Bertahan atau Tersiksa
Keduanya bukanlah sebuah pilihan, tetapi sudah menjadi tuntutan
»|«
Hari Sabtu yang ke 18 kalinya, dilingkari pada kalender itu. Pintu kamarnya di buka oleh Irma, Mamanya.
“Apa yang kamu lihat? Cepat mandi, jangan lupa bersolek secantik mungkin.”
Jihan Adiztya, gadis yang akan menginjak usia 18 tahun itu menghela nafasnya kasar, berjalan dengan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya butuh waktu 10 menit, Jihan keluar dari kamar mandi dengan bathrobe yang di pakainya.
Setiap malam Minggu sudah menjadi rutinitas untuk dirinya berpenampilan cantik dari sore hingga tengah malam. Jihan merasa seperti putri Cinderella yang berubah menjadi cantik dalam sekejap hingga melupakan siapa dirinya sendiri.
Jihan menatap tubuhnya yang terbalut gaun mini berwarna fanta yang sangat kontras. Warna kulitnya tidak seputih susu, namun warna kulitnya bersih dan cocok untuk warna kulit di Indonesia.
Tubuhnya kecil dan berisi di usianya saat ini, wajahnya pun tergolong cukup menarik untuk di lihat. Tatapannya berubah menjadi buram tertutup oleh genangan air di pelupuk matanya.
Jihan menggeleng, mencoba mengedipkan matanya berkali-kali agar tak menangis. “Astaga! Lo udah buang-buang waktu.”
Kaki jenjang yang menggunakan heels setinggi tujuh sentimeter itu menuruni anak tangga dengan langkah yang cukup tergesa-gesa. “Maaf, Pa, Ma.”
“Enggak apa-apa, telat 5 menit masih bisa Papa beri toleransi asalkan kamu bisa menarik hati Bara, lelaki yang akan kamu temui malam ini,” ucap Rehan, Papanya dengan nada yang dingin.
Perjalanan yang di lewati sangat lancar tanpa ada hambatan seakan mendukung untuk perjodohan kali ini. Jihan tersadar dari lamunannya, ketika Irma menarik tangannya yang kini posisinya menjadi di antara Irma dan Rehan.
“Ingat! Jaga sikap dan jadi seanggun mungkin, supaya perjodohan kali ini kamu enggak di tolak lagi.”
Jihan mengangguk, lalu melebarkan senyumnya seolah tak ada apa-apa. Padahal jauh di lubuk hatinya ini sedang di landa kegundahan setiap kali ada pertemuan dua keluarga di lakukan.
Rehan dan Irma berdiri saat melihat kedatangan keluarga Rama. Hal tersebut membuat Jihan ikut berdiri dari duduknya menyambut mereka bertiga.
“Selamat malam, Pak Rama.”
Rama tersenyum. “Tidak usah formal begitu, apalagi kita akan menjadi besan.” Lelaki itu menoleh ke arah Bara. “Kenalkan diri kamu.”
Bara tersenyum mengulurkan tangannya ke hadapan Jihan yang langsung di balas oleh gadis itu. “Perkenalkan saya Bara Baskara.”
“Jihan Adiztya,” balas Jihan dengan senyum manisnya yang membuat Bara terpesona selama beberapa saat.
“Sebelum berbicara ke masalah inti, lebih baik kita makan malam terlebih dahulu,” ucap Rama.
»|«
Makan malam telah usai. Kini, saatnya untuk Rama dan Rehan berbicara penting mengenai hubungan kedua anak mereka ke depannya.
“Berhubung Bara setuju, saya tak ingin basa-basi lagi. Sebelumnya, Jihan setuju juga dengan perjodohan ini ‘kan?”
Rehan tersenyum menatap Jihan seolah memberi kode dengan tatapan tajamnya itu. “Tentu saja, Jihan setuju sejak dia tahu kalau akan di jodohkan. Betul ‘kan, nak?”
“Iya, Pak Rama. Jihan percaya dan menerima perjodohan ini karena Jihan yakin pilihan orang tua adalah yang terbaik.”
