Share

Si pengacau suasana

-Menyimpan perasaan itu indah. Karena penuh misteri dan menduga. Sekali dia tersampaikan tidak ada lagi menyimpan.- Tere Liye

Siapa yang tidak ciut nyali saat dihadapkan pada tatapan elang nan tajam atasan diikuti komplain customer yang bertubi-tubi? Apalagi aku masih  really early new bird di perusahaan ini.

Kami adalah team work. Sudah seharusnya aku selalu ada untuk timku apapun acaranya. Entah sedang senang atau sedang susah sekalipun. 

Berat sama dipikul, ringan sama di jinjing. 

Namun, ketidakhadiranku beberapa menit yang lalu karena membeli air mineral tanpa seijin Pak Asmen sebagai team leader adalah kesalahan fatal.

Ya! Kesalahan fatal!

Aku belum mengenal karakter asli Pak Asmen lalu berani memutuskan langkah sepele sendirian tanpa persetujuan. Penilaian awal dirinya yang kusangka atasan baik tapi tertutup oleh sifat dingin dan tegas, kini berubah drastis bak kompeni Belanda tanpa ampun saat menghukum cambuk para tawanan pribumi.

Tatapan tajamnya yang semakin tajam saat marah membuatku hilang keberanian bahkan hanya untuk menatap wajahnya. Hanya berbekal doa pada Tuhan sang pemilik semesta agar berbaik hati melunakkan hati Pak Asmen.

Mas Fajar memberi kode agar aku mendekati customer. Sedang Pak Asmen tetap dengan tatapan mengintimidasinya melihat interaksi kami bertiga.

"Mbak ini harusnya standby. Bukan bikin saya nunggu kayak gini! Saya ini owner proyek!"

Gerutuan customer makin memberatkan langkahku untuk mendekat, serta melemahkan keberanianku untuk menjelaskan. 

"S...saya minta maaf pak atas keterlambatan yang terjadi. Saya baru saja membeli air minum." 

"Semua sedang standby demi kelancaran proyek. Saya tahu semua sedang menahan haus karena terik, termasuk saya juga kalau mbak nggak tahu."

Aku mengangguk lalu menunduk penuh sesal. "Maafkan saya pak. Saya akan lebih mengutamakan proyek ini selanjutnya. Saya sangat menyesal."

Customer berdecak kesal dengan gerutuan yang masih keluar dari bibirnya. 

"Maaf pak atas keteledoran saya, kalau boleh tahu kendala apa yang membuat kami harus merevisi laporan keuangan?"

"Makanya jangan main pergi sebelum selesai!"

Komplainnya harus kuterima dengan lapang dada karena begitulah konsumen, mereka bersikap seolah-olah menjadi raja. Bila sudah di atas angin perkataannya seperti tidak memanusiakan orang sepertiku. 

Ternyata ada lebihan lahan yang tidak tergambar di bestek buatan Pak Asmen. Sehingga jumlah perumahan yang semula hanya dibangun sebanyak 120 unit, bisa bertambah menjadi 124 unit. Otomatis akumulasi laporan keuangannya pun berubah dan aku harus menggantinya dari awal. 

Baiklah, hanya sebatas itu kesalahannya dan aku bisa merevisinya dengan cepat. Tapi customer tetap saja menggerutu dengan menyalahkan kami yang tidak bisa bekerja dengan profesional. Mungkin customer kali ini bukanlah orang yang murah hati. 

Pak Asmen meminta maaf dan berjanji akan memberikan gambar bestek yang baru dalam waktu secepat mungkin agar tidak mengganggu rencana pembangunan yang sudah tersusun. Atau nama baiknya sebagai blue-eyed man Pak Rudy akan tercoreng. Tangan kanan seperti dia selain memiliki tanggung jawab yang besar pada kantor, juga pada nama baiknya sendiri. 

"Saya mau dalam minggu ini bestek kelar! Anda harusnya melihat dengan teliti denah sertifikat yang saya berikan! Biar tidak mengulang lagi. Akhirnya perlu waktu lagi!" Ocehnya terus menerus.

Gerutuan customer seperti tidak ada habisnya meski kami sudah meminta maaf dan berjanji akan memberikan yang terbaik dalam waktu sesingkat mungkin. Hal ini membuat jiwa sensitifku terkulik karena merasa hanya dia saja yang paling benar diantara kami. 

Aku kembali memastikan ulang jika Pradana House Group masih setuju dengan price list yang ditawarkan oleh vendor pertama, menambah jumlah material untuk penambahan unit, dan bersedia menerima material dan price list dari vendor lain jika vendor pertama mengalami kekosongan atau kendala.

Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, tidak ada pembicaraan ringan seperti berangkat tadi. Pak Asmen hanya diam dan fokus menyetir.

'Apa dia marah ke gue?'

'Apa dia pusing harus mengerjakan bestek ulang?'

'Apa dia kesal dengan Pradana?'

Mas Fajar pun tidak kalah canggung. Ia hanya diam sambil memandangi jalanan dengan  penuh hikmat karena mengajak Pak Asmen berbicara saat dalam kondisi marah bukan ide yang bagus. Aku benci situasi tegang seperti ini lalu diturunkan Pak Asmen di lobby kantor sedang ia melenggang masuk ke parkiran basement.

"Lo tadi kemana sampai gak ada? Pak Asmen tuh perfeksionisnya minta ampun. Gue aja mending nahan boker dari pada ninggalin dia."

"Gue cuma beli minum mas."

"Pak Asmen itu nggak bisa ditebak kalau lagi illfeel. Dan lo udah bangunin macan tidur."

"Masak hal gitu aja Pak Asmen nggak mau maafin gue sih mas?"

"Paling penilaian akhir kontrak lo yang berbicara."

"Mas, gue takut dipecat. Sumpah." Ucapku dengan mata berkaca-kaca.

"Eeeh... Jangan nangis disini! Udah ah ayo naik."

Aku mengikuti langkah Mas Fajar menuju lift dengan tangan sibuk mengusap air mata kesedihan. 

Ting....

"Pak?" Sapa Mas Fajar.

Melihat siapa yang ada di dalam lift aku bersembunyi di belakang tubuh Mas Fajar.

"Silahkan."

"Duluan saja pak." Mas Fajar menyilahkan.

"Ayo, jangan buang-buang waktu." Ia menekan tombol tahan lift.

"A...ayo Drey." Ajak Mas Fajar, kemudian kuikuti dengan hati carut marut.

Mengapa Pak Asmen harus naik lift khusus karyawan?

Bukankah lebih nyaman naik lift direksi yang menjadi haknya?

Apa dia sengaja mau membuatku tertekan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status