Share

Bab 2

Patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu. Yang mati Umar, yang tumbuh, cowok-cowok baru dong! Itu adalah prinsip baru dalam hidupku.

Kepergian Pak Arya bukan Saloka bersama seorang wanita yang sok imut menimbulkan kepedihan mendalam buatku. Tega sekali dia, mematahkan mimpi yang sudah terlanjur membumbung tinggi. Aku berjalan gontai, menyusuri jalan kampus yang sepi, beberapa mahasiswa yang beruntung memiliki pasangan, melewatiku sambil berboncengan mesra. Beberapa yang kukenal membunyikan klakson, pura-puranya menyapa, padahal, hanya mau pamer saja.

“Duluan ya, Fan …” Salah satu teman cewek yang satu kelas denganku, Anya namanya, menepuk pundak sambil setengah berlari. Eh, ternyata, di depan sana, di atas motor, telah nangkring cowoknya menunggu.

“Ya …” jawabku ketus.

“Ay, maaf ya, telat. Tadi harus nunggu dosen lama soalnya …” lebay banget dengar dia bicara sok diimutin sok dimanisin gitu. Padahal, kalau di kelas suaranya cempreng level tinggi. Inget waktu nagih iuran sama anak laki-laki yang bandel.

“Bayar sekarang! Kalau gak bayar, aku bakalan nyandera tugas kamu gak bakalan aku kasih sama dosen.” Anya yang bendahara dan juga merasa dirinya aktivis kelas itu memberikan ancaman sambil berkacak pinggang. Eh, sekarang, bergelayut manja sambil memegangi stang motor.

Mereka hanya berjarak 3,5 meter saja dari tempatku berdiri. Aku sengaja melambatkan langkah, ah, sungguh bodoh diriku, bukankah perbuatanku kali ini sungguh menyakiti jiwa jombloku? Tapi, hendak segera pergi, masih penasaran dengan lagak si Anya di depan pacarnya.

“Iya, gak papa sweety ….” Cowoknya menjawab sambil membenahi anak rambut Anya.

“Ay, tali sepatuku lepas ….” Masih dalam mode suara dibuat-buat manja, Anya berujar.

“Aku benerin, kamu berdiri saja.” Si cowok turun dari motor dan membenarkan tali sepatu Anya. Benar-benar, kelewatan. Anak kelas tiga SD saja bisa menalikan sepatu.

Segera kupercepat langkah, demi menghindari tingkah menyebalkan dua sejoli itu. Aku sangat tidak suka bila melihat orang yang sudah dewasa berlagak seperti anak-anak. Kelak, jika aku punya pacar, aku tidak akan seperti itu. Tapi kapan? Hari ini saja, diriku harus mengalami sakit tak berdarah.

Tak terasa setetes air jatuh di pipi ini. Tunggu dulu! Kupegang mata tidak berair, lalu dari mana tetesan itu datang? Kudongakkan wajah ke atas yang kebetulan dahan dari pohon yang berdiri kokoh di samping jalan. Dan di sana ada seekor tupai, apakah, tetesn tadi air liurnya? Atau mungkin tupai itu buang air?

 Oh, malang sekali nasibku hari ini.

Kampusku sangat luas, ada jalan yang menghubungkan tiap fakultas. Karena merupakan salah satu kampus konservasi alam, jadi sangat sejuk dengan pohon berjajar di sepanjang jalan. Setelah lelah berjalan, hingga tak terasa, aku sudah berada di jalan fakultas lain, perut ini terasa lapar. Kulihat tukang cilok langganan sedang lewat dan menuju arahku.

“Cilok, Mbak Fani?” Pedagang yang masih bujangan itu memang sudah mengenalku, karena aku menjadi mahasiswa yang sering membeli dagangannya.

“Eh, iya, Kang!”

“Berapa?”

“Satu dulu.”

“Berarti, nanti tambah, ya?”

“Iya?”

“Tambahnya berapa?”

“Gak tahu nanti, Kang …”

“Satu apa dua?”

“Aku bilang nanti, ya nanti. Cerewet amat sih?” Bentakku.

“Iya iya … maaf …”

Setelah satu plastik cilok diberikan, aku duduk di kursi yang terletak di trotoar jalan.

“Mbak, jadi aku nunggu Mbak Fani makan?”

