Share

Bab 7 Dasar Bucin!

 Ketika hatimu mencintai orang yang tepat, ia akan menumpahkan segala cinta yang ia punya. Tak perduli bagaimana keadaannya, yang ia tau hanya mencintainya. Bahkan tak perduli sebucin apapun dirinya.

 Alunan musik mengalun memenuhi ruangan bernuansa cream dengan banyak kotak yang berserakan di lantai. Terdengar suara dua wanita yang bersenandung mengikuti lirik musik yang mengalun.

Terkadang terdengar tawa dari keduanya karena salah satu dari mereka salah lirik. 

"Eh bibir kamu kenapa sih Din? Kok bengkak gitu?" Tanya Amira yang merupakan sahabat sekaligus karyawan Dinda. 

"Oh, ini. Di cium tembok." Bohong Dinda.

"Kok aku nggak percaya ya." Amira menatap sahabatnya dengan tatapan curiga. Ia sampai menghentikan kegiatannya dalam membungkus kardus yang yang berisi pesanan online para pelanggan.

"Apa sih. Nggak percaya ya udah, nggak maksa aku tuh." Dinda menjulurkan lidahnya sebentar lalu mata dan jemarinya kembali fokus pada kertas yang ada dihadapannya. Mencatat pesanan dan alamat para pelanggan. Dinda mempunyai toko online yang ia rintis dari tahun lalu. Dan sekarang berkembang cukup pesat karena kegigihan janda beranak satu itu. Meski terkadang harus mengalami jatuh bangun, wanita itu tak pernah menyerah. Apalagi mengingat sekarang ia menjadi tulang punggung keluarganya. 

"Aku nggak percaya. Beneran deh." Ucap Amira seraya menopang dagunya mengamati bibir Dinda.

"Terserah." Balas Dinda acuh.

"Jawab deh yang jujur. Itu di pasti di gigit pacar berondong kamu itu kan? Hayo ngaku!" Amira menyipitkan matanya, meledek Dinda. Ia yakin sekali bibir sahabatnya itu akibat gigitan.

"Sembarangan!" Dinda melempar ballpoint yang ia pegang dan tepat mengenai kepala Amira. Sontak saja membuat Amira mengasuh dan mengelus kepalanya.

"Sakit. Lagian, ngaku aja kenapa sih. Kan udah biasa juga." Amira semakin meledek sahabatnya itu.

"Apasih." Dinda tetap menutupi kejadian yang sebenarnya. Ia tak ingin menceritakan kebusukan mantan suaminya. 

"Harusnya diem aja pas di cium. Jangan berontak, nikmati aja." Kini tawa Amira memenuhi ruangan itu. Membuat Dinda ikut tertawa mendengarnya.

"Dasar!" Dinda sekarang hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.

"Dasar apa? Dasar cantik?" Amira mengedipkan kedua matanya sok imut.

"Iya iya, sahabatku yang paling cantik." 

"Terimakasih atas pujiannya. Aku memang cantik dan imut." 

"Astaga." Keduanya terkekeh.

"Tapi beneran deh, aku penasaran banget. Jawab yang jujur, sebenarnya bibir kamu kenapa?" Wajah Amira berubah menjadi serius. Ia sangat penasaran, bukan apa-apa ia hanya takut kejadian saat Dinda menjadi istri Bayu terulang lagi.

"Kan aku sudah bilang, di cium tembok." jawab Dinda asal. Ia meraih ballpoint bewarna pink, mengganti ballpoint yang di lempar tadi.

"Nafsu banget tuh tembok sampai nyium bibir kamu." Kini wanita yang mempunyai anak dua itu kembali fokus memasukkan barang pesanan ke dalam kardus.

"Siapa yang bernafsu nyium bibir kamu?" Suara seorang pria mengagetkan keduanya. Membuat mereka menghentikan kegiatan yang sedang mereka lakukan. Tampak Alvian yang sudah berdiri di ambang pintu, menatap Dinda dengan tajam. Membuat Dinda dan Amira saling beradu pandang.

"Mas, kok nggak bilang mau kesini?" Dinda segera berdiri, meninggalkan pekerjaannya dan berjalan menghampiri Alvian yang masih diam mengamati bibir Dinda yang terlihat robek.

"Siapa yang gigit bibir kamu?" Tanya Alvian yang membuat jantung Dinda berdegup kencang. Apa luka di bibirnya sangat terlihat jelas? Padahal ia berusaha menutupinya dengan lipstik.

"Tembok mas, tadi malam aku ngelindur terus nggak sengaja malah nabrak tembok." Dinda beralasan.

"Bohong!" Tuding Alvian yang membuat Dinda salah tingkah. Pasalnya ia tak pernah bisa berbohong pada pria yang ada dihadapannya saat ini.

Sedangkan Amira tak berani menatap Alvian karena ia mulai merasakan kecemburuan dan amarah menyelimuti pria muda itu. Ia sangat mengenal kekasih sahabatnya itu. Selain bucin akut, Alvian akan sangat marah jika ada yang berani menyentuh kekasihnya.

"Aku tidak bohong sayang." Dinda berusaha membujuk Alvian. Alvian menyentuh bibir Dinda, matanya menyiratkan kesedihan. Entahlah, ia merasa sakit melihat Dinda terluka meskipun hanya sedikit. 

"Mana temboknya? Akan aku beri pelajaran dia. Berani-beraninya dia menyakitimu!" Alvian bersungut-sungut sembari mengelus bibir Dinda dengan sayang lalu mengecupnya sekilas.

Amira hampir tersedak mendengar kalimat yang di ucapkan oleh Alvian, matanya melirik ke arah pasangan yang sedang di mabuk asmara itu.

"Dasar micin! Eh, bucin!" Cibir Amira seraya menggelengkan kepalanya. Tangannya sibuk membungkus kardus yang sudah ia isi dengan pesanan para pelanggan.

"Biarin. Syirik aja mbaknya." Balas Alvian, matanya tak lepas dari wajah cantik kekasihnya.

"Aku mah nggak syirik, aku punya suami."

"Iya,sayangnya suami mbak kayak es balok."sahut Alvian tak mau kalah.

"Sudah sudah. Apaan sih, selalu aja ribut." Dinda menengahi. Ia mengelus dada Alvian dengan lembut.

Tanpa aba-aba, Alvian langsung menyambar bibir ranum milik Dinda. Tak menghiraukan Amira yang membelalak melihat keduanya berciuman mesra di depannya. 

"Uummm.." Dinda hendak melayangkan protes, tapi Alvian tak mau melepaskan bibir Dinda yang manis. Ia sudah kecanduan dengan rasa bibir kekasihnya itu.

"Dasar bucin! Nggak lihat ada aku disini?" Rutuk Amira sambil menggelengkan kepalanya.

"Maass.." Dinda memukul pelan dada Alvian setelah ciumannya terlepas. Wajahnya bersemu, ia sangat malu pada sahabatnya itu. Bisa-bisanya Alvian menyerangnya ketika ada Amira bersama mereka.

"Kenapa sayang? Mau lagi?" goda Alvian tersenyum, tangannya kini memegang dagu Dinda dan mencubit kecil.

"Astaga Alvian. Gerah woi, gerah disini." Amira mengibaskan tangannya, ia merasakan atmosfer di ruangan yang awalnya sejuk berubah menjadi panas. 

"Aku malu ih sama Amira." Dinda menutup wajahnya yang memerah.

"Jangan malu sayang, mbak Amira sudah biasa begitu sama suaminya. Jadi jangan malu!" 

"Apaan sih mas." Dinda menurunkan tangannya, lalu memukul dada Alvian pelan.

"Benerkan?" 

"Astaga." Dinda menepuk jidatnya. 

"Udah ah, aku mau nyelesain kerjaan aku dulu." Dinda membalikan tubuhnya, tapi lengannya segera di Tarik oleh Alvian. 

"Cium dulu." rengek Alvian yang membuat mata kekasihnya membulat seketika.

"Tadi kan udah." 

"Itukan mas yang cium, kan kamu belum." 

"Apa bedanya parmen?" geram Dinda.

"Ya bedalah Tarjo!" Alvian menyentil pelan kening kekasihnya. Parmen dan Tarjo merupakan gelar yang di sematkan keduanya. Entah berawal darimana dan siapa yang memulai, nama itu seperti nama panggilan sayang untuk keduanya.

"Sakit mas." Dinda mengusap keningnya.

"Makanya cium dulu, Jo."

Cupp..

Dinda mengecup bibir Alvian sekilas, lalu berjalan meninggalkan kekasihnya yang tersenyum setelah mendapat kecupan singkat dari wanita pujaannya. Amira hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku keduanya.

"Jelaskan, tembok mana yang sudah berani mencicipi bibir kekasihku?" Alvian bersandar di kusen pintu seraya bersedekap memandangi Dinda yang sekarang sedang berkutat dengan deretan angka. 

"Tembok kamar." ucap Dinda tanpa menoleh. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya dan pergi makan siang bersama kekasihnya.

"Aku akan mendatanginya nanti. Lihat saja! Aku akan memukulnya." ucap Alvian sembari berlalu, ia masuk ke ruangan kecil yang biasa digunakan Dinda untuk beristirahat ketika lelah. 

"Astaga, dasar bucin!" Lagi, Amira mengumpat. Sedangkan Dinda hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum mengingat tingkah konyol kekasihnya.

"Sayang, jangan lama-lama. Aku lapar." Kepala Alvian muncul di pintu sembari menatap Dinda.

"Delivery aja mas, biar cepat." usul Dinda. 

"Nggak mau." Alvian menggeleng.

"Lalu?"

"Aku lapar, pengen makan kamu." Alvian mengedipkan sebelah matanya menggoda kekasihnya. Dinda tidak bisa membayangkan betapa merahnya muka wanita itu sekarang, ia malu pada Amira.

"Uhuk uhukk.." kali ini Amira benar tersedak. 

"Batuk mbak?" ledek Alvian.

"Keselek!" jawab Amira.

"Keselek apa?" tanya Alvian.

"Keselek Meteor!" balas Amira geram. Sungguh kekasih sahabatnya ini membuat ia selalu emosi.

Sontak saja sepasang kekasih itu kompak menertawakan Amira. 

"Mbak, mbak. Ada-ada aja sih, kok bisa keselek meteor." Alvian kembali masuk keruangan istirahat itu lalu membaringkan tubuhnya ke sofa yang ada disana seraya bermain ponsel. Melihat kembali foto-fotonya bersama Dinda, kekasihnya. Entahlah, ia juga tak tahu mengapa ia bisa sebucin ini dengan wanita beranak satu itu. Sebelumnya, ia tak pernah merasakan hal seperti ini dengan mantan kekasihnya. Pesona janda muda itu sungguh membuat Alvian tergila-gila. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status