Share

BALADA CINTA FANI (Sekuel Nafkah Lima Belas Ribu)
BALADA CINTA FANI (Sekuel Nafkah Lima Belas Ribu)
Penulis: Nay Azzikra

Bab 1

Cerita ini adalah sekuel dari cerita Nafkah Lima Belas Ribu, yang menceritakan perjalanan hidup fani, adik kandung Nia. Jadi, bila Anda ingin membacanya, mohon untuk membaca cerita Nafkah Lima Belas Ribu minimal sampai bab 50-an. Agar paham jalan cerita serta tokoh di dalamnya. Terima kasih.

***

POV FANI

Aku tipe cewek yang membingungkan, tomboy tidak, feminim juga tidak. Hanya saja, setelah Mbak Nia  terjun, lebih tepatnya menggeluti bisnis jual produk kecantikan, dia memaksaku untuk lebih merawat diri. Katanya sih, buat endorse gitu. Aku paham, sebenarnya Mbak-ku itu hanya memanfaatkan wajahku secara gratis agar dapat menarik konsumen dari kalangan teman-teman kampus.

Tipe cowok idamanku itu benar-benar high class, itu menjadi salah satu sebab diriku menjadi jomblo selama hidup. Bukan karena tidak menemukan pria yang menjadi pacar,  tapi mereka yang aku taksir selalu menjauh secara halus setelah tahu keanehan sikapku.

Terakhir kali, aku naksir berat pada dosen pembimbing skripsi yang masih single, walaupun usianya sudah mapan. Aku selalu berpenampilan cantik, saat ada jadwal bimbingan dengan beliau. Ramah dan bukan tipe pemilih, menurutku. Oleh karenanya, aku berani mendekati.

Suatu ketika, aku hanya berdua dengan beliau di ruang dosen saat ada bimbingan. Kebetulan hari Sabtu, jadi, jarang ada yang berangkat. Sebenarnya, dosen bernama Arya bukan Saloka itu tidak berminat ke kampus. Namun, aku melancarkan serangan memaksa agar bisa bertemu dalam suasana sepi dalam rangka menggali informasi tentang kehidupan pribadinya. Sebelum rasa ini terlanjur jauh.

“Pak, Bapak saya kritis di ICU, tolong ya, Pak? Saya takut bila umurnya tidak panjang dan saya belum menyelesaikan skripsi saya, beliau tidak akan tenang …,” ucapku sambil menangis. Meskipun agak kurang ajar, namun, kuharap Bapak memakluminya. Ini juga demi mengangkat harkat dan martabat keluarga. Aku bisa mengeluarkan air mata karena, menyadari kalau dosa sekali menggunakan nyawa Bapak sebagai alasan untuk bertemu dengan Pak Arya bukan Saloka.

Maka, berhasillah diriku membuat pria yang mirip Aldebaran di sinetron Nafkah Lima Belas Ribu karya author Nay Azzikra , eh salah, maksudnya sinetron Ikatan Cinta, itu mau menemuiku di kampus.

“Tolong jangan banyak yang direvisi ya, Pak? Aku lelah mengetiknya …,” pintaku dengan nada memelas. Pak Arya bukan Saloka memicingkan mata ke arahku.

“Ini baru tinjauan pustaka, Fani … dan ini cuma dua halaman, kok bilang banyak?”

“Eh itu, anu Pak, kan saat ini saya sedang berduka, jadi, ngetik segitu rasanya banyak.”

Pak Arya bukan Saloka menghela napas panjang. “Perbaharui yang terakhir, itu terlalu lama tahunnya. Cari yang lima tahun terakhir kajian pustakanya!”

Setelah selesai urusan per-sekripsian, Pak Arya yang dasarnya ramah, bertanya tentang kronologi Bapak masuk rumah sakit. Dengan melebih-lebihkan, aku menceritakan pada dosen gantengku. Berharap beliau semakin berempati pada diri ini.

“Aku harus capek, Pak, mengurus Bapak di rumah sakit, juga melanjutkan penelitian untuk bahan skripsi ini, ditambah lagi bolak-balik nemuin Bapak ke kampus ….”

“Sabar ….”

Apa? Sesingkat itu dia menjawab setelah curhatku yang panjang lebar?

“Saya permisi dulu ya, Fani … sudah ditunggu seseorang di tempat parkir. Karena sebenarnya saya mau ada acara, hanya saja kasihan sama kamu.”

“Eh, iya, Pak … maaf selalu merepotkan dengan mengganggu Pak Arya ….”

“Tidak mengapa, semoga bapaknya cepat sembuh, ya?” Pak Arya bukan Saloka berdiri dari kursinya. Terlihat menawan sekali, dengan kemeja yang dilipat sampai siku.

“Hati-hati, Pak ….” Aku ikut  berdiri dan berjalan mensejajari langkahnya.

Kami berbicara banyak hal sambil melangkahkan kaki. Hal yang ringan-ringan saja, yang berat biar dipikirkan Mbak Nia sama Umar saja.

Mumpung jarang ada mahasiswa di kampus, sejenak merasakan kalau kami berjalan bersisihan seperti sepasang ….

“Sudah selesai?” Seorang perempuan yang berpenampilan alim, memakai gamis syar’I, tapi tidak mengurangi keanggunannya—tersenyum ramah menyapa dosen yang sedang kuhayalkan menjadi … ah, betapa menyakitkan bila diteruskan.

“Sudah, ayo … saya duluan ya, Fani …,” pamit Pak Arya bukan Saloka sembari tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.

Aku hanya mengangguk dengan melempar pandangan sengit pada perempuan yang tersenyum ramah padaku.

Lepas lagi sasaranku.

Apa yang salah dengan diri ini? Mengapa semua pria yang kutaksir dari dulu selalu lolos. Pak Arya hanya satu diantara yang banyak. Apakah memang, lelaki yang pantas untukku seperti, Umar?

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Helmet Standart
Bgus crtany
goodnovel comment avatar
Wiwit Widiawati
wkwkwkwkwk Umar si songong
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
bagus bgt ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status