Dan tak lama kemudian terdengar suara Radit menjerit sangat keras. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Suara bag big bug tak ada hentinya disertai suara jeritan ibunya Radit. Sepertinya paman sedang memukuli Radit dengan brutal. Syukurlah, paman selalu datang tepat pada waktunya.
‘Tangkap mereka semua!” Paman memerintah kepada anak buahnya.
Sepertinya terdengar penolakan dari Radit dan ibunya. Bahkan aku mendengar suara Radit yang terus memanggil nama istrinya. Aku yakin wanita itu pasti terluka parah, hingga membuat Radit berteriak histeris.
Kemudian, aku merasakan tubuhku sedikit terangkat. Rupanya paman menaruh kepalaku di atas pangkuannya.
“Putri! Bangunlah!” Paman menepuk-nepuk pipiku. Dia pasti sangat khawatir. Sebenarnya aku masih sadar dan mendengar semua aktifitas di sekitar. Hanya saja aku merasa seperti tak bertenaga. Bahkan untuk membuka mata saja rasanya tidak sanggup.
Aku berusaha tetap bertahan. Namun lamba
“I ... Iya Mbak Yu. A-ada apa?” tanya Paman degan terbata. Aku tahu kalau dia masih merasa canggung dengan kejadian tadi.“Radit dan keluarganya sekarang di mana?!”“Mereka sudah di bawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.”“Baguslah! Kau harus menghukum mereka seberat-beratnya!” ucap Ibu sembari mengepalakn tangan. Rupanya beliau masih terbakar emosi.“Itu bukan kewenanganku Mbak. Nanti pengadilan yang akan menghakimi mereka!” jawab Paman.“Huuch pokoknya aku mau ketemu sama mereka dan bakal tak uwes-uwes mereka nanti!” ucap ibu dengan gemas. Jelas saja dia tidak terima anaknya diperlakukan seperti ini.“Sudahlah, Mbak. Yang penting sekarang kita fokus untuk pengobatan Putri. Mereka sudah ada yang mengurusi!”“Ya sudah. Mbak mau ngurus administrasi dulu. Kamu tolong tungguin Putri dulu, ya!”‘Iya, Mbak! Tapi gak bisa l
“Oke, Paman tahu. Tapi setidaknya kau masih punya rahim dan bisa hamil. Jangan pernah meremehkan sesuatu yang berhubungan dengan nyawa, Putri!”“Sudahlah, Paman. Aku tak butuh nasehatmu! Yang jelas aku akan memakai jasa pengacara yang hebat untuk memberikan hukuman berat kepada mereka!”“Tapi Put ... ““Tolong, keluar! Aku ingin sendiri!”“Put! Paman seperti tak mengenal dirimu lagi! Hanya karena dendam kau sampai kehiangan jati diri dan juga hati nuranimu! Paman seperti tak mengenalmu lagi!”‘Tolong keluar, Paman! Aku ingin sendiri!” teriakku dengan kesal. Tanpa terasa airmata mengalir deras pada pipiku.“Baiklah! Paman hanya ingin kau menjadi putri yang dulu, yang penuh dengan cinta, kasih sayang. Bukan putri yang memenuhi dadanya dengan api dendam!”“Keluar, Paman! Keluar!!” aku menutup telinga dan tak mau mendengar nasihat apapun dariny
Rasanya tubuh ini sudah sehat dan tak perlu obat apapun. Berdekatan dengan paman pasti lebih mujarab dari obat manapun.Tunggu, bukankah paman sedang marah kepadaku. Bagaimana kalau dia menolak untuk menjagaku. Atau dia mau tapi aku dicuekin. Aduuh bagaimana ini. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.“Put! Cepat telpon pamanmu suruh ke sini. Ibu harus berangkat sebentar lag biar bisa lihat jenazah budemu.”“Hah? Aku. Bu?” aku menunjuk ke arah diri sendiri.“Iya. Cepetan!”“Ibu saja! Nih hapenya!” aku menyerahkan ponsel kepada ibu. Tak mungkin aku duluan yang menghubungi paman.“Kamu aja! Cepetan. Ibu mau beres-beres dulu!”Duh Gusti, bagaimana ini. Ibu benar-benar tak mau mengerti perasaanku.“Cepat puuuttt!!”“Iya!”Aku mengusap layar dan membuka aplikasi berwarna hijau dan mencari nomor paman. Rasanya ragu untuk menyentuhnya. Ja
Wajah paman semakin dekat. Bahkan ujung hidung kami saling bersentuhan. Oh Tuhan, benarkah ini. Apa aku sedang tidak bermimpi. Pria yang sudah menggetarkan hatiku tengah menatapku penuh hasrat.Aku memejamkan mata menandakan dari sebuah kepasrahan. Aku dikejutkan oleh benda kenyal yang menyentuh bibirku membuat jantungku memacu kian cepat. Bibir paman menyapu dengan lembut hingga membuatku terbuai.Entah mendapat dorongan dari mana hingga membuatku membalasnya dengan lebih berani. Sejenak kami saling berpagut dalam balutan rindu.Sayangnya semua keindahan itu harus terhenti karena masuknya perawat yang membawa kursi roda untukku. Kami pun saling melepas pagutan dengan perasaan malu.“Sorry,” ucap paman lirih. Dia menjauh dariku sembari menghapus jejak pada bibirnya yang basah. Lalu menyugar rambutnya dan berdiri membelakangiku. Paman masuk ke dalam toilet. Entah apa yang akan dilakukannya. Aku akan mencari tahu tentang hal itu.“M
