Share

7. Sekotak Coklat Berbentuk Cinta

Setelah melewatkan malam-malam dengan begadang untuk mengedit foto, akhirnya Brie dapat memulai tidur malamnya pada pukul 9 malam, tanpa terbangun. Sangat nyenyak.

Bahkan, pukul lima pagi, ketika semua penghuni kos sudah mulai beraktivitas karena sebagian besar adalah pegawai kantor yang bekerja pukul 8 pagi dan pulang pukul 5, Brie masih nyaman berselimut.

Pukul lima lewat lima menit, alarm berbunyi. Brie menggeliat, dengan mata masih menyipit, tangannya meraih ponsel untuk mematikan alarm. Pagi ini, Brie bangun dengan bahagia tanpa beban. Semalam ia telah menghabiskan hampir setengah porsi brownies, akhirnya suasana hati Brie sudah jauh lebih baik.

“Pagi, Mbak Shella. Berangkatnya pagi banget, Mbak,” sapa Brie ke penghuni kamar sebelahnya.

“Iya, Brie. Ada audit hari ini, bikin pusing,”ujar Shella yang terburu-buru memakai flatshoes.

“Hati-hati ya Mbak.” Brie tersenyum melihat tetangga kamarnya itu berlari-lari keluar kos untuk berangkat kerja.

“Ah, menyenangkan sekali jadi pengangguran,” ujar Brie sambil menyeruput segelas susu, kemudian menyuap besar sisa brownies semalam ke mulutnya.

“Brie, enak banget kamu, duduk-duduk santai di hari Selasa yang sibuk ini,” tukas teman kos Brie lainnya.

Brie yang sedang duduk santai di depan kamarnya menyahut,” Enak, Ver, sini ikut leha-leha.”

“Tungguin aku pulang kerja, nanti aku ikutan,” ujar teman kos Brie yang bernama Vera, kemudian langsung berlari ke pintu gerbang.

“Ternyata orang-orang sangat sibuk di pagi hari ya. Serba buru-buru.” Brie menghabiskan susu dan browniesnya, lalu masuk kamar dan mandi.

***

Sudah sekitar lima menit Brie berdiri di depan rak makanan ringan. Matanya menatap sekotak coklat berbentuk cinta dan sebungkus biskuit coklat secara bergantian.

“Kalau aku masih jadi pekerja kantoran dengan gaji stabil setiap bulan, dua cemilan ini langsung masuk keranjang,” ujar Brie dengan bibir manyun. Keuangan yang masih belum stabil, mengharuskannya untuk berpikir matang untuk sekedar membeli makanan.

Pilihan Brie akhirnya menjatuhkan pilihan pada sekotak coklat, dengan pertimbangan coklat akan lebih banyak menurunkan hormon kortisol dan meningkatkan hormon endorfin dan serotonin yang membuat bahagia.

Baru saja tangan Brie akan mengambil kotak coklat tersebut, sebuah tangan sudah menyambar coklat yang memang hanya tersisa satu kotak. Brie langsung menoleh ke arah pemilik tangan yang sudah melenggang ke arah kasir. Matanya menangkap sosok laki-laki dari belakang berpostur atletis dengan kaos polos berwarna putih dan hidungnya mencium aroma Woody yang elegan.

“Ish, sialan,” desis Brie dengan sebal.

Akhirnya Brie membawa biskuit coklat ke kasir, berjalan persis di belakang laki-laki yang telah mengambil coklat incarannya. Ia tak berhenti menggerutu dalam hati saking kesalnya.

“Memang sudah jaman ya, cowok ngemilnya coklat,” gumam Brie lirih. Dengan leluasa Brie mengamati gerak-gerik laki-laki itu dari belakang sambil bersungut-sungut.

“Aduh!” Brie mengaduh ketika seseorang menyenggol lengannya dengan sedikit keras.

“Aduh, maaf.. maaf.” Seseorang itu meminta maaf pada Brie sembari memunguti beberapa bungkus makanan ringan yang jatuh dari dekapannya, kemudian langsung mendongak ke arah Brie,” Loh, Kak Brie? Sakit, Kak? Maaf ya Kak.” Tangannya mengusap-usap lengan Brie.

“Nggak apa-apa, kita malah ketemu di sini, Sher.” Brie merespon basa-basi. Otaknya tiba-tiba membuat spekulasi bahwa laki-laki di depannya adalah Edwin, Si Manusia Gorila.

“Bang Edwin, ini tambahannya.” Sherly menyerahkan makanan ringan dalam dekapannya ke meja kasir. Laki-laki yang sedari tadi fokus dengan ponselnya menoleh.

Benar dugaan Brie. Edwin tersenyum simpul ke arah Brie tanpa bersuara, Brie membalas dengan hal yang sama.

Suasana hati Brie mendadak berantakan. Bertemu dengan Edwin benar-benar merusak hari bahagia. Akhirnya Brie memilih untuk mundur dari antrian kasir dengan alasan menambah barang belanja.

“Bisa-bisanya ketemu di sini,” sungut Brie.

Brie berjalan melewati lorong rak produk kecantikan, dilihatnya beberapa produk dan kemudian meletakannya kembali ke tempatnya.

“Sabar, Brie. Jangan kalap.”

Diliriknya keranjang belanjanya untuk memastikan barang belanjaannya sesuai dengan daftar belanja. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih. Dalam daftar belanjanya tidak ada produk perawatan kulit yang perlu ia beli.

“Eh, dompet siapa ini?” Brie mengambil benda asing yang ada di keranjangnya, “Jangan-jangan ada yang abis nyopet terus ditaruh keranjang belanjaku.” Brie mulai panik.

Dibukanya dompet itu, terpampang kartu identitas dengan nama Sherly Mariana. Tentu saja itu milik Sherly, adik Edwin. Tiba-tiba ponsel Brie berdering, terpampang wajah Sherly.

“Halo..”

[Halo Kak Brie, maaf, dompetku jatuh di keranjang belanjamu, nggak?]

“Iya, Sher, aku sadar baru saja. Aku titipkan ke pusat informasi ya.”

[Nggak usah, Kak. Aku susulin aja, Kak Brie dimana sekarang?]

“Masih di dalam supermarket, bagian kosmetik.”

[Oke, Bang Edwin yang bakal kesitu ya, aku mau ke toilet dulu, Kak. Makasih, Kak Brie!]

Sambungan telepon dimatikan, Edwin akan segera menghampiri Brie. Brie membuang napas dengan kasar raut wajahnya merengut dan jari-jarinya kian keras menggenggam keranjang belanja.

“Aku pengen cepat pulang, Ya Allah,” gumam Brie. Tiba-tiba lehernya tegang dan mulutnya terus komat kamit merapal mantera,”Tolong jauhkan hamba dari Manusia Gorila itu.”

“Maaf, permisi..”

Jantung Brie mencelos, diam mematung tanpa berani langsung menoleh untuk memastikan pemilik suara tersebut. Detak jantungnya berdebar tidak beraturan, sedikit lemas dan kehilangan fokus.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status