Share

Amazing brie
Amazing brie
Penulis: Himmalelie

1. Brie

Segelas susu dingin sudah di meja bersama roti panggang yang tidak terpanggang sempurna. Semula Brie menyiapkan sarapannya terburu-buru, namun sepersekian detik situasi buru-buru itu berubah menjadi lambat dan melelahkan setelah Brie menerima pesan dari atasannya.

[Pagi Brie, sesuai dengan keputusan rapat melihat dari penilaian terakhir. Perusahaan memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrakmu. Untuk pengembalian ID dan pengambilan surat keterangan kerja bisa langsung ke HRD, ya.]

Brie terduduk lesu dengan masih memakai pakaian kerja yang seharusnya ia kenakan untuk berangkat kerja hari ini, tetapi atasannya memutuskan jika kontrak kerja Brie tidak dilanjutkan sehingga Brie tidak perlu berangkat kerja hari ini atau dengan kata lain Brie diberhentikan atau lebih tepatnya saat ini Brie sudah menjadi pengangguran. Kepalanya pusing luar biasa, banyak hal yang tiba-tiba menghujani pikirannya. Tiba-tiba saja bayangan wajah ibunya, cicilan laptop barunya dan wajah ibu kos muncul berputar-putar di kepalanya.

“ Bagaimana ini?”, desisnya.

Uang tabungannya masih tersisa 10 juta untuk bertahan hidup hingga kembali mendapatkan penghasilan lagi. Mau tak mau dia harus menahan diri untuk super irit dan hemat agar uangnya tidak ludes. Brie bangkit dari duduknya dan mulai mengirimkan lamaran pekerjaan secara daring, dengan berbekal pengalaman kerja sebagai Staff Quality Control untuk perusahaan retail, dia berharap mendapatkan pekerjaan secepatnya. Jangan sampai keluarga, terutama ibunya tahu kalau saat ini dia sudah kehilangan pekerjaan. Brie tidak habis pikir, setelah tiga tahun bekerja, akhirnya ia diberhentikan.

            “Mbak Brie, di kamar?” seperti punya kekuatan sihir, setelah muncul dalam pikiran Brie, saat ini ibu kos Brie sudah berdiri di depan pintu kamar.

            “I-iya, Bu.” Brie berdiri dengan malas, ia menghela napas sangat panjang seolah-olah merasa paling sial di dunia.

            “Mbak Brie, ini ada nasi sayur asem sama es buah. Tadi beli beberapa buat ngelarisin usaha temen, dimakan ya.” Bu Kos menyodorkan kresek hitam kearah Brie.

            Mata Brie tertuju sosok wanita paruh baya berbadan gempal dengan daster bunga-bunga itu dan kemudian mengalihkan pandangan ke kantong kresek di depannya,” Makasih, Bu,” ujar Brie seraya mengambil kantong kresek itu dengan riang. Brie yang semula enggan membuka pintu, kini merasa beruntung telah membuka pintu.

            “Sama-sama, Mbak Brie. Kalau mau nambah nasi bisa ambil ke rumah Ibu, ya.” Ibu Kos berjalan kembali ke rumahnya. Tiba-tiba saja di mata Brie, Ibu Kos sudah seperti Bundadari baik hati di sinetron Bidadari.

            Brie mengeluarkan isi kantong kresek dan meletakkannya di atas meja lipat. Matanya tak lepas dari nasi sayur asem dan es buah yang sudah siap ia santap.

            “Ibu Kos baik banget, masa iya aku tega nunggak bayar kosan dengan alasan lagi nganggur, sih.”  Satu sendok penuh berisi potongan buah naga dan melon berhasil masuk ke mulutnya.

***

Seminggu berlalu, setiap ada notifikasi email maksud Brie langsung sumringah, namun tak lama wajahnya kembali masam. Bukan email undangan wawancara yang ia terima, namun email promo belanja dari E-commerce. Entah berapa kertas yang telah ia habiskan untuk menulis kutukan pada atasannya, seperti memiliki dendam kesumat, ia merasa tidak diperlakukan adil.

Sampai akhirnya ia lelah dan menyudahi kesedihannya adalah saat ia telah puas menangis dan saat itu juga ia menyadari kamarnya sudah seperti kandang babi, sampah dan pakaian berserakan jadi satu. Selama menikmati kesedihannya, ia pantang melakukan apapun. Hanya tiduran saja, makan dengan roti, bahkan melamar pekerjaan melalui online ia lakukan sambil tiduran dan menangis. Begitulah Brie ketika sedang melampiaskan kesedihannya, ia akan menghabiskan rasa sedihnya untuk siap melanjutkan kehidupan.

