RADITYA
“Bagaimana, Nak. Kau puas dengan hasil yang kau dapatkan sekarang?” tanya ibu dengan wajah berseri.
“Puas sekali, Bu. Terima kasih. Semua berkat ibu yang punya rencana sangat jenius. Akhirnya aku kini sudah mendapatkan semua yang kumau dan tidak harus berpura-pura lagi di depan wanita membosankan itu. Aku bangga pada ibu.” Memeluk ibu dengan penuh bahagia.
“Aku juga dong. Kan sudah banyak bantu kakak juga.” Ucap adikku satu-satunya dengan bibir manyun.
“Iya adikku Sayang. Kakak juga berterimakasih padamu. Makanya seberapapun uang yang kau butuhkan untuk biaya kuliah dan keperluan pribadimu selalu kakak penuhi. Ayo peluk kakak!” Aku melebarkan tangan sembari tersenyum menatapnya.
“Idih bau pengantin baru nih.” Goda adikku saat bersandar pada dadaku. Walau usianya kini sudah dua puluh tahun, tapi masih manjanya minta ampun. Semua keinginannya harus terpenuhi. Kalau tidak dia akan ngambek berhari-hari. Termasuk uang jajan sepuluh juta sebulan di luar biaya kuliah. Itu saja terkadang masih kurang. Tak apalah. Toh aku bisa memenuhinya sekarang.
Pikiranku kembali ke masa silam. Dimana saat kehidupan kami susah sebelum aku menikah dengan putri, gadis bodoh yang maunya aku tipu bertahun-tahun. Setelah ayah meninggal, untuk makan saja kami sulit. Saat itu usiaku baru enam belas tahun. Setelah aku menggantikan tugas ayah yang bekerja pada pria yang kemudian menjadi ayah mertuaku, kehidupan kami membaik. Almarhum orang yang sangat baik dan menjadikan aku orang kepercayaanya.
Hingga tibalah saat aku sudah berusia dua puluh empat tahun, beliau menjodohkan aku dengan putri tunggalnya yang sudah berusia dua puluh delapan tahun. Sebenarnya aku sudah punya kekasih yang akan kunikahi.
Aku ingin menolak. Namun saat membicarakannya dengan ibu, ibu malah memarahaiku dan meminta untuk menerima perjodohan ini. Padahal hubunganku dengan Neva sedang hangat-hangatnya.
Jelas saja Neva marah besar saat aku mengutarakan keinginan ibu. Catat ya keinginan ibu, bukan aku. Namun lagi-lagi ibu mampu meredam kemarahan sahabat Nena itu. Ibu berjanji akan menyatukan kami suatu hari nanti dalam balutan janji suci.
Neva akhirnya setuju dengan catatan aku tak boleh menyentuh istriku. Namun bagaimanapun aku seoran lelaki. Naluriku tak mungkin membiarkan seorang wanita yang jujur saja lebih menarik dan lebih cantik dari Neva. Kulitnya yang putih mulus sangat menggoda imanku. Sangat sayang kalau aku tak mencicipinya. Toh aku suaminya. Pastinya punya hak dong. Dan aku sangat bangga karena akulah orang pertama yang mereguk nikmatnya madu istriku.
Tak percaya kalau ternyata putri masih bi sa menjaga kesuciannya. Setahuku dia punya hubungan yang cukup lama dengan temannya semenjak di bangku kuliah. Bisa saja kan mereka melakukannya dulu. Tapi ternyata putri berbeda dengan gadis lain. Hubungan mereka tak di balut oleh nafsu. Tidak seperti hubunganku dengan Neva. Kami sudah terbiasa melakukan hubungan terlarang atas nama cinta.
Neva yang merasa takut kalah cantik dengan istriku, dia merengek meminta dijadikan secantik Putri. Akupun memenuhi dengan menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Tak apalah toh aku juga yang akan menikmatinya.
Saat tahu putri hamil, Neva marah besar. Dia bahkan menamparku berkali-kali dan memukuli dadaku. Neva memang sedikut kasar. Sangat berbeda dengan Putri yang lemah lembut. Tapi aku membiarkan saja dia melampiaskan amarahnya padaku. Wajarlah. Namanya perempuan. Kita rayu dikit aja juga nanti hilang marahnya.
Sayangnya, amarahnya tak terhenti disitu. Dia meminta tanggung jawab pada ibu yang pernah berjanji untuk menyatukan kami. Dia juga mengancam akan bicara kepada istriku tentang hubungan kami. Sangat berbahaya.
