Aku tak menyangka suami yang selama ini kupercaya mengelola toko daging sapi peninggalan ayah menghianatiku. Mistery daging 15O kg terbongkar sudah. Ternyata daging itu untuk acara pernikahan suamiku dengan si pelakor secara diam-dian. Aku takkan tinggal diam. Akan aku hancurkan pernikahan mereka. Namun tak kusngka, sumiku dan selingkuhannya memfitnhku hingga nasibku berujung di penjara. Setahun kemudian aku bebas. Putri Dyah ayu bukan lagi putri yang cengeng dan lemah. Aku kini sekuat baja dan akan memabalas dendam.
View MoreDua minggu sudah aku bedrest total setelah keguguran. Hal itu perlu dilakukan karena janin dalam rahimku tak bisa bertahan. Ini sudah yang ke empat kalinya. Dokter juga mengatakan tak ada masalah yang berarti. Namun kenapa saat tumbuh benih selalu berakhir dengan keguguran.
Bosan juga terus berdiam diri di rumah. Mas Radit memang melarangku untuk tidak pergi kemana-mana. Dia benar-benar pria yang baik. Bahkan dia sangat memperhatikan kesehatanku.
Rasanya sudah lama juga aku tidak ke toko. Kuputuskan untuk pergi ke sana.
Mengambil kontak mobil yang ada di laci, lalu menuju garasi. Mobilpun seger meluncur menuju toko yang berada di pasar induk. Tak butuh waktu lama untuk sampai di sana.
Sesampainya di toko langsung memarkir kendaraan di belakang dekat area penggilingan daging. Masih terlihat kesibukan di sana. Segera keluar dari mobil. Lalu menyapa para pegawai. Tak lupa pula menyapa pelanggan.
Aku tersenyum saat ada seorang pelanggan pria yang nyeletuk cantik ya, kaya artis. Aku terbiasa dengan pujian seperti itu dan tak membuatku melayang tinggi di udara. Sayangnya suamiku tak pernah memujiku seperti itu. Sudahlah, gak perlu baper. Aku melanjutkan langkah menuju area toko.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku kepada para pegawai dengan tersenyum ramah.
Namun aku sangat terkejut saat melihat reaksi para karyawan melihat kedatanganku seperti melihat hantu.
“Ada apa? Kenapa kalian terkajut? Bahkan tak ada satupun yang menjawab salam?” tanyaku penuh selidik. Mungkin saja ini ada hubungannya dengan dorongan kuat untuk datang ke tempat ini. Pasti ada masalah. Mungkinkah mereka merasa ‘merdeka’ karena tak ada yang memantau pekerjaan saat Mas Radit pergi keluar kota. Apa mereka lupa kalau toko ini sudah dipasang CCTV dari segala arah.
Mereka menundukkan kepala. Beberapa orang masih melayani pembeli. Namun terlihat jelas kecemasan di wajah mereka. Aku harus memecahkan masalah ini dengan perlahan. Semoga tidak ada kecurangan dari para pegawai seperti yang aku khawatirkan.
“Kenapa kalian melihat saya seperti hantu? Apa ada yang salah dengan penampilanku?” tanyaku kembali dengan berbasa-basi. Meneliti wajah karyawan satu persatu dengan seksama. Mereka masih saja menundukkan kepala.
Para pembeli sudah pergi. Tanpa menunggu lama aku langsung menyuruh untuk menutup pintu toko.
‘Tutup pintunya sekarang!” perintahku dengan tegas.
“Tapi bu, kita masih ada pesanan yang akan di ambil oleh pelanggan.”
“Turuti perintah saya! Saat pelanggan kesini, dia pasti akan menghubungi!” sudah gerah dengan apa yang terjadi. Seorang karyawan segera menutup pintu toko.
Tanpa menunggu lama, aku mengumpulkan para pegawai. Kemudian mengambil tenpat duduk di bagian kasir.
“Mana Kadir dan Karno?” aku menanyakan sopir dan seorang karyawan yang tak terlihat.
“Sedang mengantar pesanan, Bu.”
“Baiklah. Saya ingin tanya, kenapa kalian ketakutan melihat saya? Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanyaku lebih dalam.