Brie mengikat rambut panjangnya bersiap-siap membereskan kamarnya agar mendapatkan suasana baru. Barang-barang yang tidak digunakan atau jarang digunakan akan diberikan ke orang lain. Ia ingin kamarnya lebih sedikit isinya, karena dengan kamar yang lebih sedikit barang akan membuatnya lebih damai.

Sebuah kardus besar yang selama ini teronggok di sudut kamar, ia bongkar untuk menyeleksi benda-benda di dalamnya. Di dalam kardus terdapat sebuah sisir rusak, kertas-kertas notes dengan coretan tidak jelas, paku-paku karatan. Kemudian, ia juga menemukan surat cinta dari mantan kekasihnya yang telah mencampakkannya dulu, ” Kenapa aku menyimpan benda-benda semacam ini, sih?”, tanya Brie pada dirinya sendiri. Brie merasa gemas, pantas saja kamarnya terasa penuh dan sesak. Tidak perlu dipilah lagi, ia akan membuangnya.

Mata coklatnya membesar melihat sebuah foto masa kecilnya. Ia mengambil foto itu, tampak Brie kecil dengan topi kepang dan baju kodok berdiri di samping ibunya yang sedang menggendong adik kecilnya . Pikiran Brie kembali ke masa kecil dulu, dia berasal dari kota kecil di Jawa Tengah. Kehidupan masa kecil seperti anak-anak pada umumnya, bedanya, ia hanya memiliki seorang ibu sebagai orang tua. Ayahnya tidak diketahui keberadaannya sejak Brie dan adik semata wayangnya kecil. Dari sekian banyaknya album foto di rumahnya, tidak ada foto keluarga lengkap bersama Ayahnya. Hanya ada ibu, Brie dan adiknya, sesekali ada nenek.

Brie meraih ponselnya, mencari kontak ibunya, namun tak kunjung menghubungi. Ia memandangi foto profil ibunya lama sekali, “ Rindu, Bu,” ujar Brie lirih. Setelah menimbang-nimbang, Brie mengurungkan niatnya untuk menghubungi sang ibu. Rasa takut mengecewakan ibunya lebih besar daripada rasa rindunya. Hatinya lebih sakit melihat ibunya kecewa. Ibunya lebih dari seorang ibu. Seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya yang telah membesarkan ia dan adiknya.

Ingatannya kembali ke masa kuliah, saat Brie ikut naik gunung bersama komunitas pecinta alam kampusnya tanpa izin ibunya. Selama dua hari ibunya tak bisa menghubungi Brie, selama itu pula sang ibu panik dan kebingungan mendatangi kosnya. Mata ibunya bengkak menangisi Brie. Namun, ketika Brie pulang ke rumah, sang Ibu dengan murka dan emosi memarahi Brie dengan berurai airmata. Brie tidak mengelak, ia sangat terpukul dan sangat menyesal telah membuat ibunya kecewa dan kelimpungan.

Kini kamarnya sudah cukup rapi dan luas, beberapa barang akan Brie sumbangkan dan banyak barang-barang lain akan ia buang. Ternyata selama ini ia menyimpan lebih banyak barang tidak berguna daripada yang berguna. Setelah selesai merapikan kamar, Brie mengambil secarik kertas dan pulpen. Dia mulai membuat corat coret berupa angka-angka yang nantinya menjadi patokannya bertahan hidup. Ia membuat perencanaan keuangan dengan menyesuaikan dana yang saat ini ada. Hal tersebut tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

“Untung aja ibu selalu ngajarin anak-anaknya buat nabung, dan untungnya aku nurut kata ibu,” ujar Brie.

            Berputar-putar, menukik tajam dan berbalik arah. Mungkin seperti itulah isi pikiran Brie yang sedang mencari cara untuk menghasilkan uang, meski tidak memiliki pekerjaan. Beberapa tangannya memukul-mukul meja, berusaha keras mencari ide. Walau dengan memukul meja hanya membuat tangannya sakit.

Ting!

Seolah ada bunyi bel di atas kepala Brie, ia langsung tersenyum lebar mendapatkan ide untuk bertahan hidup. Mata Brie tertuju pada kameranya yang teronggok menganggur di mejanya. Diraihnya kamera itu, dan dicoba beberapa kali untuk memastikan masih berfungsi dengan baik.

“Semoga keberuntungan berpihak padaku!”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status