Ternyata ibu juga tak setuju dengan kehamilan putri. Bahkan dia tak suka dengan calon cucu kandungnya. Entah kenapa ibu sangat tidak suka pada putri. Padahal dia wanita baik dan berpendidikan. Jauh lebih berkelas dar ipada Neva. Namun entah mengapa ibu lebih menyukai Neva.
Kedua wanita itupun merencanakan sesuatu untuk menggagalkan kelahiran bayi yang berada di kandungan putri. Aku sih terserah mereka saja. Bagiku anak tidak penting. Yang lebih penting itu enak.
Ibu dan Neva pergi ke paranormal dan meminta biaya yang tidak sedikit untuk membuat istriku keguguran. Mereka memberiku ramuan yang harus dicampurkan pada minumannya. Sudah keluar uang banyak, tetap saja akulah yang menjadi eksekutornya. Jahat gak sih yang sudah kulakukan. Entahlah. Yang penting aku harus selalu menuruti rencana ibu dan Neva.
Setelah mencampurkan minuman dalam ramuannya, benar saja istriku keguguran. Dia mengalami pendarahan hebat. Untung saja nyawanya masih bisa diselamatkan. Kalau tidak bisa saja adik ibu mertuaku mengusut kronologi kematian putri. Habislah aku kalau pria lapuk yang menjabat sebagai kapolres itu ikut turun tangan.
Aku pikir hanya terjadi satu kali saja. Namun entah kenapa istriku selalu keguguran hingga keempat kalinya. Setahuku aku tak pernah memberinya ramuan lagi. Saat aku bertanya kepada ibu, dia hanya tersenyum dan menjawab dengan seringai penuh kelicikan.
“Pokoknya kamu tahunya beres. Si menantu menyebalkan itu takkan mungkin bisa punya anak karena rahimnya sudah di ikat. Kalaupun sampai hamil, pasti keguguran.” ucap Ibu dengan tersenyum penuh misteri.
Aku yang tak mengerti kembali bertanya kepada wanita yang sudah melahirkanku.
“Maksud ibu apa? Siapa yang mengikat rahim putri?” tanyaku penasaran. Benar-benar tak mengerti kemana arah pembicaraan ibu.
“Sudahlah. Biar ini jadi urusan ibu. Yang penting kamu jangan lupa ngasih duit ke ibu lebih banyak lagi. Supaya rencana kita tidak gagal.” Jawab ibu sembari ngeloyor pergi.
Aku bengong dan masih bertanya-tanya apa maksud ucapan ibu tadi. Apa ibu dan Neva masih juga memainkan peran seorang paranormal di sini. Aku mengusap wajah kasar.
Tiba-tiba aku merasakan kegelisahan. Bagaimana mungkin mereka bisa sejahat itu.
“Kak. Jangan melamun. Entar kesambet, lo.” Tepukan Nena di pipi membuatku tersentak. Buyar sudah semua lamunan.
“Oh, mmm ... enggak ... kakak gak ngelamun, kok.” Aku membalas dengan tepukan lembut di pipinya.
“Radit. Kamu kenapa? Ada yang kamu pikirin?” tanya ibu penuh selidik. Mungkin beliau melihat kecemasan pada wajahku.
“Entah kenapa aku tiba-tiba gelisah. Seperti akan ada sesuatu tapi aku sendiri tidak tahu. Apa mungkin ini yang namanya firasat buruk, bu?”
“Halah. Kamu ini. Itu bukan firasat buruk. Tapi karena kamu deg-degan dan gelisah karena mau jadi manten. Kaya bujangan aja kamu. Ini’kan sudah yang kedua kalinya.”
“Tapi ini rasanya beda, Bu. Apa Putri tahu dan kita akan kena karma karena perbuatan kita kepada putri? Aku benar-benar takut, Bu.”
“Radit! Jangan bodoh kamu. Gak ada yang namanya karma jaman sekarang. Lagian apa yang sudah kita lakukan? Toh kita tidak menyakiti siapapun.”
“Kita sudah menyakiti putri dan keluarganya!”
“Ah sudahlah. Toh kita gak sampai membunuhnya. Jadi, hilangkan semua pikiran burukmu itu. Ibu mau ngecek masakan di dapur dulu.” Ibu meninggalkanku sendirian.
