Patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu. Yang mati Umar, yang tumbuh, cowok-cowok baru dong! Itu adalah prinsip baru dalam hidupku.
Kepergian Pak Arya bukan Saloka bersama seorang wanita yang sok imut menimbulkan kepedihan mendalam buatku. Tega sekali dia, mematahkan mimpi yang sudah terlanjur membumbung tinggi. Aku berjalan gontai, menyusuri jalan kampus yang sepi, beberapa mahasiswa yang beruntung memiliki pasangan, melewatiku sambil berboncengan mesra. Beberapa yang kukenal membunyikan klakson, pura-puranya menyapa, padahal, hanya mau pamer saja.
“Duluan ya, Fan …” Salah satu teman cewek yang satu kelas denganku, Anya namanya, menepuk pundak sambil setengah berlari. Eh, ternyata, di depan sana, di atas motor, telah nangkring cowoknya menunggu.
“Ya …” jawabku ketus.
“Ay, maaf ya, telat. Tadi harus nunggu dosen lama soalnya …” lebay banget dengar dia bicara sok diimutin sok dimanisin gitu. Padahal, kalau di kelas suaranya cempreng level tinggi. Inget waktu nagih iuran sama anak laki-laki yang bandel.
“Bayar sekarang! Kalau gak bayar, aku bakalan nyandera tugas kamu gak bakalan aku kasih sama dosen.” Anya yang bendahara dan juga merasa dirinya aktivis kelas itu memberikan ancaman sambil berkacak pinggang. Eh, sekarang, bergelayut manja sambil memegangi stang motor.
Mereka hanya berjarak 3,5 meter saja dari tempatku berdiri. Aku sengaja melambatkan langkah, ah, sungguh bodoh diriku, bukankah perbuatanku kali ini sungguh menyakiti jiwa jombloku? Tapi, hendak segera pergi, masih penasaran dengan lagak si Anya di depan pacarnya.
“Iya, gak papa sweety ….” Cowoknya menjawab sambil membenahi anak rambut Anya.
“Ay, tali sepatuku lepas ….” Masih dalam mode suara dibuat-buat manja, Anya berujar.
“Aku benerin, kamu berdiri saja.” Si cowok turun dari motor dan membenarkan tali sepatu Anya. Benar-benar, kelewatan. Anak kelas tiga SD saja bisa menalikan sepatu.
Segera kupercepat langkah, demi menghindari tingkah menyebalkan dua sejoli itu. Aku sangat tidak suka bila melihat orang yang sudah dewasa berlagak seperti anak-anak. Kelak, jika aku punya pacar, aku tidak akan seperti itu. Tapi kapan? Hari ini saja, diriku harus mengalami sakit tak berdarah.
Tak terasa setetes air jatuh di pipi ini. Tunggu dulu! Kupegang mata tidak berair, lalu dari mana tetesan itu datang? Kudongakkan wajah ke atas yang kebetulan dahan dari pohon yang berdiri kokoh di samping jalan. Dan di sana ada seekor tupai, apakah, tetesn tadi air liurnya? Atau mungkin tupai itu buang air?
Oh, malang sekali nasibku hari ini.
Kampusku sangat luas, ada jalan yang menghubungkan tiap fakultas. Karena merupakan salah satu kampus konservasi alam, jadi sangat sejuk dengan pohon berjajar di sepanjang jalan. Setelah lelah berjalan, hingga tak terasa, aku sudah berada di jalan fakultas lain, perut ini terasa lapar. Kulihat tukang cilok langganan sedang lewat dan menuju arahku.
“Cilok, Mbak Fani?” Pedagang yang masih bujangan itu memang sudah mengenalku, karena aku menjadi mahasiswa yang sering membeli dagangannya.
“Eh, iya, Kang!”
“Berapa?”
“Satu dulu.”
“Berarti, nanti tambah, ya?”
“Iya?”
“Tambahnya berapa?”
“Gak tahu nanti, Kang …”
“Satu apa dua?”
“Aku bilang nanti, ya nanti. Cerewet amat sih?” Bentakku.
“Iya iya … maaf …”
Setelah satu plastik cilok diberikan, aku duduk di kursi yang terletak di trotoar jalan.
“Mbak, jadi aku nunggu Mbak Fani makan?”
