ujarnya terkejut menyadari kejadian malang yang menimpanya, lalu meringis ngeri saat melihat kakinya yang dibalut perban. Mungkin lebih tepatnya meringis kesakitan.
Arsen dan Pak Wiryo hanya diam saling berpandangan dalam suasana keheranan. Apakah kehadiran keduanya sama sekali tak terdeteksi?
"Jangan-jangan dia mengalami geger otak?" kata Arsen spontan. "Huss.. Tuan jangan bicara sembarangan" tegur Pak Wiryo menanggapi.Gadis itu menoleh ke arah suara, tepatnya di pojok ruangan. Tempat dimana Arsen dan Pak Wiryo sedang duduk dan berbicara satu sama lain. Dia menatap heran. 'Siapa dua orang itu?' pikirnya.
"Sebaiknya anda panggil dokter untuk segera datang kemari" usul Arsen tanpa melepas pandangannya ke arah gadis itu.
Mendengar titah tuannya, Pak Wiryo pun undur diri dan bergegas keluar.Pagi itu, Yousi masuk ke kantor Arsen dengan langkah terburu-buru. Satpam legendaris, yang kebetulan sudah lama bekerja di perusahaan itu menatap heran akan kedatangan sang putri konglomerat yang terkenal pintar tapi jarang disiplin tersebut. Ia mengikuti langkah Yousi dari belakang, berusaha mengejar. Yousi yang menyadari keberadaan seseorang di belakangnyapun lantas menoleh dan berhenti saat tahu siapa yang membuntuti langkahnya. "Non Yousi kenapa pagi-pagi buta kemari?" tanya lelaki 50 tahunan itu terlebih dahulu."Pak Endang! Adik saya dimana??" balasnya dengan suara agak tinggi dan terlihat cemas."Pak direktur? Belum dateng non. Kan masih terlalu pagi sekarang mah“ jawab Pak Endang sekenanya.“Jadi dia gak lembur?" tanyanya tambah cemas."Enggak non. Semalam aja pulangnya sedikit lebih awal" jelas Pak Endang dengan wajah bingung. Yousi yang mendengar ucapan Pak Endang malah semakin tambah cemas. Matanya yang besar membuat seketik
"Tidak" jawab Nara sambil menggelengkan kepalanya, "Cepat panggilkan perawat. Aku ingin ke toilet" imbuhnya kemudian. "Oh.. Toilet" kata Arsen bergumam lalu beranjak berdiri dari duduk manisnya. Ia harus pergi mencari perawat seorang diri karena Pak Wiryo sedang tidak ada sebab telah izin untuk pulang ke rumahnya. Tak lama, seorang perawat wanita pun masuk ke dalam ruangan. Kemudian membantu Nara dengan memapahnya untuk duduk di kursi roda. Rasa nyeri itu memang masih terasa apalagi bekas operasinya baru semalam. Namun Nara tetap memaksakan dirinya untuk menggapai kursi itu. Saat berhasil, ia pun bernafas lega. Setelah selesai, perawat itu hendak memegang kedua bahu Nara agar kembali berbaring di ranjang, namun tiba-tiba saja Nara menahan gerakannya. "Tidak. Biarkan saja. Aku ingin duduk di kursi ini" "Baiklah" kata perawat itu sambil tersenyum lalu meninggalkan Nara. Nara duduk menatap ke arah luar jendela kaca. Tatapannya terfokuskan k
"Sudah semakin sore. Lebih baik kita segera masuk, udaranya bertambah dingin" ujar Arsen kepada Kepada Nara. Mendengarnya, Nara hanya mengangguk menurut. Dengan hati-hati, Arsen mendorong kursi roda itu kembali ke bangunan rumah sakit. Dalam hati, ia memikirkan bahwa harus segera pulang kerumah. Sepertinya keadaan rumah sudah cukup kacau tanpa keberadaan dirinya. Dari kejauhan, lorong ruangan dimana Nara dirawat tampak sepi. Hanya ada beberapa perawat dan juga.. Seseorang yang sangat Arsen kenal? "Papa?" ucap Arsen pelan. *** "Apa yang kau lakukan disana Arsen!? Kau sengaja membuat kekacauan di rumah ini? Tak tahukah kau mamamu berjaga tengah malam hingga susah tidur, karena menunggu kepulanganmu!?" murka Rusihan sambil membuka kasar pintu rumah mereka. Saat mereka masuk kedalam rumah megah tersebut, dua orang perempuan ikut turun dari lantai atas karena mendengar keributan. "Arsen.. Kamu dari mana nak? Mama khawati
Pagi itu, Sarah terbangun dengan kepalanya yang terasa sangat berat. Ia berusaha sekeras mungkin agar dapat duduk bersandar di tepi ranjang.Saat berhasil bersandar, ia termenung sebentar lalu menyadari bahwa ia sedang berada di ruangan yang sangat asing baginya.'Dimana aku?'Sambil mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan itu, Sarah mencoba mengingat-ngingat hal terakhir tadi malam. Bayangan tentang bangunan klasik serta seorang pria memakai vest hitam mulai terlihat di gambaran memorinya. Ia juga mengingat bahwa dia tak sendiri, melainkan ada Kayla juga yang turut menemaninya.Pakaian yang ia kenakan masih lengkap. Itu berarti tidak terjadi apapun kepadanya bukan? Entahlah, ia juga merasa sedikit ragu tentang itu.Cepat-cepat ia turun dari ranjang itu lalu mengambil tasnya yang ada di atas nakas sebelah ranjang. Dengan mengerahkan seluruh kesadarannya yang mulai sepenuhnya pulih, ia berjalan sambil menyusuri dinding."Sudah ba