Sungguh, rasanya sangat berbeda. Kegelisahan kali ini seperti pertanda akan terjadi sesuatu yang buruk. Apalagi semalam aku juga mimpi buruk sekali. Aku yakin ini ada hubungannya dengan kegelisahanku.
Saudara sudah berkumpul semua. Ibu memang sengaja mengundang keluarga untuk menyaksikan pernikahanku dengan calon menantu pilihannya. Ya, ibu sangat cocok dengan Neva. Aku sendiri tidak begitu tahu alasannya. Padahal kalau dilihat dari segala sisi, putri jauh lebih baik dari Neva. Mungkin saja keduanya cocok karena sama-sama licik.Yang aku khawatirkan putri sudah mengendus pernikahan keduaku ini. Perasaannya sangatlah tajam. Dulu, saat aku hanya sedikit terkena pisau saat mengajari karyawan memotong daging, dia langsung menghubungi dan menanyakan keadaanku. Feelingnya begitu kuat.Dia sangat perhatian dan pengandiannya sebagai seorang istri tidak main-main. Kepercayaan yang dia berikan untuk mengelola usaha warisan ayahnya juga sebagai bentuk kepatuhan dan juga menjaga harga diriku di depan seluruh karyawan. Dia tidak akan membiarkan suaminya menjadi bawahannya.Dan kini, aku membalas semuanya dengan penghianatan dan menipunya. Apakah yang aku lak
Melihat ke arah jam dinding. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Satu jam lagi pernikahan Raditya akan dilaksanakan. Aku harus segera menuju kesana. Tak boleh terlambat walau hanya sedetik saja. Bisa kacau kalau sampai pernikahan mereka sah sebelum kedatanganku.Aku akan menghubungi orang-orang yang sudah bekerja untukku. Mereka sudah profesional dalam mengerjakan tugas rahasia. Aku mengenal salah satu dari mereka dari paman. Untung saja aku masih menyimpan nomornya.“Bagaimana, semua pekerjaan beres?” tanyaku setelah mendengar suara dari seberang.“Sudah,bu. Semua sudah berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan.”“Oke. Setengah jam lagi saya sampai di lokasi.”“Siap. Saya tunggu.”Menutup sambungan telepon. Lalu menyambar map yang ada di atas nakas dengan tergesa. Bersamaan dengan itu terdengar suara nyaring seperti pecahan gelas.Aku menoleh ke arah s
PUTRISuara ketukan halus di kaca mobil membuatku tersentak. Ternyata salah satu orang kepercayaanku. Lalu sedikit menurunkan kaca mobil.“Bagaimana?” tanyaku padanya.“Ini buku tabungan yang ibu inginkan.” Pria itu memberikan buku tabungan atas nama Radit. Penasaran dan membuka saldo akhir. Astaga. Aku menutup mulut yang menganga lebar. Bola mata membulat dengan sempurna. Delapan ratus juta. Nominal yang cukup besar walau sudah terpakai untuk biaya resepsi semewah ini.“Haach!!” aku membuangnya dengan kesal. Lalu memukul kemudi dengan kuat.“Tahan, Bu. Jangan emosi.”“Diam! Jangan mencoba mengaturku!” aku menunjuk orang suruhanku. Dia hanya terdiam dan menundukkan kepala.Aku melihat buku tabungan yang sudah kubuang berada di tangannya.“Berikan padaku!” Aku mengulurkan tangan untuk meminta buku yang membuat emosiku memuncak.Pria itu
“Saya terima ....”“Hentikan pernikahan ini! pernikahan ini tidak sah!” aku segera bangkit dan membuang kacamata hitam dan melepas topi juga masker. Orang-orang menatap tajam ke arahku.“Pup ...putri?!” Mata Mas Radit membulat seolah tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Dia berdiri dan terlihat raut wajah penuh kecemasan.“Iya. Ini aku, istri sahmu!” jawabku dengan penuh penekanan. Lalu melangkah mendekat ke arahnya.“Apa benar anda istri sahnya?” tanya pak penghulu sembari membaca kertas yang ada di hadapannya.“Benar, Pak! Pernikahan ini terjadi tanpa persetujuanku!”‘Tapi di sini tertera kalau Pak Radit itu duda yang istrinya meninggal.”Mendengar keterangan dari penghulu, membuat emosiku makin memuncak. Tanganku mengepal menahan amarah. Teganya dia membuat surat kematian palsu demi bisa menikahi kekasihnya.Plaak. Tanganku bergerak den
