Share

5. Manusia Bodoh

Orlando tersentak saat mendengar suara debuman benda jatuh. Pria itu mundur beberapa langkah menjauhi tepi gedung sembari berteriak. Air mata yang tadi mengalir pun langsung berhenti. Kala dia menemukan seorang wanita terkapar tak berdaya, Orlando langsung berlari menghampiri.

“A...apa-apaan ini?” gumamnya tergagap. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu jatuh dari atas sana? Apa yang terjadi?!”

“Hei, Nona! Bangunlah! Kamu tidak mati, kan?”

 Siapa yang tidak panik jika menemukan seseorang jatuh dari langit? Apalagi, atap gedung ini adalah tempat yang ingin Orlando jadikan sebagai kenangan terakhirnya sebelum bunuh diri.

Namun, dia malah dikejutkan dengan pemandangan benda jatuh dari langit. Dan ternyata itu adalah seorang wanita!

“Nona, apa kamu baik-baik saja? Kamu masih bisa bernapas?” Orlando memberanikan diri mengulurkan tangan saat melihat dada perempuan itu kembali naik turun.

Beberapa luka terbuka dengan darah segar terlihat begitu jelas. Pemandangan itu membuat Orlando harus menahan mual.

“Apa aku harus memanggil ambulans?” batin Orlando gusar. Segera dia meraba kantong celananya, dan baru ingat kalau ponsel pintarnya sudah dia hancurkan.

“Bodoh, bodoh, bodoh!” Orlando memukul kepalanya berkali-kali.

Beberapa menit lalu, Orlando sangat putus asa sampai ingin mati. Dia sudah mengundurkan diri dari tempat bekerja, meninggalkan surat terakhir di apartemen, juga menghancurkan telepon genggamnya.

Semua itu Orlando lakukan karena ia lelah. Hidup sebatang kara di muka bumi tentu saja membuatnya kesepian. Dia selalu dicampakkan oleh wanita dengan kejam. Belum lagi, baru-baru ini Orlando difitnah telah melakukan penggelapan dana oleh rekan kantornya.

Dunia berlaku tidak adil baginya. Semua hancur dalam hitungan detik. Status Orlando berubah menjadi buronan. Wajahnya tercetak pada selebaran poster yang ditempel di setiap sudut kota. Hal itu membuatnya harus bermain petak umpet setiap hari.

Daripada mendekam di balik jeruji besi sampai membusuk, Orlando lebih memilih mati. Siapa yang akan menjamin kehidupannya akan membaik jika ia menyerahkan diri? Terlepas dari itu, Orlando bukanlah pelakunya.

Rasa bimbang Orlando terpaksa harus berakhir saat melihat tubuh wanita di hadapannya mendadak kejang. Lelaki itu mundur. Tangannya terlentang ke depan dengan waspada.

“Hei, Nona! Apa yang terjadi padamu?! Tolong jangan menakutiku!” pekik Orlando.

Tubuh wanita itu kejang hingga dadanya terangkat ke udara. Dia juga mengeluarkan suara seperti orang tercekik.

Orlando mematung sesaat melihat kejadian itu. Sampai akhirnya, dia menahan tubuh wanita tersebut agar kembali berbaring di lantai. Orlando mengeluarkan sapu tangan dari saku jaketnya, menggulung kain tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam mulut wanita itu.

“Maafkan aku, Nona! Aku tidak tahu separah apa penyakit ayanmu. Hanya ini yang bisa aku lakukan!” seru Orlando dengan sebelah tangan menahan sapu tangan, dan tangan yang lain menahan tubuh perempuan tersebut agar tidak kejang lagi.

Beberapa menit berlalu dengan posisi seperti itu. Tubuh wanita di hadapannya mulai kembali lunglai. Namun, kelegaan di mata Orlando tidak berlangsung lama.

Luka-luka di wajah serta tubuh wanita itu tiba-tiba saja menutup secara perlahan. Orlando memekik dan langsung menjauh. Lagi, dia membeku menyaksikan pemandangan magis yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

****

Kaliya membuka mata dengan usaha keras. Sakit di sekujur tubuh langsung bisa ia rasakan begitu sadar. Ingatan tentang perlawanannya dengan Lucifer, membuat Kaliya mengumpat kecil.

“Iblis sialan,” gumamnya sebal.

“Kamu sudah bangun?”

Suara pria asing membuat mata Kaliya spontan melebar. Diliriknya dengan cepat, dan dia mendapati seseorang tengah duduk beberapa langkah di hadapannya.

Kaliya bangkit. Insting memburunya langsung timbul jika melihat makhluk yang tidak ia kenali. Sayangnya, aksi Kaliya harus gagal ketika sesuatu menahan kedua pergelangan tangannya.

“Wow, wow, tenanglah, Nona! Maaf karena aku merantaimu seperti itu, tapi kamu sedikit terlihat berbahaya.”

“Apa yang kamu bicarakan? Lepaskan aku, manusia sialan!”

“Hei, tidak baik menghina orang seperti itu. Lagi pula, seharusnya kamu berterima kasih padaku.”

“Aku tidak pernah berterima kasih, dan meminta maaf kepada siapa pun! Apalagi kepada manusia rendahan sepertimu! Lepaskan aku sekarang juga!” desis Kaliya dingin.

Orlando merinding saat mendengar nada perintah yang amat mendominasi. Meski begitu, dia tetap teguh pada pendiriannya. Dia tidak akan melepaskan wanita aneh ini sampai bala bantuan datang.

“Ja-jangan bertingkah! Aku sudah melaporkanmu kepada polisi. Jika berani menyakitiku, kamu akan menyesalinya!” ancam Orlando. Dia kembali mundur seperti pengecut.

“Polisi?” Dahi Kaliya mengerut. “Apa itu?”

“Jangan bercanda, Nona. Orang bodoh sepertiku saja tahu apa itu polisi!”

Kaliya menggeleng. Rasa sakit masih menjalar di sekitar punggungnya. Tangannya berusaha menarik-narik rantai agar terlepas.

“Dengar, manusia. Aku berjanji tidak akan melukaimu. Kamu harus melepaskanku sekarang juga,” ucap Kaliya lemah.

“Tidak! Bagaimana mungkin aku bisa melepaskan seorang monster?”

“Monster apa maksudmu?”

“Jujur saja padaku, Nona. Kamu seorang monster, kan? Benar, kan? Jika kamu seorang manusia, tidak mungkin luka di tubuhmu bisa sembuh dengan sendirinya!” seru Orlando memberanikan diri.

Kaliya termenung, lalu berdecak kecil. “Dasar manusia bodoh. Memangnya kenapa kalau aku seorang monster? Kamu ingin membunuhku, hah?”

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status