Kosong.Begitulah kondisi ranjang Nara saat ini. Di ruangan ini sekarang hanya tersisa dua pasien lainnya yang memang sudah lebih dahulu ada sebelum Nara. Kemana gadis itu? Mengapa ia tiba-tiba menghilang begini?Pak Wiryo tiba-tiba masuk dan menatap Arsen sambil terengah-engah. Ia mengatur nafasnya sebaik mungkin lalu mulai bersuara."Saya sudah mencari ke sekeliling area rumah sakit ini, tetapi tidak juga menemukannya, Tuan""Bagaimana dengan taman? Apa anda sudah mengecek ke sana?" tanyanya lebih lanjut.Pak Wiryo mengangguk, "Saudara Nara juga tidak ada di sana"Hati Arsen mencelos begitu saja setelah mendengar laporan yang isinya tidak infromatif itu. Ia keluar dari ruangan dan mengeluarkan ponsel di jasnya, mencoba menghubungi seseorang."Halo? Felix. Dimana pasien yang kubawa dua hari yang lalu?""...""Baiklah" Wajahnya bertambah muram seketika setelah menutup telepon itu. Pak Wiryo maju u
Semua tamu yang menghadiri pernikahan melakukan penerbangan keluar dari Bali pada hari ini juga. Acara pernikahan memang hanya di gelar tidak sampai satu hari dan tanpa resepsi malamnya.Beberapa sanak saudara dari kedua belah pihak juga sedang bersiap-siap untuk pulang. Pun begitu dengan ayah Sarah yang harus segera kembali ke Jakarta, lantaran urusan kantornya sudah menunggu.Yousi memilih untuk tetap di Bali namun kemungkinan ia akan check out dari resort. Rencananya untuk menetap selama seminggu telah disampaikan kepada kedua orangtuanya.Sedangkan Arsen dan Sarah akan berada di resort itu selama beberapa hari. Lalu lanjut melakukan perjalanan ke tempat lainnya dalam rangka menikmati masa-masa pengantin baru mereka.***Malamnya, resort itu benar-benar telah 'bersih' dari keberadaan orang lain. Meninggalkan mereka berdua serta staf-staf yang memang bertugas untuk mengurus tempat itu. Suasana canggung diantara kedua pengantin baru itupun t
"Ya Tuhan! Bagaimana bisa anda berpikir sejauh itu?" tanyanya frustasi. Yang ditanya hanya menunduk tanpa menjawab. Karena tak punya pilihan lain, akhirnya Arsen membiarkan gadis itu berdiri di sana begitu saja sehingga ia bisa melanjutkan aksinya. Saat semakin mendekat ke kotak itu, ia tak sengaja mendengar sesuatu. Suara yang begitu familiar di telinganya walaupun hanya terdengar sekilas. Segera ia menekan tombol darurat yang berada tak jauh dari ia berdiri. Mengisyaratkan agar petugas keamanan datang secepat mungkin. "Ada apa?" tanya Sarah merasa semakin khawatir. Perasaannya sungguh tak enak. "Saya tidak yakin mengatakan hal ini. Tetapi kemungkinan yang ada di kotak itu adalah ular" ujar Arsen mengira suara yang didengarnya barusan. "Hah?? Bagaimana kau bisa tahu kalau yang ada di dalam kotak itu adalah ular?" Arsen menoleh ke arah Sarah dan menatapnya serius, "Saya mendengar sesuatu mend
Di dalam kamar yang begitu sunyi dan bercahaya temaram itu, Sarah duduk di atas ranjang sembari memeluk kedua lututnya. Apa yang Arsen katakan tadi pagi begitu mempengaruhinya. Terbukti dengan setelah kejadian itu, ia masuk ke kamar dan belum kunjung keluar hingga sekarang.(kilas balik)"Saya. Bukan tipe orang yang begitu mudahnya memberikan semua hal. Jika anda menginginkan sesuatu, maka harus ada imbalan balik atas semua itu" ucap pria itu dengan menampilkan senyuman menyeringainya. Lalu dalam sepersekian detik, seringaian itu berubah menjadi senyuman ringan bak sedang menghibur seseorang. "Tentu saja saya hanya bercanda. Jangan memasukkannya ke dalam hati, OK?" lanjutnya lalu mengedipkan sebelah matanya.Pria itu menunjukkan jarinya ke arah sebuah ruangan yang tampak seperti kamar utama. "Anda pakailah kamar yang itu. Tidak perlu khawatir tentang kebersihan tempat ini. Karena saya mempekerjakan seseorang untuk selalu membersihkannya" tuturnya lalu bena