Share

2. Pertemuan Pertama

Selembar kain putih ditata rapi dengan tas cantik di atasnya. Brie membidikkan kameranya fokus pada tas tersebut agar mendapatkan kesan bagus dan menarik. Ia berniat menjual tas dan barang-barang layak guna miliknya untuk menambah pemasukan. Setelah mendapatkan foto yang bagus, ia akan mengunggahnya di media sosial untuk promosi. Sebelumnya ia telah berhasil mendapatkan uang setengah juta dari menjual baju-baju bekasnya.

“Pandai juga aku jualan, apa aku buka small business aja, ya.” Brie berceloteh sambil menulis rekapan penjualan pada buku yang sama dengan yang ia gunakan untuk menulis sumpah serapah pada atasannya.

Ponsel pintar Brie berbunyi, ia segera meraih benda berwarna pink itu. Ternyata sebuah pesan dari Erna, teman kantor Brie dulu.

[Hai Brie, aku boleh minta tolong sesuatu gak?] Brie membaca pesan itu dengan pikiran bermacam-macam, apa yang ia bisa bantu untuk temannya itu karena jika bantuan berbentuk materi tentu saja ia tak bisa membantu. Lalu jemarinya menari lincah di atas ponselnya membalas pesan Erna dengan kalimat tanya singkat. Setelah pesan itu terkirim, tidak lama kemudian ponsel Brie kembali berbunyi, namun bukan pesan yang ia terima, melainkan sebuah panggilan langsung oleh Erna.

[Hi Brie, maaf ya aku langsung telpon saja] ujar Erna dari seberang tanpa basa basi.

“Iya Er, apa yang bisa aku bantu nih?” Brie menjawab dengan pertanyaan sesuai dengan pesan yang telah ia kirimkan sebelumnya.

[Brie, ku liat kamu kan sering tuh foto-foto, nah jepretanmu cukup oke. Kebetulan kan aku ada sampingan jualan kue nih, boleh tidak kalau aku minta tolong buat foto produk jualan? Ada komisinya kok.] Jawab Erna secara gamblang. Secara tidak langsung Brie langsung lega, dia khawatir sekali jika Erna menghubungi untuk bantuan materi, yang ia sendiri dalam keterbatasan ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum tentang hutang piutang yang menjadi problem rusaknya suatu hubungan pertemanan, bahkan kekeluargaan.

“Wah kue apa nih, Er? Boleh deh kuterima tawaranmu,” Brie merasa cukup senang mendapatkan penawaran dari Erna, soal komisi tidak terlalu ia pikirkan, karena  ada yang tertarik dan berminat menggunakan jasanya saja merupakan apresiasi yang sudah membuat bahagia. Hal ini semakin membuatnya semangat menekuni dunia foto.  

[Soft cookies gitu Brie, nanti bisa langsung ketemu Brie? Sekitar jam 5 sore, nanti lokasi ketemuannya aku kirim lewat chat ya.] Jawab Erna. Brie mengiyakan pertemuan sore nanti, karena memang sedang senggang.

[Nanti langsung ketemu di kafe Bittercoffe ya, kafe baru di jl Sumatera no 40.] Brie membaca pesan masuk dari Erna yang menyebutkan tempat pertemuan mereka nanti.

***

            Brie menuju meja kafe yang sudah ditentukan Erna, dilihatnya Erna sudah berada di tempat seorang diri. Erna melambaikan tangan kea rah Brie, mengisyaratkan bahwa ia menyadari kehadiran Brie.

            “Hai, gimana kabarmu, Brie?” sapa Erna ramah.

            “Baik, lumayan bisa self healing,” kata Brie sembari mengambil kursi untuk duduk.

            “Nah, ini dia Brie yang ku bilang.” Erna mengeluarkan stoples kue dengan taburan chip coklat yang nampak lezat.

“Produkku itu Soft Cookies, keunggulannya gluten free karena menggunakan tepung almond dan tentu saja chewy di mulut,” terang Erna. Ia sangat bersemangat memulai bisnisnya. Ia sendiri bertekad untuk tidak main-main dengan bisnisnya, mengingat beberapa teman kantornya termasuk Brie sudah diberhentikan. Sewaktu-waktu bisa saja gilirannya yang harus hengkang. Paling tidak, ketika kemungkinan buruk itu terjadi, dia sudah memiliki bisnis yang sudah berjalan.