“Ya iya, kan nambahnya nanti nunggu selesai,” jawabku ketus. Dia diam saja, karena sudah terbiasa berbicara sama aku, jadi, paham sikapku. “Lagian, mau ke sana juga jarang ada mahasiswa ngampus, Kang … percuma …,” tambahku dengan nada suara tidak bersemangat.

“Iya kan ini sabtu, Mbak. Biasanya waktunya mereka pergi pasangannya. Yang pergi ke kampus ya, cewek-cewek jomblo.”

“Nyindir?”

“Enggak! Bicara kenyataan saya, Mbak … kalau Mbak Fani tersinggung, berarti, Mbak Fani gak punya cowok, ya?” Aku menjawab pertanyaannya dengan melotot, setelahnya, kembali menyantap jajan yang terkenal murah itu.

Ini adalah plastik ke tiga, cilok yang kupesan. Tapi rasanya, perut ini belum merasa kenyang.

“Ngapain duduk di sebelahku?” Aku protes, melihatnya mendaratkan tubuh di kursi sebelah yang masih kosong.

“Capek, Mbak …berdiri tersu. Lagian, Mbak Fani makan cilok gak selesai-selesai.”

“Dikasih rezeki protes. Kan bisa duduk di atas motor.”

“Saya kasihan dan berempati sama Mbak Fani, yang lain pada boncengan, Mbak Fani malah jalan, sendirian lagi.” Apa tadi dia bilang? Jalan? Bukankah waktu berangkat, aku bawa motor? Ya Allah, jadi kutinggal begitu saja di parkiran kampus?

“Cieeeee … Fani sekarang punya gebetan Kang Cilok, ya?” Yuda, komting kelas yang rese tiba-tiba lewat. Jatuh sudah harga diriku. Ini pasti akan menjadi bahan bullyan besok pas masuk kelas.

“Tuh, kan, gara-gara kamu sih, aku jadi diejek …” aku bangkit dari kursi dan marah-marah sama tukang ciloknya.

“Kalau Mbak Fani belum laku, jangan saya yang disalahin, Mbak! Beban hidup saya sudah banyak, bayar listrik, bayarin kredit pancinya emak, belum lagi beli parfum tiap …”

“Ah sudah! Jangan banyak curhat. Hidup aku saja sedang ruwet. Sekarang, kamu harus aku hukum gara-gara tadi duduk di sampingku.”

“Lhah, apa hubungannya, Mbak Fani? Mbak, please dong, jangan minta gratisan, aku sedang mengumpulkan uang, Mbak … please, ya? Bayar ciloknya ya. Mbak?” Pintanya memelas.

“Siapa mau gratisan. Nih aku bayar. Lima belas ribu, kan?” Prisa bernama Joko itu tersenyum sumringah.

“Jadi, hukumannya apa, Mbak?” tak kuhiraukan pertanyaannya, aku segera naik ke atas motornya dan bersiap pergi.

“Kamu jalan ke parkiran kampus, ini motor aku bawa ke sana, aku udah capek jalan tadi, ditambah capek memikirkan nasib diri.” Tanpa menunggu jawaban, diriku segera menarik tuas gas. Joko berteriak memanggil namaku, bodo amat!

Sampai di pelataran fakultasku, ternyata, membawa motor Joko bukanlah ide yang tepat. Yuda yang berada di san melihat langsung berkelakar.

“Cieee … Fani bantuin yayangnya jualan ya?” Beberapa teman Yuda yang juga temanku tertawa mengejek.

“Mbak Fani … Mbak Fani … dimana motor sama daganganku?” Joko berteriak sambil terengah. Sepertinya, pria dekil itu berlari tadi.

Ya Allah, mau ditaruh dimana muka glowingku? Susah payah perawatan, yang mengejarku ternyata tukang cilok.

Aku segera melangkah cepat mencari motorku dan berlalu pergi dengan diiringi sorak sorai geng kelas yang tidak pernah mendapatkan nilai A untuk semua mata kuliah sejak mereka menjadi mahasiswa.

Semua ini gara-gara ceweknya Pak Arya bukan Saloka. Seandainya tadi dia tidak ikut, setidaknya, aku bisa berlama-lama dengan dosen tampan itu, dan tidak perlu berurusan dengan Joko, meskipun hubunganku hanya kehaluan semata.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Nurul Hidayah
lucu...lanjut...
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
bagus banget ceritanya
goodnovel comment avatar
M Arkanudin
3berliammmmnn
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status