“Nena!” Radit mencoba menolong adiknya. Terdengar juga teriakan dari ibu mertuaku yang terlihat mengkhawatirkan putri bungsunya.Darah kental mengalir dari sudut bibir adik kesayangan Radit. Apalagi pipinya juga terbentur tiang tenda. Tentunya membuat lukanya semakin sakit. Aku tersenyum sinis dan menatapnya puas.“Pergi kamu dari sini!” Si Pelakor mendorong tubuhku dengan keras. Karena aku tidak siap hingga membuatku terjatuh.Shiit. Aku melepas jas yang kupakai dan melempar ke arah wanita murahan itu. Lalu melangkah menuju ke arahnya.“Berani kau mengusirku dari rumah ini?!” tanyaku dengan gemerutuk gigi menahan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun.“Ya! Ini rumahku dan aku berhak mengusirmu!” jawab Neva dengan angkuh.Aku menaikkan sudut bibirku. “Rumahmu?! Dengan bangga Kau menyebut rumah yang sudah di beli dengan uang hasil merampok adalah milikmu?! Dasar keluarga parasi
“Kau tidak mungkin melakukan itu!”“Aku berani melakukannya! Bahkan detik ini pun kalian semua sudah kehilangan apa yang kalian miliki! Semua surat tanah dan juga mobil sudah ada padaku. Dan kalian akan segera terusir dari rumah kalian!”“Kau takkan mungkin berani melakukan itu. Dan sebelum itu terjadi aku akan menghancurkan hidupmu! Kau pasti akan menyesal wanita jalang!”Dadaku meradang kala ibu mertua yang selama ini aku hormati memanggilku dengan sebutan yang sangat menyakitkan. Aku sungguh-sungguh tidak terima. Gigi gemerutuk menahan amarah. Tanganku mengepal dengan kuat. Dan Plaak. Aku menampar wanita paruh baya itu dengan punggung tanganku hingga membuatnya terjungkal.“Aw!” Terdengar pekikan dari mulutnya. Suasana semakin kacau. Bahkan para tamu undangan ada yang membubarkan diri. Aku tak peduli. Ada atau tidak ada orang di sini itu bukan urusanku.“Putri!” Radit meng
“Dengar putri! Kau bukan saja sudah mengacaukan acara pernikahanku, tapi kau juga sudah menginjak-injak harga diriku!”“”Lalu apa yang salah?! Aku melakukannya karena kau yang memulainya! kalau kau tak melakukan kebodohan dan menghianatiku, aku juga takkan berbuat seperti ini! bagiku kau sangat menjijikkan!”“Tutup mulutmu atau aku ....”“Aku apa?! Kau akan menjatuhkan talak padaku?! Silakan! Dengan senang hati aku menerimanya! Aku tak butuh pria yang penuh kotoran sepertimu! Sangat menjijikkan!”“Kurangajar sekali kamu!”Radit sudah mengangkat tangannya tinggi dan siap mengayun ke arahku. Untung saja orang suruhanku menghentikannya dengan mencengkeram lengan Radit. Dan yang lainnya membentuk formasi melingkar untuk melindungiku.Aku sangat puas dengan kerja mereka. Tanpa harus dengan kekerasan mereka sudah sigap menjagaku.“Berani kau menyentuh Putr
“Bukti apa?! Sebaliknya Aku yang bisa melaporkanmu karena kau dan keluargamu berniat melenyapkan aku! Aku punya videonya. Dan itu bisa menjadi satu bukti. Sangat mudah bagiku memasukkan kalian ke dalam penjara! Tapi itu belum waktunya. Terlalu mudah untuk kalian. Akulah yang akan menghukum kalian dengan caraku!”“Bukti apa?!”“Tunggu sebentar!”Aku mengambil ponsel dan memperlihatkan video percakapan Radit bersama ibu dan juga Nena. Wajah Radit berubah masam lalu membanting ponselku hingga hancur berkeping-keping. Sial dia beusaha menghilangkan barang bukti. Untung saja aku sudah tersimpan di laptop.“Kau tak bisa mengancamku! Akulah yang akan melaporkanmu yang sudah mencuri surat-surat tanah milikku!”“Ayo silakan! Laporkan saja! Dengan senang hati aku akan menunggunya! Dan yang lebih penting bayar dulu tagihannya kalau tidak ....”“Kalau tidak apa?! aku sudah k