Share

6. KEGELISAHAN RADITYA

RADITYA

“Bagaimana, Nak. Kau puas dengan hasil yang kau dapatkan sekarang?” tanya ibu dengan wajah berseri.

“Puas sekali, Bu. Terima kasih. Semua berkat ibu yang punya rencana sangat jenius. Akhirnya aku kini sudah mendapatkan semua yang kumau dan tidak harus berpura-pura lagi di depan wanita membosankan itu. Aku bangga pada ibu.” Memeluk ibu dengan penuh bahagia.

“Aku juga dong. Kan sudah banyak bantu kakak juga.” Ucap adikku satu-satunya dengan bibir manyun.

“Iya adikku Sayang. Kakak juga berterimakasih padamu. Makanya seberapapun uang yang kau butuhkan untuk biaya kuliah dan keperluan pribadimu selalu kakak penuhi. Ayo peluk kakak!” Aku melebarkan tangan sembari tersenyum menatapnya.

“Idih bau pengantin baru nih.” Goda adikku saat bersandar pada dadaku. Walau usianya kini sudah dua puluh tahun, tapi masih manjanya minta ampun. Semua keinginannya harus terpenuhi. Kalau tidak dia akan ngambek berhari-hari. Termasuk uang jajan sepuluh juta sebulan di luar biaya kuliah. Itu saja terkadang masih kurang. Tak apalah. Toh aku bisa memenuhinya sekarang.

Pikiranku kembali ke masa silam. Dimana saat kehidupan kami susah sebelum aku menikah dengan putri, gadis bodoh yang maunya aku tipu bertahun-tahun. Setelah ayah meninggal, untuk makan saja kami sulit. Saat itu usiaku baru enam belas tahun. Setelah aku menggantikan tugas ayah yang bekerja pada pria yang kemudian menjadi ayah mertuaku, kehidupan kami membaik. Almarhum  orang yang sangat baik dan menjadikan aku orang kepercayaanya.

Hingga tibalah saat aku sudah berusia dua puluh empat tahun, beliau menjodohkan aku dengan putri tunggalnya yang sudah berusia dua puluh delapan tahun. Sebenarnya aku sudah punya kekasih yang akan kunikahi.

Aku ingin menolak. Namun saat membicarakannya dengan ibu, ibu malah memarahaiku dan meminta untuk menerima perjodohan ini. Padahal hubunganku dengan Neva sedang hangat-hangatnya.

Jelas saja Neva marah besar saat aku mengutarakan keinginan ibu. Catat ya keinginan ibu, bukan aku. Namun lagi-lagi ibu mampu meredam kemarahan sahabat Nena itu. Ibu berjanji akan menyatukan kami suatu hari nanti dalam balutan janji suci.

Neva akhirnya setuju dengan catatan aku tak boleh menyentuh istriku. Namun bagaimanapun aku seoran lelaki. Naluriku tak mungkin membiarkan seorang wanita yang jujur saja lebih menarik dan lebih cantik dari Neva. Kulitnya yang putih mulus sangat menggoda imanku. Sangat sayang kalau aku tak mencicipinya. Toh aku suaminya. Pastinya punya hak dong. Dan aku sangat bangga karena akulah orang pertama yang mereguk nikmatnya madu istriku.

Tak percaya kalau ternyata putri masih bi sa menjaga kesuciannya. Setahuku dia punya hubungan yang cukup lama dengan temannya semenjak di bangku kuliah. Bisa saja kan mereka melakukannya dulu. Tapi ternyata putri berbeda dengan gadis lain. Hubungan mereka tak di balut oleh nafsu. Tidak seperti hubunganku dengan Neva. Kami sudah terbiasa melakukan hubungan terlarang atas nama cinta.

Neva yang merasa takut kalah cantik dengan istriku, dia merengek meminta dijadikan secantik Putri. Akupun memenuhi dengan menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Tak apalah toh aku juga yang akan menikmatinya.

Saat tahu putri hamil, Neva marah besar. Dia bahkan menamparku berkali-kali dan memukuli dadaku. Neva memang sedikut kasar. Sangat berbeda dengan Putri yang lemah lembut. Tapi aku membiarkan saja dia melampiaskan amarahnya padaku. Wajarlah. Namanya perempuan. Kita rayu dikit aja juga nanti hilang marahnya.

Sayangnya, amarahnya tak terhenti disitu. Dia meminta tanggung jawab pada ibu yang pernah berjanji untuk menyatukan kami. Dia juga mengancam akan bicara kepada istriku tentang hubungan kami. Sangat berbahaya.

