Share

Bab 4. Dokter Moreno

Setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, Alvaro bergegas ke luar kelas. Di luar sudah riuh oleh para mahasiswa yang berseliweran di sepanjang koridor. Tanpa peduli apa pun, Alvaro terus melangkah menuju gedung di seberang fakultas. 

 “Bisakah kau berhenti mengikutiku,” desis Alvaro pada seseorang di belakangnya tanpa menoleh.

 Ferro, pemuda berkaca mata tebal itu seketika menghentikan langkah. “Aku lihat kamu mau ke perpustakaan. Mungkin kita bisa bareng. Manusia pendiam seperti kita harus berteman,” jawabnya sambil melirik takut-takut sekelompok pemuda bertampang angkuh di pinggir lapangan.

 “Aku nggak mau berjalan dan berteman dengan siapa pun. Jauh-jauh dariku, ok?” 

“Kumohon, aku nggak bisa melewati mereka sendirian. Mereka akan menggangguku.” Tangan Ferro terlihat gemetar. 

“Aku nggak peduli. Itu urusanmu dan bukan urusanku.” Setelah berkata begitu, Alvaro mempercepat langkah. Terdengar suara para pemuda angkuh itu menggoda Ferro. Alvaro tak peduli. Ada sesuatu yang harus ia lakukan.

 Di perpustakaan, Alvaro mencari artikel tentang Panti Asuhan Rumah Berwarna (RB), tempat ia dibesarkan. Ia berharap ini bisa menjawab rasa penasarannya tentang organisasi yang membesarkannya itu. Anehnya, tak ada satu pun artikel itu yang dapat dibuka. Alvaro sampai mengulangnya beberapa kali.

 “Kamu tidak akan mendapatkan info apapun dari situ.” Suara dari arah belakang mengejutkan Alvaro. Ia menutup layar laptopnya dengan kasar. Dokter Moreno berdiri di belakangnya sembari menyeringai. Alvaro memucat. Apa maksud dari perkataan Dokter itu? Ia ingin bertanya namun khawatir keanggotaannya di RB akan terbongkar. Jadi ia memilih tergesa ke luar dari perpustakaan. 

 “Hei, kau, jangan pergi!”

 Dokter Moreno memanggilnya namun ia sudah terlanjur ke luar.

***

 Alvaro berhenti di sebuah toko pakaian. Ia masuk dan memilih beberapa helai celana, kaos dan kemeja. Semua berwarna gelap.

 “Kenapa tidak memilih kemeja yang ini, Tuan? Ini sangat cocok dengan wajah Tuan yang tampan,” saran seorang pelayan toko wanita seraya mengangkat setelan kemeja dan celana yang tampak modis.

 Alvaro meraba kemeja itu. Bahannya halus dan berkelas. Namun kemudian ia menggeleng. Bayangan teman perempuannya yang disetrum oleh Metira di aula melintas di kepalanya. 

 “Tidak terimakasih, yang ini saja.” Alvaro meninggalkan pelayan yang rautnya terlihat kecewa. Sebelum ke kasir, pemuda itu mengambil sebuah ransel dengan banyak kantung berwarna coklat. Ia merasa bisa menyembunyikan alat-alat ajaibnya lebih aman di sana. Sayangnya setiba di kasir saat Alvaro menyerahkan kartu debetnya, ia harus kecewa karena kasir mengatakan saldonya tidak cukup. Ia teringat sudah sebulan ini ia tidak mendapatkan seorang Spesies pun. Itu sebabnya saldonya minim.

 Alvaro sedikit membanting pintu karena kesal ketika ke luar dari toko. Saat itulah ia melihat Ferro yang berjalan bergegas. “Fer!” panggilnya.

 Ferro menghampirinya dengan enggan dan wajah cemberut. Ia masih kesal dengan Alvaro yang telah mengusirnya hingga pria-pria angkuh itu kembali merundungnya. “Mau apa?” ketusnya.

 “Ikuti aku,” perintahnya lalu berjalan mendahului Ferro. Setiba di sebuah jalan yang cukup sepi, Alvaro menunjuk sebuah mesin minuman yang berada di sisi jalan. 

 “Aku belikan minuman,” ujarnya sambil memasukkan uang ke dalam mesin dan mengambil minuman yang mereka inginkan.

 “Kamu kenapa tiba-tiba jadi baik?” Ferro membetulkan letak kacamatanya saat mereka duduk di sebuah bangku panjang.

 Alvaro tidak menggubris pertanyaan Ferro dan memilih meneguk minumannya. Sudut matanya menangkap situasi sekitarnya yang semakin sepi. Sore semakin datang. Ia mulai meraba tombol kecil di balik kerah bajunya.

 “Aku melihatmu semakin sering ke perpustakaan. Buku yang kau baca pun kelas berat. Buku-buku referensi yang kau pilih itu setingkat dengan mahasiswa pascasarjana. Tapi aku heran, kenapa nilaimu tak lebih dari B. Seperti ada yang kau tahan,” cerocos Ferro. 

 Alvaro membatalkan niatnya menekan tombol pemanggil. Ia baru sadar ternyata Ferro memperhatikannya selama ini. “Menahan apa? Ada-ada saja.” Alvaro mengangkat bahunya, berusaha acuh.

 “Menahan kepandaianmu. Kau pura-pura bodoh, Al.” 

 “Kamu terlalu banyak bicara, Fer,” balas Alvaro.

 “Oke, kamu nggak mau ngaku. Asal kau tahu, ya, bahkan Dokter Moreno juga sudah tahu tentang itu.”

 Mendengar nama Dokter Moreno disebut, Alvaro merasakan jantungnya berdebar. Ia teringat Dokter yang tadi memergokinya mencari artikel tentang RB. Alvaro menurunkan tangannya, tak jadi menekan tombol, ditatapnya Ferro dengan sungguh-sungguh. “Seberapa dekat kamu dengan Dokter Moreno?” tanyanya.

 “Cukup dekat.” Ferro tersenyum misterius. “Yang jelas aku tahu, Dokter Moreno bisa memberikan informasi yang kamu cari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status