“Aku nggak habis pikir emang sama si Ridwan, manajer setengah mateng tapi bikin porak-poranda kantor. Masa anak-anak lama yang udah senior pada diberhentiin. Bagaimana bisa santai, kalau di kantor kebanyakan anak baru yang belum bener-bener bisa diandelin dalam pekerjaan, senior yang tinggal beberapa biji yang kerepotan ngajarin mulu. Ridwan mah ngomel sama nyuruh doang.” Erna tidak bisa menyembunyikan emosi kesalnya, beberapa kali dia menampar meja.

“Wah kacau balau ya, untung aku udah dipecat,” kelakar Brie sambil menyesap es kopi pesanannya. Disitulah Brie bersyukur karena memang sudah jalannya ia keluar dari kantor tersebut.

“Brie, fee-nya gue transfer minggu depan ya,” tukas Erna.

“Ok. Aku kerjain dulu, nanti hasilnya ku kirim kalau uda kelar,” jawab Brie.    

“Brie, aku ke toilet dulu ya, kebelet banget, nih,” tukas Erna. Ia langsung memutar badannya dengan sangat cepat untuk bergegas mencari toilet, namun, hal tak terduga terjadi. Ia tak menyadari dari arah belakang ada seorang laki-laki yang berjalan keluar.

Bugh … pundak Erna bertabrakan dengan dada laki-laki itu.

“Aduh!” Erna meringis memegang pundaknya. Matanya menatap laki-laki di hadapannya. Lelaki itu memegang dada yang ditabrak Erna. Brie mengawasi lelaki itu, dia khawatir si Erna kena semprot karena kecerobohannya, namun tidak ada reaksi apapun. Cukup dingin dan agak jumawa tampangnya.

Amit-amit jangan sampai aku berurusan dengan cowok kayak gitu,” ujar Brie dalam hati, sambil mengamati dari jauh lelaki yang bertabrakan dengan Erna itu. Galak dan bossy begitulah Brie menggambarkan laki-laki itu. Seketika ia berdoa untuk dijauhkan dari orang dengan karakter seperti itu. Salah satu yang Brie syukuri setelah diberhentikan dari pekerjaannya adalah terlepas dari atasan yang bossy. Melihat laki-laki itu tadi, membuatnya teringat pada atasannya yang hampir setiap hari menjadi bahan obrolan oleh teman-teman kantornya karena hampir setiap pula ada yang diomeli dan kena semprot untuk masalah yang seharusnya masih bisa dibicarakan dengan kepala dingin.

            Pernah dulu, si Atasan itu melakukan kesalahan di depan karyawan-karyawan lain. Giliran diingatkan oleh bawahannya, bukan ucapan terima kasih yang dilontarkan, melainkan kata-kata gengsi yang menunjukkan ketidaksenangannya. Setelah itu, si Atasan menjadi omongan selama seminggu penuh. Jika teringat hal memalukan itu, Brie tetap tergelitik karena menurutnya menertawakan atasan yang bertingkah menggelikan adalah hiburan.

***

            Erna kembali dari toilet sambil memegangi pundaknya yang sakit setelah insiden tabrakan tadi. Sesekali ia memijat pundaknya yang linu, berharap segera terobati.

            “Er, aku ada koyo, nih. Kasian amat, mau kencing aja malah tabrakan sama gorila,” kelakar Brie sembari menyodorkan koyo. Mereka terkekeh bersama. Namun, Erna tiba-tiba berhenti tertawa dan memberi isyarat tangan pada Brie untuk berhenti tertawa karena laki-laki yang ditabrak Erna sedang berjalan melewati mereka. Si Laki-laki itu berjalan melewati mereka tanpa menoleh, kali ini ia tidak sendiri karena ia berjalan bersama beberapa temannya yang baru saja datang.

            “Widih, cakep-cakep bener itu temen-temennya,” celetuk Erna.

            “Iya, Er. Nggak kayak si Gorila,” sahut Brie.

Beberapa saat mereka mencuri-curi pandang ke arah gerombolan tadi, hingga akhirnya Brie terkejut karena matanya bertemu dengan si Laki-laki Gorila. Ia langsung membuang muka, lalu sibuk mencari-cari ponselnya. Mendadak mukanya memerah dan malu. Erna tertawa melihat tingkah Brie yang salah tingkah.

            Brie kembali berkutat ke kue-kue Erna. Ia menata komposisi tatanan kue tersebut, dan kembali membidikkan kamera ke kue-kue cantik dan menggiurkan tersebut. Sebenarnya, Brie sudah tak sabar ingin segera menyelesaikan sesi foto tersebut, karena Erna membolehkan kuenya dibawa pulang Brie. Bagi Brie, yang sangat menyukai kue-kue manis tentu saja menjadi sebuah tawaran yang menyenangkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status