Share

5. Manusia Gorila

Terdengar suara uang koin yang saling beradu sejak tadi dari kamar Brie. Ia mengumpulkan semua uang koin yang ia miliki setelah melakukan pencarian di sudut-sudut kamarnya. Brie memang gemar mengumpulkan uang koin dalam wadah plastik bekas toples sosis, selain itu terkadang ada saja uang koin yang terjatuh dari sakunya namun sengaja tidak ia ambil agar menjadi harta karun yang akan ia korek-korek. Setidaknya terkumpul uang koin sebesar tiga ratus ribu yang terkumpul selama dua bulan. Setelah dirapikan dalam bungkus plastik, kumpulan uang itu akan ia tukarkan ke toko waralaba untuk mendapatkan uang kertas.

Hari ini Brie sudah berjanji bertemu Sherly di Bittercoffee untuk menyerahkan hasil pekerjaannya. Setelah menukarkan uang di toko waralaba, Brie langsung menuju Bittersweet, sepanjang jalan ia berharap hasil kerjanya dapat diterima dengan baik tanpa ada masalah. Berkali-kali ia menarik napas panjang, jantungnya berdesir kencang tak karuan. Perasaan ini mengingatkannya saat pertama kali kerja, tiba-tiba saja perutnya mulas membuat kacau situasi.

Sesampainya di Bittercoffee, tanpa pikir panjang Brie langsung berlari ke arah toilet. Tujuan pertama di Bittersweet bukan lagi bertemu Sherly, melainkan menunaikan panggilan alam. Ia berlari seperti pencuri yang melarikan diri, mengundang perhatian dari dua pasang mata yang mengawasinya. Setelah menuntaskan hajatnya, Brie duduk di sebuah meja di dekat bar. Ia tak melihat sosok Sherly, namun ia tak ingin buru-buru bertanya ke barista yang sedang meracik minuman dari dalam bar. Brie ingin sejenak duduk mengatur napas terlebih dulu sebelum bertemu dengan kliennya –Sherly. Setelah agak tenang, ia berjalan ke arah bar untuk mencari Sherly.

“Mbak Sherly belum datang, Kak. Saya panggilkan Bang Edwin, kakaknya Mbak Sherly ya, Kak. Bang Edwin ini juga pemilik kafe ini,” terang si Barista. Brie hanya mengangguk dan tersenyum tanda setuju. Ia pun kembali ke mejanya, duduk sambil melihat kembali hasil pekerjaannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.

[Kak Brie, maaf ya, hari ini aku agak telat datangnya, tapi sudah ada abangku di kafe. See You!]

Sebuah pesan dari Sherly, cukup menjelaskan bahwa si Barista memang tidak mengada-ada. Lalu, ia kembali melihat-lihat hasil foto yang akan ia serahkan hari ini. Tentu Brie sangat berharap hasil pekerjaannya itu akan disukai, karena untuk mengerjakan itu semua ia rela begadang dan kurang makan.

“Hai.”

“H-hai.” Brie tercekat melihat yang ada di depannya.

Bola mata Brie berputar seolah tidak percaya dengan yang ada di depannya saat ini. Sosok yang berdiri di depannya adalah orang yang tidak ingin ia temui.

“Brie? aku Edwin,” sahut Edwin

“I-iya benar.” Brie kikuk dengan situasi saat itu. Ia tak habis pikir laki-laki yang ia sebut gorila adalah kakak dari Sherly yang juga pemilik kafe ini. Jantungnya berdebar dengan begitu cepat, dia tak bisa menyembunyikan rasa gugup yang semula sudah agak mendingan.

“Hmm, mau minum apa?”

                        “Jus semangka aja, Thanks,” ujar Brie

Edwin langsung menuju bar untuk meminta barista membuatkan jus semangka, dan kemudian kembali ke meja Brie. Sedangkan, Brie menunduk menekuri ponselnya untuk mengalihkan perasaan kacau yang menyelimutinya. Brie tak siap berhadapan dengan laki-laki yang disebutnya gorila itu. Sejak pertemuan pertamanya itu, Brie telah memberi cap jelek pada laki-laki yang ternyata adalah Edwin.

“Nanti Sherly bakal nyusul ke sini, paling sebentar lagi. Fotonya sudah jadi?”

“Sudah mas.”

“Panggil Edwin aja. Boleh ku lihat dulu?”

“Oh iya, boleh kok.” Brie segera membuka laptop, tangannya masih sedikit gemetar. Ia menyodorkan laptop tersebut ke depan Edwin.

Brie memandangi Edwin dengan perasaan gusar, ia takut dengan reaksi Edwin. Perasaan yang sama ketika Brie sedang di evaluasi kerja saat masih bekerja pada atasannya dulu. Brie menarik napas dalam dan menghembuskannya secara berlahan dengan diam-diam agar Edwin tidak menyadarinya.

“Permisi, Kak…”

“AKH!” Brie menjerit kaget ketika seorang pelayan datang mengantarkan jus semangka miliknya. Teriakan Brie membuat suasana semakin aneh dan canggung, apalagi semua pengunjung lain melihat ke arahnya.

“Maaf, Kak, ini minuman jus semangkanya. Selamat menikmati ya,” ujar si Pelayan yang tetap ramah walau ada sedikit rasa canggung dan kaget.

“E-eh iya, Kak, makasih ya.”