Mereka semua bungkam. Tak ada satupun yang berani menjawab.
“Saya minta laporan penjualan untuk dua hari ini!”
“Baik, Bu.” Kasir menyerahkan buku pencatatan. Aku membuka halaman demi halaman. Pencatatan sangat rapi. Bahkan tak aku temukan celah di sana.
“Hari ini kita potong sapi berapa?”
“Hanya satu, bu. Itu juga untuk memenuhi pesanan dari Bapak. Bahkan para supplier dan cabang kita juga banyak yang tidak kebagian. Mereka marah-marah ke kita.”
Salah satu karyawan menyenggol temannya yang sedang berbicara.
“Ada apa? Bapak siapa?”
‘Tidak, bu. Bapak ... yang memesan.” Jawab salah satu karyawan dengan gugup. Entah apa yang mereka sembunyikan dariku.
“Kenapa bisa begitu? Dan kenapa tidak ditambah potongnya?”
“Karena selama ke luar kota, bapak menyuruh toko untuk tutup sampai bapak kembali.”
“Kenapa begitu? kan ada saya. Toko tidak harus tutup.”
“Permisi.” Terdengar suara dari pintu belakang.
Karno dan Kadir sudah pulang dari mengantar pesanan. Dia lalu memberikan surat jalan kepada kasir. Namun aku mengambilnya dan membaca beberapa surat jalan beserta amplop berisi pembayaran.
“Untuk uang yang kemarin di simpan di mana?” tanyaku sembari meneliti satu-satu surat jalan lengkap dengan pembayaran.
“Kemarin Mas Dani belum narik, Bu.”
“Iya, hari ini insya Alloh saya narik. Kemarin ada dua supplier yang minta penangguhan pembayaran.”
“Oh begitu. Tapi jangan sampai tidak bayar, ya. Soalnya kalau banyak yang hutang bagaimana uang mau berputar. Kau mengerti’kan?”
“Mengerti, bu.”
Penelitianku terhenti di surat terakhir. Hanya ada surat saja tapi tidak ada pembayaran.
“Karno, kenapa ini ada yang tidak membayar?” tanyaku sembaii mengecek seberapa banyak pesanan. Seratus lima puluh kilo. Hanya itu yang tertera. Tak ada nominal yang tertera seperti pada surat jalan lainnya. Aneh, sangat aneh.
“Karno! Jawab pertanyaan saya?!” aku membanting surat jalan di meja dengan kesal. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan. Bukan hanya Karno, karyawan lain juga seperti ketakutan dan hanya menundukkan kepala.
Tatapanku kini beralih kepada kasir.
“Rani, kenapa kamu juga tidak menuliskan jumlah yang harus dibayarkan seperti biasanya?! Jangan bilang kamu lupa tidak mencatatnya dengan jumlah sebesar itu?! Apa kau sengaja tidak memasukkannya ke dalam pencatatan supaya mudah untuk memasukkan ke kantongmu!” aku melempar kertas ke arah Rani. Wanita yang sudah bekerja puluhan tahun hanya bisa menangis. Dia orang yang jujur, aku sangat mengenalnya. Namun kejadian ini sudah membuatku tak bisa mengendalikan amarah.
”Jangan menangis! Aku tidak suka kalau pertanyaan dijawab dengan tangisan!” aku menggebrak meja.
“Sumpah, Bu, saya tidak mengambil uang itu sepeserpun. Tapi memang tidak ada uang yang masuk. Kita hanya disuruh mengirim saja tanpa ada pembayaran.”
“Bohong! Tak mungkin ada pesanan yang tidak membayar! Jangan bermain-main denganku, atau aku akan melaporkanmu kepada polisi!” aku berdiri dan menunjuk wajah wanita berusia empat puluh tahuan itu. Amarahku benar-benar sudah tak terkendali.
“Sumpah, Bu saya tidak mengambilnya.” Suara Rani terdengar gemetar. Begitu pula dengan tangannya. Dia terlihat sangat ketakutan karena sebentar lagi kesalahannya akan terungkap.