Ternyata ibu juga tak setuju dengan kehamilan putri. Bahkan dia tak suka dengan calon cucu kandungnya. Entah kenapa ibu sangat tidak suka pada putri. Padahal dia wanita baik dan berpendidikan. Jauh lebih berkelas dar ipada Neva. Namun entah mengapa ibu lebih menyukai Neva.

Kedua wanita itupun merencanakan sesuatu untuk menggagalkan kelahiran bayi yang berada di kandungan putri. Aku sih terserah mereka saja. Bagiku anak tidak penting. Yang lebih penting itu enak.

Ibu dan Neva pergi ke paranormal dan meminta biaya yang tidak sedikit untuk membuat istriku keguguran. Mereka memberiku ramuan yang harus dicampurkan pada minumannya. Sudah keluar uang banyak, tetap saja akulah yang menjadi eksekutornya. Jahat gak sih yang sudah kulakukan. Entahlah. Yang penting aku harus selalu menuruti rencana ibu dan Neva.

Setelah mencampurkan minuman dalam ramuannya, benar saja istriku keguguran. Dia mengalami pendarahan hebat. Untung saja nyawanya masih bisa diselamatkan. Kalau tidak bisa saja adik ibu mertuaku mengusut kronologi kematian putri. Habislah aku kalau pria lapuk yang menjabat sebagai kapolres itu ikut turun tangan.

Aku pikir hanya terjadi satu kali saja. Namun entah kenapa istriku selalu keguguran hingga keempat kalinya. Setahuku aku tak pernah memberinya ramuan lagi. Saat aku bertanya kepada ibu, dia hanya tersenyum dan menjawab dengan seringai penuh kelicikan.

“Pokoknya kamu tahunya beres. Si menantu menyebalkan itu takkan mungkin bisa punya anak karena rahimnya sudah di ikat. Kalaupun sampai hamil, pasti keguguran.” ucap Ibu dengan tersenyum penuh misteri.

Aku yang tak mengerti kembali bertanya kepada wanita yang sudah melahirkanku.

“Maksud ibu apa? Siapa yang mengikat rahim putri?” tanyaku penasaran. Benar-benar tak mengerti kemana arah pembicaraan ibu.

“Sudahlah. Biar ini jadi urusan ibu. Yang penting kamu jangan lupa ngasih duit ke ibu lebih banyak lagi. Supaya rencana kita tidak gagal.” Jawab ibu sembari ngeloyor pergi.

Aku bengong dan masih bertanya-tanya apa maksud ucapan ibu tadi. Apa ibu dan Neva masih juga memainkan peran seorang paranormal di sini. Aku mengusap wajah kasar.

Tiba-tiba aku merasakan kegelisahan. Bagaimana mungkin mereka bisa sejahat itu.

“Kak. Jangan melamun. Entar kesambet, lo.” Tepukan Nena di pipi membuatku tersentak. Buyar sudah semua lamunan.

“Oh, mmm ... enggak ... kakak gak ngelamun, kok.” Aku membalas dengan tepukan lembut di pipinya.

“Radit. Kamu kenapa? Ada yang kamu pikirin?” tanya ibu penuh selidik. Mungkin beliau melihat kecemasan pada wajahku.

“Entah kenapa aku tiba-tiba gelisah. Seperti akan ada sesuatu tapi aku sendiri tidak tahu. Apa mungkin ini yang namanya firasat buruk, bu?”

“Halah. Kamu ini. Itu bukan firasat buruk. Tapi karena kamu deg-degan dan gelisah karena mau jadi manten. Kaya bujangan aja kamu. Ini’kan sudah yang kedua kalinya.”

“Tapi ini rasanya beda, Bu. Apa Putri tahu dan kita akan kena karma karena perbuatan kita kepada putri? Aku benar-benar takut, Bu.”

“Radit! Jangan bodoh kamu. Gak ada yang namanya karma jaman sekarang. Lagian apa yang sudah kita lakukan? Toh kita tidak menyakiti siapapun.”

“Kita sudah menyakiti putri dan keluarganya!”

“Ah sudahlah. Toh kita gak sampai membunuhnya. Jadi, hilangkan semua pikiran burukmu itu. Ibu mau ngecek masakan di dapur dulu.” Ibu meninggalkanku sendirian.

Sungguh, rasanya sangat berbeda. Kegelisahan kali ini seperti pertanda akan terjadi sesuatu yang buruk. Apalagi semalam aku juga mimpi buruk sekali. Aku yakin ini ada hubungannya dengan kegelisahanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status