Assalamualaikum, Pembaca Tercinta. Balada Cinta Fani kembali lagi. Kali ini menceritakan kehidupan ARya. Kasih gem dan komentarnya ya ... biar Mak Thor semangat mengetiknya. Terima kasih .....
“Kamu kemana saja, Mas? Kenapa hapenya mati? Kenapa sulit untuk dihubungi?” omel Sheren saat malam hari ia datang ke rumah Arya.Arya melakukan aktivitas malamnya tanpa menghiraukan pertanyaan dari wanita yang tidak disukainya itu. Dalam benak, masih terbayang wajah Mahira yang memiliki pipi tembem dan putih serta alis hitam yang sangat tebal. Ia masih penasaran, apakah melakukan sesuatu hal atau tidak. Dan timbul pula pertanyaan mengapa uangnya masih utuh.“Mas, kamu dengar aku atau tidak?” bentak Sheren kesal.“Jika kamu mau menikah dengan aku, jangan mengekang aku, Sheren. Jangan pernah mendikte aku, atau kamu akan aku buat malu menungguku di pelaminan,” hardik Arya.Sheren menelan saliva. Meski ia tahu jika Arya tidak mencintainya, tapi baru kali ini, tunangannya itu menghardiknya dengan suara yang sangat keras.“Mas, kalau kamu membatalkan pernikahan kita maka Fani ….”“Aku sudah tidak peduli dengan segala ancaman kamu. Fani sudah bahagia dan pergi jauh. Dia punya seorang suami y
Pesta yang mewah, pelaminan yang megah sesuai impian Sheren menjadi saksi bersatunya hubungannya dengan Arya.Suara saxophone mangalun merdu, mengiringi langkah kedua mempelai menuju singgasana. Gadis egois itu tersenyum bahagia. Namun, tidak begitu dengan Arya. Matanya nanar menatap depan. Jika tidak penuh resiko, lelaki yang terlihat tampan dengan balutan jas berwarna abu-abu itu ingin menangis. Alunan musik seakan mengingatkannya pada Fani, juga pada hatinya yang tidak menginginkan pernikahan itu.Hamdan dan sang istri yang tahu persis apa yang anak laki-lakinya rasakan saat itu, hanya bisa berusaha tersenyum untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi.Sandi bukan tidak paham, jika pernikahan itu terjadi tanpa cinta. Namun, rasa sayang terhadap putri semata wayang, telah membuatnya mengikuti sesuatu hal yang seharusnya tidak pernah terjadi.“Mas, bisa tidak kamu tersenyum sama mereka? Ini hari bahagia kita,” bisik Sheren di telinga Arya.Malas berdebat dengan Sheren, Arya memilih m
Pagi telah datang. Dua insan yang semalam tidur dengan saling memunggungi, tengah menyantap sarapan pagi bersama. Tanpa mengucap sepatah kata.“Habis ini kita akan pulang kemana, Mas?” tanya Sheren memulai pembicaraan.“Aku ingin pulang ke rumah. Cukup semalam saja, ‘kan kita menginap di sini?” sahut Arya.“Aku memesan kamar untuk tiga malam. Tapi kalau kamu sudah tidak nyaman, kita pulang ke rumahku,”“Di rumah kamu masih ramai bukan?”“Iya. Itu akan membuat suasana hatiku hangat. Daripada harus selalu merasa kesepian di sini.”“Sheren, kita hanya satu malam saja. Dan kita sama-sama lelah.”“Mungkin pasangan lain tidak.”“Lalu kamu maunya apa?”Sheren menghentikan aktivitas sarapannya. Ia yakin, Arya paham bagaimana dan apa yang harus dilakukan sepasang pengantin.“Aku bahkan sudah mengeluarkan uang banyak untuk pesta kita. Seserahan yang kamu dan keluargamu berikan, jelas tidak cukup untuk membiayai pernikahan kita yang mewah. Aku heran saja, setelah apa yang aku dan keluargaku korb
Keluarga besar Sheren masih banyak yang berkumpul. Mereka rencananya akan mengikuti acara unduh mantu yang sudah dipersiapkan oleh ibu Sheren dengan sangat matang. Umumnya, keluarga besar yang masih tinggal adalah kaum perempuan. Sementara suami mereka sudah kembali ke rumah masing-masing untuk mengurus pekerjaan.Arya berusaha bersikap ramah, meski itu terkesan dipaksakan. Sheren tersenyum melihat sikap sang suami yang sudah sedikit mencair. Berharap, malam yang akan mereka lalui selanjutnya tidak akan penuh dengan kebisuan.Obrolan seputar harta kekayaan dan juga barang-barang mewah, banyak mendominasi di ruang keluarga rumah Sandi yang luas. Arya merasa sangat asing dengan topic yang ia dengar, tapi berusaha untuk sesekali menyahut, meski ia tidak paham sama sekali.“Mau ikut arisan tas gak? Ini ada model terbaru harganya lima belas juta,” ujar tante Sheren.“Mana, Tante?” tanya Sheren penasaran.Mereka kemudian asyik melihat gambar-gambar tas yang ada di sebuah akun media sosial.
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A