“Kau tahu berapa jumlah tagihan dari daging sebanyak itu? Hampir delapan belas juta. Dan itu sangat merugikan saya! Saya akan mengecek CCTV. Kalau sampai saya menemukan bukti, kau akan menanggung akibatnya! Saya tidak peduli kau karyawan terlama di sini. Kalau tindakanmu merugikan, saya tidak segan-segan mengirimmu ke penjara! Ini juga berlaku untuk kalian semua!” aku menunjuk wajah karyawan satu persatu.
Aku melihat Rani menangis. Tiba-tiba saja tubuhnya jatuh ke lantai dan tak sadarkan diri. Aku tak iba sedikitpun. Dari ketakutannya itu menandakan kalau dia memang bersalah. Beberapa orang menolong untuk menyadarkannya.
Aku beanjak menuju salah satu ruangan di mana aku akan memeriksa CCTV bersama salah satu karyawan. Dalam sepuluh hari terakhir aku mengeceknya dengan teliti tanpa ada yang terlewat.
Semua transaksi aman, tak ada yang mencurigakan. Namun ada sebuah kejanggalan. Lalu meminta untuk mengulang beberapa detik sebelumnya. Aku ragu dengan apa yang baru saja dilihat. Seorang wanita yang memeluk suamiku dengan mesra di meja kasir. Dia bukan Rani. Wanita cantik itu seperti sudah akab dengan mas Radit. Dia buka Nena adik Mas Radit. Aku sangat mengenali wajah adik iparku itu. Kupastikan itu bukan dia.
Deg. Jantung seperti berhenti mendadak. Rasa terbakar dari dalam dada seperti mengeluarkan bara api yang mengalir di setiap darah. Mungkinkah Mas Radit selingkuh dan berani membawa wanita itu ke toko. Aku harus bertanya kepada para pegawai.
“Apa aku menolak waktu paman ... mencium bibirku?” aku menyapu bibir paman dengan jemariku, membuat paman memejamkan mata untuk menikmatinya.“Jawab paman?” tanyaku kembali masih dengan menyapu bibir sexynya dengan jemariku.“Tadi kau begitu berani. Kenapa sekarang diam? Hmm?” tanyaku kembali.“Aku ... aku .... ““Sst ... “ Aku menutup mulut paman dengan telunjukku. Menatap wajah tampan di hadapan membuatku tak tahan untuk tak menyentuh bibirnya. Tinggi badanku yang hanya sepundak paman, membuatku harus berjinjit untuk memberikan kecupan tipis pada bibirnya. Cup, satu kecupan sukses mendarat di bibir paman.Tak ada pergerakan. Kami saling diam dengan bibir saling menempel. Perlahan paman menjauhkan bibirnya dariku dan membingkai wajahku dengan telapak tangannya.“Ini rumah sakit. Kita tak boleh melakukan hal yang lebih.” Bisik paman dengan tersenyum. Aku merasakan harum
Wajah paman semakin dekat. Bahkan ujung hidung kami saling bersentuhan. Oh Tuhan, benarkah ini. Apa aku sedang tidak bermimpi. Pria yang sudah menggetarkan hatiku tengah menatapku penuh hasrat.Aku memejamkan mata menandakan dari sebuah kepasrahan. Aku dikejutkan oleh benda kenyal yang menyentuh bibirku membuat jantungku memacu kian cepat. Bibir paman menyapu dengan lembut hingga membuatku terbuai.Entah mendapat dorongan dari mana hingga membuatku membalasnya dengan lebih berani. Sejenak kami saling berpagut dalam balutan rindu.Sayangnya semua keindahan itu harus terhenti karena masuknya perawat yang membawa kursi roda untukku. Kami pun saling melepas pagutan dengan perasaan malu.“Sorry,” ucap paman lirih. Dia menjauh dariku sembari menghapus jejak pada bibirnya yang basah. Lalu menyugar rambutnya dan berdiri membelakangiku. Paman masuk ke dalam toilet. Entah apa yang akan dilakukannya. Aku akan mencari tahu tentang hal itu.“M