Brie meraih jus semangkanya dan segera meminumnya, dan tanpa sengaja matanya bertemu dengan mata Edwin yang sedang menatapnya aneh.

 “Uhuk!” Brie tersedak.

“Santai aja, Brie,” ujar Edwin yang kembali melihat-lihat hasil foto Brie. Sedangkan, Brie semakin menciut karena menahan malu.

“Hmm…” terdengar suara Edwin seolah meragukan sesuatu. Dari kerutan di dahinya nampak ia kurang suka dengan hasil foto Brie. Brie melihatnya dengan perasaan sangat cemas.

“Hai, Kak Brie!” Brie kembali terkaget mendengar namanya disebut, Sherly telah tiba.

“Hai..” balas Brie lirih.

"Gimana Bang hasil fotonya?” Sherly langsung meraih laptop yang ada di depan abangnya, dan melihat-lihat hasil fotonya.

“Hmm, sini ikut Abang dulu, Sher.” Edwin bangkit dari kursinya dan berjalan ke dalam ruang kerja diikuti oleh Sherly.

“Bentar ya, Kak Brie.” Tukas Sherly dan dibalas senyuman oleh Brie.

Brie segera meneguk kembali jus semangkanya, perasaan Brie semakin kacau ketika menyadari Edwin tidak menyukai hasil kerjanya. Ia ingin segera pulang, ia tak tahan berlama-lama berhadapan dengan Edwin. Kakinya tak berhenti bergerak-gerak tidak beraturan.

"Sher, ini hasilnya jelek semua, Sher. Kayak sampah tau!”

“Tapi, itu tadi sudah oke menurutku, Bang.”

“Oke gimana, Sher? auranya terlalu gelap untuk foto komersil. Ngerti nggak sih?!”

“Itu aku yang minta, Bang! sesuai dengan permintaanku!” Sherly mulai ngotot dengan pendapatnya. “ Foto-foto itu sesuai dengan gambaran yang aku inginkan untuk kafe ini, Bang! Itulah kenapa kafe ini bernama Bittercoffee. Kopi itu pahit, tapi orang masih saja suka karena di dalamnya ada kafein kuat yang bisa bikin orang lupa sama masalah tentang pahitnya kehidupan. Itu mauku, Bang! pesan itu yang ingin aku sampaikan!”

Edwin terdiam dengan jawaban Sherly. Dia menghela napas panjang. Memang benar, selama ini ia tidak pernah meminta pendapat apapun kepada Sherly. Ia terlalu khawatir dengan keputusan Sherly yang menurutnya masih anak-anak, sehingga ia lupa jika Sherly sudah tumbuh dewasa dengan pemikiran dan pendapatnya sendiri.

“Kak Brie, aku suka sama hasil fotonya. Makasih ya, Kak.”

“Serius?” Seolah Brie tak percaya dengan ucapan Sherly, ia malah balik bertanya.

“Yup! Sesuai dengan yang aku mau. Kakak keren banget pokoknya!”

Ting!

Ponsel Brie berbunyi, sebuah notifikasi dari Mobile Banking.

“Pembayaran sudah aku lunasi ya, Kak, baru saja.” Sherly menambahkan.

Brie akhirnya sangat lega, ia bisa tersenyum lebar dan menghembuskan napas dengan lebih santai. Ia pun lebih leluasa mengedarkan pandangan, dan lehernya tidak lagi kaku menegang. Sebelumnya ia hanya menunduk pura-pura membalas pesan di ponsel, padahal ia hanya mengetik di memo dan menghapusnya kembali, karena rasa gugup yang tidak dapat ia kendalikan.

Brie sudah berpamitan pada Sherly dan akan segera pulang, namun ojek yang dipesannya belum kunjung tiba, karena sudah tidak sabar ia menunggu di luar pelataran kafe itu. Sebelum pulang ke kost, ia berencana mampir membeli sekotak brownies untuk teman nonton drama korea. Malam ini ia akan bersantai-santai, tanpa sepaneng.

“Hei, maaf.”

“Oh, iya, Pak.” Brie yang mengira pemilik suara adalah pengemudi ojek pesanan, langsung kaget saat menoleh. Yang menghampirinya adalah Edwin. Melihat yang di depannya adalah Edwin, membuat dada Brie berdesir. Bukan jatuh cinta, tapi rasa gugup yang mulai menyerang.

“Aku nggak mau basa basi. Hanya saja sepertinya aku perlu menyampaikan pendapatku kalau aku tidak suka hasil kerjamu. Tapi, adikku, Sherly sangat menyukainya. Aku berharap ke depannya kamu tidak lagi bekerja sama dengan Bittercoffee. Kecuali jika kemampuanmu sudah meningkat tajam, atau aku sudah tidak lagi di sini.”

Brie terkejut, ia tak mampu berkata-kata.

“Maaf kalau aku terlalu jujur karena aku juga masih pemilik kafe ini. Tapi, kejujuran harus diungkap meski pahit.” Edwin menambahkan.

Wajah Brie memerah menahan emosi, darahnya sudah mendidih, namun tidak satu pun kata keluar dari mulut Brie. Seakan ada biji durian yang mengganjal tenggorokannya. Dia tak menyangka akan menerima kalimat panjang lebar dari Edwin. Air matanya sudah berkumpul di pelupuk mata, dan sudah siap terjun bebas.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status