“Apa aku menolak waktu paman ... mencium bibirku?” aku menyapu bibir paman dengan jemariku, membuat paman memejamkan mata untuk menikmatinya.“Jawab paman?” tanyaku kembali masih dengan menyapu bibir sexynya dengan jemariku.“Tadi kau begitu berani. Kenapa sekarang diam? Hmm?” tanyaku kembali.“Aku ... aku .... ““Sst ... “ Aku menutup mulut paman dengan telunjukku. Menatap wajah tampan di hadapan membuatku tak tahan untuk tak menyentuh bibirnya. Tinggi badanku yang hanya sepundak paman, membuatku harus berjinjit untuk memberikan kecupan tipis pada bibirnya. Cup, satu kecupan sukses mendarat di bibir paman.Tak ada pergerakan. Kami saling diam dengan bibir saling menempel. Perlahan paman menjauhkan bibirnya dariku dan membingkai wajahku dengan telapak tangannya.“Ini rumah sakit. Kita tak boleh melakukan hal yang lebih.” Bisik paman dengan tersenyum. Aku merasakan harum
Dua minggu sudah aku bedrest total setelah keguguran. Hal itu perlu dilakukan karena janin dalam rahimku tak bisa bertahan. Ini sudah yang ke empat kalinya. Dokter juga mengatakan tak ada masalah yang berarti. Namun kenapa saat tumbuh benih selalu berakhir dengan keguguran.Bosan juga terus berdiam diri di rumah. Mas Radit memang melarangku untuk tidak pergi kemana-mana. Dia benar-benar pria yang baik. Bahkan dia sangat memperhatikan kesehatanku.Rasanya sudah lama juga aku tidak ke toko. Kuputuskan untuk pergi ke sana.Mengambil kontak mobil yang ada di laci, lalu menuju garasi. Mobilpun seger meluncur menuju toko yang berada di pasar induk. Tak butuh waktu lama untuk sampai di sana.Sesampainya di toko langsung memarkir kendaraan di belakang dekat area penggilingan daging. Masih terlihat kesibukan di sana. Segera keluar dari mobil. Lalu menyapa para pegawai. Tak lupa pula menyapa pelanggan.Aku tersenyum saat ada seorang pelanggan p
Dengan dada bergemuruh aku menyudahi mengecek CCTV. Darah yang mengalir terasa panas. Awas saja kalau memang Mas Radit berani menghianatiku. Aku sudah mengangkat derajat dia dan keluarganya. Kalau saja bukan karena keinginan Ayah, aku juga takkan sudi menikah dengannya. Padahal saat itu aku sudah menjalin tali kasih dengan teman semasa kuliah dulu.Karena tak ingin dianggap anak durhaka, aku menyetujui perjodohan dengan Mas Radit. Walau harus mengubur dalam-dalam kisah asmara yang telah terajut indah selama lima tahun.Setelah menikah denganku, kehidupan keluarga Mas Radit berubah drastis. Rumah yang dulu hanya terbuat dari bilik bambu berubah menjadi rumah modern. Mobil mewah juga bertengger di garasi. Adik perempuan satu-satunya juga mengecap pendidikan tinggi. Semua itu memakai uangku. Aku ikhlas karena bagaimanapun mereka juga keluargaku. Awas saja kalau sampai penghianatan itu ada. Akan aku kembalikan mereka ke habitatnya.“Siapa wanita
“Pesanan dari Pak Radit, bu.” Jawab anak muda songong tadi.“Untuk apa?!” tanyaku gusar. Makin tidak mengerti dengan apa yang terjadi.“Untuk pernikahannya dengan Neva!” jawab anak pak karno dengan penuh emosi.“Jangan berani memfitnah suamiku atau kau tahu akibatnya!” aku mencoba tetap kuat. Walau ada getaran dalam ucapanku. Bolamata mulai memanas. Aku tak bisa percaya kepada anak songong itu. Namun jauh dalam hati aku mempercayai ucapannya.‘Tapi itu benar, Bu. Pernikahannya akan dilaksanakan besok. Kami diancam oleh Bapak untuk tak memberitahukan kepada ibu. Kalau sampai kami memberitahu ....”“Cukup! Aku tak mau mendengar apapun!” menutup kedua telingaku. Dada terasa terbakar dan sangat berat bagai di tindih ribuan batu. Untuk mengambil nafas saja terasa sulit.Menjatuhkan tubuh di lantai dan menumpahkan kesedihan. Tega sekali kamu menghianatiku, Mas. T