“Ya iya, kan nambahnya nanti nunggu selesai,” jawabku ketus. Dia diam saja, karena sudah terbiasa berbicara sama aku, jadi, paham sikapku. “Lagian, mau ke sana juga jarang ada mahasiswa ngampus, Kang … percuma …,” tambahku dengan nada suara tidak bersemangat.
“Iya kan ini sabtu, Mbak. Biasanya waktunya mereka pergi pasangannya. Yang pergi ke kampus ya, cewek-cewek jomblo.”
“Nyindir?”
“Enggak! Bicara kenyataan saya, Mbak … kalau Mbak Fani tersinggung, berarti, Mbak Fani gak punya cowok, ya?” Aku menjawab pertanyaannya dengan melotot, setelahnya, kembali menyantap jajan yang terkenal murah itu.
Ini adalah plastik ke tiga, cilok yang kupesan. Tapi rasanya, perut ini belum merasa kenyang.
“Ngapain duduk di sebelahku?” Aku protes, melihatnya mendaratkan tubuh di kursi sebelah yang masih kosong.
“Capek, Mbak …berdiri tersu. Lagian, Mbak Fani makan cilok gak selesai-selesai.”
“Dikasih rezeki protes. Kan bisa duduk di atas motor.”
“Saya kasihan dan berempati sama Mbak Fani, yang lain pada boncengan, Mbak Fani malah jalan, sendirian lagi.” Apa tadi dia bilang? Jalan? Bukankah waktu berangkat, aku bawa motor? Ya Allah, jadi kutinggal begitu saja di parkiran kampus?
“Cieeeee … Fani sekarang punya gebetan Kang Cilok, ya?” Yuda, komting kelas yang rese tiba-tiba lewat. Jatuh sudah harga diriku. Ini pasti akan menjadi bahan bullyan besok pas masuk kelas.
“Tuh, kan, gara-gara kamu sih, aku jadi diejek …” aku bangkit dari kursi dan marah-marah sama tukang ciloknya.
“Kalau Mbak Fani belum laku, jangan saya yang disalahin, Mbak! Beban hidup saya sudah banyak, bayar listrik, bayarin kredit pancinya emak, belum lagi beli parfum tiap …”
“Ah sudah! Jangan banyak curhat. Hidup aku saja sedang ruwet. Sekarang, kamu harus aku hukum gara-gara tadi duduk di sampingku.”
“Lhah, apa hubungannya, Mbak Fani? Mbak, please dong, jangan minta gratisan, aku sedang mengumpulkan uang, Mbak … please, ya? Bayar ciloknya ya. Mbak?” Pintanya memelas.
“Siapa mau gratisan. Nih aku bayar. Lima belas ribu, kan?” Prisa bernama Joko itu tersenyum sumringah.
“Jadi, hukumannya apa, Mbak?” tak kuhiraukan pertanyaannya, aku segera naik ke atas motornya dan bersiap pergi.
“Kamu jalan ke parkiran kampus, ini motor aku bawa ke sana, aku udah capek jalan tadi, ditambah capek memikirkan nasib diri.” Tanpa menunggu jawaban, diriku segera menarik tuas gas. Joko berteriak memanggil namaku, bodo amat!
Sampai di pelataran fakultasku, ternyata, membawa motor Joko bukanlah ide yang tepat. Yuda yang berada di san melihat langsung berkelakar.
“Cieee … Fani bantuin yayangnya jualan ya?” Beberapa teman Yuda yang juga temanku tertawa mengejek.
“Mbak Fani … Mbak Fani … dimana motor sama daganganku?” Joko berteriak sambil terengah. Sepertinya, pria dekil itu berlari tadi.
Ya Allah, mau ditaruh dimana muka glowingku? Susah payah perawatan, yang mengejarku ternyata tukang cilok.
Aku segera melangkah cepat mencari motorku dan berlalu pergi dengan diiringi sorak sorai geng kelas yang tidak pernah mendapatkan nilai A untuk semua mata kuliah sejak mereka menjadi mahasiswa.
Semua ini gara-gara ceweknya Pak Arya bukan Saloka. Seandainya tadi dia tidak ikut, setidaknya, aku bisa berlama-lama dengan dosen tampan itu, dan tidak perlu berurusan dengan Joko, meskipun hubunganku hanya kehaluan semata.
“Wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik juga …” begitu selalu yang dikatakan Bapak saat memberiku nasehat agar selalu bisa menjaga diri.Mungkin inilah alasannya, mengapa sampai sekarang, diriku menjadi jomblo yang tidak bahagia. Karena aku terlalu baik untuk mereka yang pernah kucintai. Tapi, apakah iya, seorang Pak Arya bukan Saloka adalah pria yang buruk untuk diriku? Bahkan, dirinya adalah pria paling baik yang pernah aku kenal. Ah, sudah berapa kali aku mencintai lelaki sebenarnya? Tak terhitung! Benar-benar memalukan. Aku ini cewek yang tidak punya harga diri. Memiliki perasaan dengan banyak orang yang bahkan, melirikku-pun, tidak! Sampai-sampai, otak ini lupa, siapa cinta pertama dulu.Bila dosen keren itu tidak berjodoh denganku, lantas, itu berarti, aku-lah yang sebenarnya tidak pantas untuknya? Bisa jadi!Sedang merenung sembari menunggu Dinda, sahabat yang selalu berbeda pendapat denganku, yang sedang ikut mata kuliah di kamp
Beberapa kali bertemu Doni membuat diri semakin sering memikirkannya. Ada hasrat untuk selalu memandang wajah yang teduh.Dari aura yang terpancar, kelihatan sekali kalau Doni pemuda yang sholeh. Bikin betah gitu kalau lama-lama memandang. Aku berpikir, bila itu sebuah dosa, setelah memandangnya, aku mengucap istighfar yang banyak.Doni benar-benar berbeda jauh dari Umar. Entah mengapa, saat melihat cowok aneh itu, perutku selalu mulas. Bahkan, baru melihat melihat bayangannya saja, rasanya aku ingin ke toilet. Tapi, bukankah kriteria pendamping hidupku kelak, dia harus lulusan S2? Sedangkan Doni sepertinya cuma lulusan SMA. Dinda, kawan baikku pasti akan tertawa sambil menari di pelaminan.Mungkin, ini sudah menjadi nasib gadis yang selalu memasang selera tinggi.“Lelaki yang sholeh hanya untuk perempuan yang sholeh, Fani … dan kamu tuh harusnya sadar diri, jangan berharap yang tinggi-tinggi, kalau kamu-nya aja masih rendah …,”
Suatu ketika, aku harus berangkat bersama Doni ke kampus. Karena harus membawa banyak barang dagangan. Terkadang aku merasa, kalau diriku lebih mirip pembantunya Mbak Nia. Ketimbang adiknya. Bagaimana tidak? Demi mendapatkan rupiah, aku harus membantu berdagang."Jadilah wanita yang mandiri, Fani! Belajar dari sekarang. Agar kelak, kamu bisa menghadapi kerasnya hidup. Kamu harus banyak mengambil pelajaran dari hidup Mbak dulu. Agar suatu ketika saat kamu menikah dan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan, kamu bisa mencari uang sendiri," kata Mbak Nia suatu hari."Ya kali, aku dapat suami macam Agam. Enggaklah, Mbak! Jangan Mbak wariskan hidup Mbak yang sengsara sama aku," sahutku kesal."Mbak cuma kasih nasehat Fani!" ujar Mbak Nia menerangkan."Mbak gak kasih nasehat, Mbak itu lagi nyumpahin aku."Jadilah kami berdebat. Begitulah aku dan Mbak Nia. Kami benar-benar berbeda. Dia selalu membicarakan hal-hal yang menderita, sementara aku, sebaliknya. Su
Ilma tersenyum manis sekali. Aku tidak bisa kalau disuruh untuk bertanding dengan senyumannya itu. Wajahnya teduh. Membuat nyaman siapapun yang memandang. Aura keshalihan jelas terpancar. Sementara aku?Tiba-tiba, Yuda menggeret lengan ini dengan kasar. Membuatku sedikit terhuyung."Temani aku ke ruang dosen! Mau tanya jadwal bimbingan skripsi," ucapnya tanpa merasa bersalah."Lepasin ah, Yud! Tanganku sakit!" teriakku kencang. Tapi, Yuda tidak peduli. Hingga akhirnya, pegangan tangannya ia lepaskan saat kami sudah di depan ruang dosen."Apaan, sih?" protesku kesal."Kamu jangan jadi penguntit! Mereka berdua sedang berduaan. Ngapain di belakang mereka tadi?" tanya Yuda serius."Dih, apaan juga? Tadi itu, cowok yang bersama Ilma yang antar aku. Dia sopir kakak iparku!" jelasku sewot.Yuda nyengir kuda. Membuat diriku sebal dan langsung meninggalkannya menuju kelas.Aku dan beberapa teman lain memang mengambil jadwal skripsi lebi