“Masa remaja kamu, gimana?” tanya Nita seraya memegang tangan Jihan.
“Enggak apa-apa, Bu Nita. Jihan ikhlas selagi bisa menjadi istri yang di idamkan oleh Mas Bara.”
Kelima orang yang ada di meja makan ini tersenyum mendengar jawaban dari mulut Jihan.
Bara memegang kedua tangan Jihan dengan senyum di bibirnya. “Saya percaya kamu yang terbaik untuk saya.” Lelaki itu menoleh kepada kedua orang tuanya. “Percepat pernikahan kami bulan depan, Pa.”
“Baiklah, dua bulan lagi setelah acara kelulusan Jihan, pernikahan segera di laksanakan di tanggal 11 Juli nanti.”
»|«
Esok harinya.
Jihan menempelkan sticky notes yang sudah di tulisnya ke cermin rias yang ada di kamarnya. Tertulis sebuah tanggal dimana dia dan Bara akan melaksanakan sebuah pernikahan yang di dalamnya tak terdapat ikatan cinta. Pikirannya melayang saat acara makan malam kemarin.
Petir bergemuruh membuyarkan lamunan Jihan akan kejadian tadi malam. Dia berjalan ke belakang pintu kamarnya mengambil sepatu heels-nya lalu berjalan keluar kamar setelah memakainya.
“Ma, Jihan hari ini harus keluar rumah sebentar. Mas Bara ngajak Jihan makan di luar.”
“Ya sudah, taklukan hati dia. Kalau perlu kamu jangan pulang ke rumah sebelum dia bertekuk lutut di hadapan kamu.”
Jihan mengangguk berjalan keluar rumah untuk menemui Bara yang sudah berada di depan rumah. Tanpa menunggu lama, Jihan langsung masuk ke dalam mobil putih milik Bara. “Kita mau kemana, Mas?”
“Makan malam dulu, ya. Setelahnya kita jalan-jalan supaya kenal lebih dekat lagi.”
“Iya, Mas.”
Mobil Bara berhenti di salah satu restoran khas Jepang. Keduanya turun dari mobil dan berjalan dengan tangan yang saling berpegangan. Lebih tepatnya, Bara yang memegang tangan Jihan.
Selagi menunggu pesanan datang, Bara menatap Jihan yang membuatnya kembali terpesona hanya melihat wajahnya yang sedang menatap ke luar jendela.
“Jihan.”
Jihan menoleh dengan senyum yang mengembang. “Iya, Mas?”
“Kamu enggak keberatan dengan perjodohan ini? Apalagi kamu masih sekolah.”
“Enggak, Mas. Lagi pula menikah muda apa salahnya?”
Bara menggenggam tangan Jihan. “Jika ada masalah bisakah kamu berbagi dengan saya? Kita lewati bersama-sama.”
Hal itu sontak membuat hati Jihan bergetar karena tak pernah mendapat perhatian khusus seperti ini.
“Terima kasih, Mas. Aku akan coba lebih terbuka lagi. Begitu pula sebaliknya, Mas juga bisa 'kan terbuka dengan Jihan?”
“Iya.”
Percakapan itu terpotong karena pesanan mereka sudah datang dan memutuskan untuk menghabiskan makanan masing-masing.
»|«
Hujan deras mengguyur kota malam ini membuat Jihan dan Bara terjebak macet. Keduanya tak memiliki tujuan setelah makan malam tadi.
“Kayaknya cuaca malam ini kurang mendukung, kita pulang aja, ya?”
“Ehm– terserah, Mas Bara aja.”
“Oke, saya antar kamu pulang lagi.” Bara tersenyum seraya menoleh kepada Jihan.
Mobil Bara berhenti tepat di pekarangan rumah Rehan. Sebelum Jihan turun dari mobilnya, dia menahan sebentar gadis itu. “Besok pagi, saya jemput untuk berangkat ke sekolah kamu.”
Jihan mengangguk seraya tersenyum. “Mas, enggak akan mampir dulu?”
“Enggak perlu, sudah terlalu malam buat bertamu. Setelah ini langsung istirahat, ya. Saya pamit pulang sekarang.”