Rasanya tubuh ini sudah sehat dan tak perlu obat apapun. Berdekatan dengan paman pasti lebih mujarab dari obat manapun.Tunggu, bukankah paman sedang marah kepadaku. Bagaimana kalau dia menolak untuk menjagaku. Atau dia mau tapi aku dicuekin. Aduuh bagaimana ini. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.“Put! Cepat telpon pamanmu suruh ke sini. Ibu harus berangkat sebentar lag biar bisa lihat jenazah budemu.”“Hah? Aku. Bu?” aku menunjuk ke arah diri sendiri.“Iya. Cepetan!”“Ibu saja! Nih hapenya!” aku menyerahkan ponsel kepada ibu. Tak mungkin aku duluan yang menghubungi paman.“Kamu aja! Cepetan. Ibu mau beres-beres dulu!”Duh Gusti, bagaimana ini. Ibu benar-benar tak mau mengerti perasaanku.“Cepat puuuttt!!”“Iya!”Aku mengusap layar dan membuka aplikasi berwarna hijau dan mencari nomor paman. Rasanya ragu untuk menyentuhnya. Ja
“Oke, Paman tahu. Tapi setidaknya kau masih punya rahim dan bisa hamil. Jangan pernah meremehkan sesuatu yang berhubungan dengan nyawa, Putri!”“Sudahlah, Paman. Aku tak butuh nasehatmu! Yang jelas aku akan memakai jasa pengacara yang hebat untuk memberikan hukuman berat kepada mereka!”“Tapi Put ... ““Tolong, keluar! Aku ingin sendiri!”“Put! Paman seperti tak mengenal dirimu lagi! Hanya karena dendam kau sampai kehiangan jati diri dan juga hati nuranimu! Paman seperti tak mengenalmu lagi!”‘Tolong keluar, Paman! Aku ingin sendiri!” teriakku dengan kesal. Tanpa terasa airmata mengalir deras pada pipiku.“Baiklah! Paman hanya ingin kau menjadi putri yang dulu, yang penuh dengan cinta, kasih sayang. Bukan putri yang memenuhi dadanya dengan api dendam!”“Keluar, Paman! Keluar!!” aku menutup telinga dan tak mau mendengar nasihat apapun dariny
“I ... Iya Mbak Yu. A-ada apa?” tanya Paman degan terbata. Aku tahu kalau dia masih merasa canggung dengan kejadian tadi.“Radit dan keluarganya sekarang di mana?!”“Mereka sudah di bawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.”“Baguslah! Kau harus menghukum mereka seberat-beratnya!” ucap Ibu sembari mengepalakn tangan. Rupanya beliau masih terbakar emosi.“Itu bukan kewenanganku Mbak. Nanti pengadilan yang akan menghakimi mereka!” jawab Paman.“Huuch pokoknya aku mau ketemu sama mereka dan bakal tak uwes-uwes mereka nanti!” ucap ibu dengan gemas. Jelas saja dia tidak terima anaknya diperlakukan seperti ini.“Sudahlah, Mbak. Yang penting sekarang kita fokus untuk pengobatan Putri. Mereka sudah ada yang mengurusi!”“Ya sudah. Mbak mau ngurus administrasi dulu. Kamu tolong tungguin Putri dulu, ya!”‘Iya, Mbak! Tapi gak bisa l
Dan tak lama kemudian terdengar suara Radit menjerit sangat keras. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Suara bag big bug tak ada hentinya disertai suara jeritan ibunya Radit. Sepertinya paman sedang memukuli Radit dengan brutal. Syukurlah, paman selalu datang tepat pada waktunya.‘Tangkap mereka semua!” Paman memerintah kepada anak buahnya.Sepertinya terdengar penolakan dari Radit dan ibunya. Bahkan aku mendengar suara Radit yang terus memanggil nama istrinya. Aku yakin wanita itu pasti terluka parah, hingga membuat Radit berteriak histeris.Kemudian, aku merasakan tubuhku sedikit terangkat. Rupanya paman menaruh kepalaku di atas pangkuannya.“Putri! Bangunlah!” Paman menepuk-nepuk pipiku. Dia pasti sangat khawatir. Sebenarnya aku masih sadar dan mendengar semua aktifitas di sekitar. Hanya saja aku merasa seperti tak bertenaga. Bahkan untuk membuka mata saja rasanya tidak sanggup.Aku berusaha tetap bertahan. Namun lamba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments