»|«Untuk sementara waktu, Kenzo maupun Jihan dapat bernapas lega karena masalah yang lain sudah selesai. Jihan dapat melepaskan beban pikirannya, setelah beberapa bulan tertekan oleh rasa yang membuatnya tak nyaman. Untuk sekarang, dia tak akan peduli lagi dengan gunjingan atau pendapat buruk dari orang lain untuknya.Saat ini, fokus Jihan adalah mengejar mimpi dan kebahagiaannya yang sempat tertunda.Begitu pula bagi Kenzo. Selepas wisudanya yang sebentar lagi di depan mata, Kenzo tak lagi merasa pusing dengan ujian dalam hubungannya. Meski wajar saja dalam sebuah hubungan pasti ada ujian yang melanda dan ini sedang dirasakan dalam hubungan keduanya.Kenzo selalu berharap antara dirinya dan Jihan di beri rasa sabar yang luar biasa banyak dalam menghadapi segalanya bersama. Sejujurnya, Kenzo belum melamar secara resmi kepada Jihan. Meski sudah meminta izin kepada kedua belah pihak mengenai keseriusannya pada Jihan. "Apa gue lamar Jihan di hari kelulusan gue pas pake baju toga aja,
Waktu benar-benar berlalu begitu cepat»|«Hari ini di bulan September tepat kelahiran Jihan itu, Kenzo akan melaksanakan wisudanya.Ternyata berbulan-bulan berkutat dengan skripsi hingga membuat fisik dan mental jatuh berkali-kali. Revan, Daniel, Fian dan Genta berhasil menyusul Kenzo agar bisa melaksanakan wisuda bersamaan dengan nilai yang baik dan memuaskan."Wah, gila! Nggak nyangka kita bakal lulus wisuda bareng-bareng." Genta menyorak senang seraya melepas topi toganya."Gue juga masih nggak nyangka kali," ucap Daniel. Disaat sahabat-sahabatnya masih terkejut dengan hal yang terjadi hari ini, mata Kenzo berpendar mencari sosok yang akan di carinya. Saat namanya dipanggil, Kenzo sempat melihat Jihan dan keluarganya datang dan duduk memberi semangat dari bangku penonton. Ah, hatinya benar-benar menghangat sekali. Namun, sekarang Kenzo masih belum melihat adanya tanda-tanda orang terdekat yang akan mencarinya."Ken, keluarga lo mana? Kita bentar lagi mau foto 'kan?" tanya Revan
Bertahan atau TersiksaKeduanya bukanlah sebuah pilihan, tetapi sudah menjadi tuntutan»|«Hari Sabtu yang ke 18 kalinya, dilingkari pada kalender itu. Pintu kamarnya di buka oleh Irma, Mamanya.“Apa yang kamu lihat? Cepat mandi, jangan lupa bersolek secantik mungkin.”Jihan Adiztya, gadis yang akan menginjak usia 18 tahun itu menghela nafasnya kasar, berjalan dengan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya butuh waktu 10 menit, Jihan keluar dari kamar mandi dengan bathrobe yang di pakainya.Setiap malam Minggu sudah menjadi rutinitas untuk dirinya berpenampilan cantik dari sore hingga tengah malam. Jihan merasa seperti putri Cinderella yang berubah menjadi cantik dalam sekejap hingga melupakan siapa dirinya sendiri.Jihan menatap tubuhnya yang terbalut gaun mini berwarna fanta yang sangat kontras. Warna kulitnya tidak seputih susu, namun warna kulitnya bers
Memasang topeng agar terlihat baik adalah keseharianku »|« “Jihan!” Jihan menoleh saat namanya di panggil oleh seorang gadis berambut sebahu, dia adalah Resa, teman satu kelasnya. “Hari ini, lo enggak usah piket. Soalnya kemarin lo udah isi jadwal piket orang. Jadi, sekarang di ganti sama orang yang kemarin enggak piket.” Jihan mengangguk lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas dengan Resa yang berada di sampingnya. “Eh! Sekarang razia, woy!” Seketika kelas tersebut riuh dengan para siswa ataupun siswi. Kebanyakan dari mereka membawa barang yang di larang sekolah. Berbeda dengan Jihan yang santai sekali karena dirinya tahu, jika untuk kelas 12 akhir tidak akan ada razia sebab sudah bebas. “Han, lo bisa enggak, jangan halangi kita yang mau nyembunyiin barang di tempat itu? Awas!” Tubuh Jihan terdorong oleh Sherly yang sibuk menyimpan seluruh barang yang di bawan
Aku kembali dibodoi oleh orang yang mengaku baik padaku »|« Jihan merapikan tempat yang sempat berantakan karena tertiup angin malam. Saat ini, dia sedang menemani Bara untuk makan malam di sebuah restoran terbuka yang terdapat di salah satu hotel Bogor. Langkah kaki Bara yang terdengar dari sepatu pantofelnya membuat Jihan menoleh, memberikan senyum khas miliknya. “Sudah selesai, Mas?” “Sudah. Kalau begitu Mas antar pulang sekarang, ya?” ajakkan Bara langsung di balas anggukan oleh Jihan. Seperti di malam-malam sebelumnya, Jihan selalu di jemput atau kadang-kadang melakukan janji temu dengan calon suaminya hanya untuk menemani Bara makan malam sekaligus melakukan pendekatan lebih dalam lagi. Uluran tangan kokoh itu di sambut dengan lembut oleh Jihan yang tersenyum seperti biasanya. “Mari, Mas.” Bara tersenyum, semakin terkagum pada Jihan yang dapat menyesuaikan diri dengannya cepat. Padahal dalam jarak umur, mereka berdua terpaut cukup jauh yaitu lim
Inilah akhir dari perjuanganku bersama seorang yang disebut sahabat »|« Ujian Nasional sudah berakhir hari ini membuat siswa-siswi di SMK Pramudya terbebas dari segala beban yang ada hingga menunggu hari kelulusan tiba. Berbeda halnya dengan Jihan yang sedang di serbu oleh berbagai pertanyaan oleh seluruh penghuni sekolah akibat kabar miring yang di pajang di mading sekolah. Jihan menatap seluruh guru yang ada di hadapannya saat ini, mencoba menekan rasa gemetar di dalam tubuhnya. “Saya enggak mengelak kalau di foto itu memang benar saya dan saya juga mengaku sering keluar-masuk hotel. Tapi, untuk bapak dan ibu guru yang sangat berpendidikan tinggi mengapa dengan cepat mengambil pendapat, jika yang datang ke hotel pasti habis melakukan itu. “Enggak usah mengelak, prestasi kamu di sekolah ini enggak ada apa-apanya dan sekarang kamu masih mau
Apa tak ada hal baik yang bisa orang tuaku lihat dariku selain keburukanku? »|« Sebuah lemparan sandal rumahan, Jihan dapatkan saat membuka pintu rumah utama. Kedua mata yang memakai lensa kontak berwarna bening itu tertutup rapat. “Lagi?” Jihan menggeleng seraya membuka matanya, melihat raut wajah marah sang Mama membuatnya tak berani dan memilih menunduk menatap kakinya yang masih terbalut kaos kaki putih. “Maaf, Ma.” “Ya ampun, Jihan!” Irma memekik kencang seraya memegang kedua pelipisnya. “Kamu buat apa lagi sampai bisa kayak gini?” Jihan menggeleng. “Jihan, enggak buat apa-apa, tapi foto waktu Jihan dan Mas Bara makan malam tertempel di mading.” “Nah, itu masalahnya!” Irma menunjuk wajah anaknya membuat terkejut. “Kamu punya masalah sama temen kamu ‘kan? Buktinya ada yang fotoin kamu terus di pajang di mading sekolah.” “Maaf, Ma.” Jihan menunduk dalam, kedua tangannya menyatu di depan dada. “Jihan benar-benar engga
Beritahu aku perbedaan dari khayalan dan ilusi »|« Satu Minggu sudah berlalu, sejak kejadian di mading sekolah hari itu. Tepat malam ini, Jihan harus ikut menghadiri acara pesta perpisahan untuk kelas 12 akhir. Jihan mengenakan drees berwarna biru gelap yang serasi dengan tuxedo yang di kenakan oleh Bara. Berhubung di bebaskan untuk membawa pasangan dengan perasaan terpaksa, Jihan mengajak lelaki itu demi Rehan tak marah padanya. Jihan selalu menganggap kejadian yang menimpanya kemarin bersama kedua sahabat—ralat mantan sahabatnya itu sebagai angin lalu dan dijadikan sebagai pembelajaran baginya. Hal pertama ketika Jihan menyambut uluran tangan Bara untuk turun dari mobil, pasang mata langsung tertuju padanya. Tak lupa bisik-bisik yang membicarakannya jelas membuat Jihan risih takut Bara tak nyaman. “Jihan, kamu tak apa?” tanya Bara saat Jihan menggandeng sebelah tangannya. Jihan tersenyum sebagai jawaban. “Tak apa kok, Mas.” Tangan lentik itu mengelu