“Hati-hati, Mas.” Tangan Jihan terulur untuk mencium punggung tangan Bara membuat sang empu melongo dibuatnya.
Setelah itu, Jihan keluar dari mobil Bara dan berjalan masuk ke dalam rumah saat mobil lelaki itu sudah menjauh.
“Kenapa pulang?”
Pertanyaan ini langsung di lontarkan oleh sang Mama membuat Jihan menatapnya diam.
“Mas Bara yang anter pulang, Ma. Lagi pula besok Mas Bara mau anter Jihan sekolah.”
“Bagus, tandanya Bara sudah mulai tertarik dengan kamu,” ucap Rehan seraya menepuk bahu putrinya.
“Jihan pamit ke kamar dulu.”
Di kuncinya kamar itu, lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang kesayangannya.
“Ke depannya akan ada apa lagi yang terjadi?”
»|«
Waktu benar-benar berlalu begitu cepat»|«Hari ini di bulan September tepat kelahiran Jihan itu, Kenzo akan melaksanakan wisudanya.Ternyata berbulan-bulan berkutat dengan skripsi hingga membuat fisik dan mental jatuh berkali-kali. Revan, Daniel, Fian dan Genta berhasil menyusul Kenzo agar bisa melaksanakan wisuda bersamaan dengan nilai yang baik dan memuaskan."Wah, gila! Nggak nyangka kita bakal lulus wisuda bareng-bareng." Genta menyorak senang seraya melepas topi toganya."Gue juga masih nggak nyangka kali," ucap Daniel. Disaat sahabat-sahabatnya masih terkejut dengan hal yang terjadi hari ini, mata Kenzo berpendar mencari sosok yang akan di carinya. Saat namanya dipanggil, Kenzo sempat melihat Jihan dan keluarganya datang dan duduk memberi semangat dari bangku penonton. Ah, hatinya benar-benar menghangat sekali. Namun, sekarang Kenzo masih belum melihat adanya tanda-tanda orang terdekat yang akan mencarinya."Ken, keluarga lo mana? Kita bentar lagi mau foto 'kan?" tanya Revan
»|«Untuk sementara waktu, Kenzo maupun Jihan dapat bernapas lega karena masalah yang lain sudah selesai. Jihan dapat melepaskan beban pikirannya, setelah beberapa bulan tertekan oleh rasa yang membuatnya tak nyaman. Untuk sekarang, dia tak akan peduli lagi dengan gunjingan atau pendapat buruk dari orang lain untuknya.Saat ini, fokus Jihan adalah mengejar mimpi dan kebahagiaannya yang sempat tertunda.Begitu pula bagi Kenzo. Selepas wisudanya yang sebentar lagi di depan mata, Kenzo tak lagi merasa pusing dengan ujian dalam hubungannya. Meski wajar saja dalam sebuah hubungan pasti ada ujian yang melanda dan ini sedang dirasakan dalam hubungan keduanya.Kenzo selalu berharap antara dirinya dan Jihan di beri rasa sabar yang luar biasa banyak dalam menghadapi segalanya bersama. Sejujurnya, Kenzo belum melamar secara resmi kepada Jihan. Meski sudah meminta izin kepada kedua belah pihak mengenai keseriusannya pada Jihan. "Apa gue lamar Jihan di hari kelulusan gue pas pake baju toga aja,
Situasi yang menegangkan sehingga menghilangkan rasa nyaman»|«Dua bulan berlalu dan sekarang Jihan sudah kembali ke tempat pengadilan, dimana Bara yang akan melakukan sidang ketiganya mengenai kasus yang terjadi. Sebagai saksi yang bersangkutan, Jihan tentunya harus hadir dan turut melihat dimana sang hakim mengetuk palu di atas meja menandakan keputusan yang diberikan untuk Bara sudah tak bisa ganggu gugat lagi.Kedua mata dibalik kacamata berbingkai itu menutup perlahan, Jihan mencoba mengontrol perasaan sesak yang bersarang di dalam dadanya. Kenapa? Kenapa Jihan merasa semuanya terasa begitu menyakitkan? Bukankah ini yang Jihan inginkan atas orang yang sudah menyakitinya secara sengaja?Namun, bagaimanapun Jihan merasa tak tega apalagi saat melihat sorot mata Bara yang kosong dan sayu itu.Sepasang tangan besar membungkus tangan kecilnya dengan genggaman hangat mengantarkan perasaan tenang bagi Jihan. "Jihan, kamu tolong kuat, ya?" bisiknya pelan membuat Jihan membuka kedua ma
Hanya berniat jujur untuk menceritakan semuanya »|«"Ada apa, Ken?" Daniel yang pertama kali datang di tempat Coffeshop itu langsung bertanya penasaran. "Tunggu yang lain dulu, Niel. Bentaran lagi paling juga," balas Kenzo yang di angguki Daniel.Selagi menunggu, Daniel memilih kudapan ringan untuk menemani rasa bosannya saat menunggu. Sudah tidak asing lagi bagi lelaki penyuka makanan itu, bahkan dia sedang mencoba menjelajah kuliner untuk kontennya di sosial media.Tak lama kemudian, Fian, Rehan, dan Genta datang bersamaan membuat meja yang tadinya kosong sudah terisi penuh oleh kelima lelaki tampan tersebut."Tumben barengan?" tanya Daniel seraya memakan kentang gorengnya."Kita dari kampus abis ketemu pembimbing dosen," jawab Genta."Oh, pantes. Pesennya nanti aja," sahut Daniel membuat yang lainnya memandang tajam. "Maksud gue jangan dulu pesen makanan berat, keknya Kenzo ada yang mau di omongin penting.""Ya, udah. Gue pesen minu
Setiap masalah yang terjadi, pasti ada jalan keluarnya»|«Seharian penuh, Jihan masih saja mengurung diri. Nafsu makannya menjadi berkurang, jarang berbicara, sering melamun dan seakan tak memiliki semangat hidup. Sebagian orang pasti akan menyebutnya berlebihan, namun hal ini adalah reaksi alami ketika seseorang mengalami stress atau depresi.Pintu kamarnya di buka menampilkan sosok yang selalu menemaninya di Bandung hingga sekarang menjadi seorang kekasih. Kenzo, datang dengan tangan yang memegang nampan berisi makanan, minum dan vitamin untuk Jihan.“Jihan?” Jihan menoleh sekilas, lalu kembali pada posisi semulanya. “Loh, enggak kangen sama Mas?” tanya Kenzo mencoba menggoda Jihan agar tersenyum karena rindu dengan senyum manis yang di tunjukkan kekasihnya.Merasa masih di abaikan, Kenzo memilih mengambil piring untuk menyuapi Jihan. “Sini, makan dulu.” Jihan membuka mulutnya sedikit. “Aku enggak nafsu, Mas.”Kenzo meno
Ternyata waktu berlalu begitu cepat tanpa dirasa »|« “Ibu, lagi apa?” Tangan besar Kenzo merangkul bahu Nina yang sedang menyiapkan perlengkapan barang untuk di bawa ke dalam bagasi. Nina menoleh menatap putra sulungnya seraya tersenyum lebar. “Ini bawain, ya?” “Oke, Bu.” Kenzo dengan sigap membawa tas besar berisi pakaian dan beberapa perlengkapan lainnya untuk keperluan di hotel nanti, namun lelaki itu kembali memutar tubuhnya. “Ibu-” “Iya, iya. Ibu tau, nanti di bawakan kue yang kemarin di buat untuk Jihan dan keluarganya.” Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Kenzo berniat bersilaturahmi dengan keluarga Jihan sekaligus membawa izin pada kedua orang tua gadis itu untuk di ajak ke Bandung saat wisuda Kenzo nanti. Keluarga Syahputra memang membawa barang cukup banyak karena akan liburan sekaligus berkunjung ke rumah keluarga Jihan. Lagi pula kekasihnya sudah mengetahui hal ini. “Rey yang bawa, boleh enggak, Yah?” Pinta Rey pada Aris ya