Mulai hari itu, aku mencoba merubah sikap. Dari yang semula urakan menjadi pendiam.Jangan ditanya bagaimana beratnya! Aku sungguh tersiksa dengan ini semua.Apalagi, saat Yuda menggodaku dengan berbagai macam kalimat yang menjengkelkan. Sungguh! mulut ini rasanya ingin berteriak. Terkadang malah terlanjur teriak walaupun cuma satu kata. Namun, urung karena sadar harus merubah diri demi mendapatkan hati Doni.Apakah aku mampu menaklukkan hati Doni?Pertanyaan itu selalu hadir menghantui pikiran.Suatu ketika, aku berada di perpustakaan. Mencari referensi buku untuk daftar pustaka skripsi. Di sana masih sepi.Namun, ada sesosok mahluk yang membuat bulu kudukku merinding.Dia duduk dengan anggun menghadap setumpuk buku. Menyadari ada suara langkah yang mampir di telinganya, makhluk itu menatapku. Senyum tersungging dari bibir tipisnya. Ah,
Karena pekerjaan Doni sebagai sopir pribadi Pak Irsya yang saat ada acara keluarga selalu diajak, membuat Fani semakin sering bertemu dengan bujangan alim itu.Segala gerak-gerik Doni tidak lepas dari tatapannya. Sikap sopan pada Pak Irsya dan juga Nia, membuat kekaguman Fani semakin lama semakin bertambah.Pak Irsya dan Nia sadar, kalau adik mereka memendam sebuah rasa pada sopir yang sebentar lagi bergelar Master itu.Namun, Fani sendiri masih menyembunyikan. Meski begitu, tetap saja, Doni tahu jika adik dari majikannya itu menaruh sebuah rasa. Hal itu membuat Doni menjadi merasa tidak enak."Fani sering memperhatikan kamu, Don!" ucap Pak Irsya kala mereka bersama dalam satu mobil.Doni yang berada di balik kemudi hanya menanggapi dengan senyuman."Ah, mana mungkin, Pak. Saya ini cuma sopir. Sedangkan Fani, dia adik Bu Nia, istri Bapak, majika
Part 9Doni ragu, antara masuk atau tetap menunggu di luar.Akan tetapi, bila dirinya tidak ikut mendampingi Fani yang masih dalam tahap observasi oleh dokter.Dengan ragu, pemuda itu masuk ke dalam ruangan dengan dominasi warna putih.Di salah satu bed terbaring Fani dengan didampingi Nia juga Dinda.Sementara Pak Irsya berdiri di luar sekat pemisah antara pasien IGD dengan yang menunggu. Melihat Doni datang, pria yang tengah mondar-mandir jadi berhenti."Pak, saya minta maaf," ujar Doni setelah mereka berdua saling berhadapan.Pak Irsya menghela napas panjang."Dokter mengat
Part 10Doni termenung di dalam mobil yang terparkir di jalan depan kost Dinda dan Fani, hingga adzan Ashar terdengar berkumandang, menyadarkan pria itu dari segala pikiran yang menerka terhadap apa yang Fani alami."Benarkah, sakitnya Fani ada hubungannya denganku, juga Ilma?" gumamnya lirih, sebelum akhirnya, menginjak gas mobil dan menjalankan kuda besi milik majikannya, menembus jalan yang mulai basah oleh gerimis.Tidak ada sesuatu yang terjadi di luar kuasa Allah. Bahkan, sehelai daun yang jatuh-pun atas ijin dari Sang Pemilik Hidup. Jadi, apapun yang menimpa Fani--terlepas ada hubungan dengan dirinya maupun Ilma--atau tidak, itu sudah menjadi takdir dari Allah. Begitu yang Doni pikirkan saat selesai berdzikir.Pemuda i