Cinta mengajarkan kita tuk saling menerima kekurangan, saling melengkapi dan saling menghargai. Saling berbagi dan saling mengerti. Bukan selalu menyalahkan, tapi saling menguatkan.
Dinda mengambil ponsel yang berada di genggaman Alvian, pria itu tertidur ketika sedang menunggu kekasihnya. Ia melihat deretan foto mesra mereka berdua, Dinda tersenyum lalu meletakkan ponsel itu ke atas nakas. Wanita itu duduk di sebelah Alvian, lalu mengusap kepala kekasihnya dengan lembut. Jemarinya turun ke kening, lalu ke alis. Alis mata yang hitam tebal, hidung mancung dengan bibir yang tipis. Ia mengusap pelan bibir Alvian, lalu turun ke rambut halus yang tumbuh dibawah bibir pria itu. Entahlah, ia sangat suka melihat bulu halus yang tumbuh di bibir Alvian. Ia tak rela jika Alvian memotongnya.
Dinda membungkuk hendak mengecup bibir kekasihnya, tapi ia sangat terkejut ketika melihat mata Alvian yang terbuka secara tiba-tiba.
"Kamu ketahuan sayang." ucap Alvian dengan suara serak khas bangun tidur.
Dinda tergagap, ia menarik kembali kepalanya ke belakang.
Tapi tangan Alvian yang kokoh menahannya, membuat kepala Dinda kembali mendekat ke wajah Alvian. Hingga nafas Alvian terasa hangat menerpa wajahnya. Memberikan rasa yang berbeda. Jantungnya memompa darah semakin cepat sekarang. Nafas Alvian membuatnya menggila. Kini Dinda berada di atas tubuh Alvian, dada mereka saling menempel.
"Maass.." desah Dinda. Ia bisa melihat kilat gairah di mata kekasihnya.
"Apa sayang?"
"Ayo kita makan!"
"Aku mau memakanmu! Ayo lanjutkan yang tadi!"
"Melanjutkan apa?" tanya Dinda bingung.
"Bukankah tadi kamu mau menciummu?" Alvian tersenyum jahil. Jemarinya kini membelai wajah ayu sang kekasih.
Ini
"Tidak! Aku ingin membangunkan mu!" Dinda mengelak.
"Jangan beralasan sayang, cium saja aku ikhlas lahir batin.".ucap Alvian.
"Astaga. Itu maumu mas."
"Tapi kamu juga mau kan?"
"Tapi aku.." belum selesai kalimat yang di ucapkan oleh Dinda, Alvian telah membungkam bibir Dinda dengan bibirnya. Ciuman yang awalnya hanya lumatan kecil, kini menjadi lumatan penuh gairah. Alvian menuntut lebih dari ciuman, lidah mereka saling bertemu. Saling membelit dan mencari kepuasan disana. Tangan Alvian menyusup kedalam baju yang dikenakan Dinda. Mengusap perut rata wanita itu. Memberikan rasa geli hingga membuat Dinda meremang. Tangan Alvian tak diam, terus mencari gundukan sintal favoritnya. Ia meremas nya perlahan tanpa melepaskan Pagutan bibir mereka. Alvian membuka kancing kemeja yang Dinda kenakan satu persatu. Hingga menyisakan kain yang menutupi dada putih nan menggoda. Bibir dan lidah Alvian menyusuri leher Dinda yang jenjang, memberikan jejak kepemilikan disana.
Alvian mengangkat tubuh Dinda lebih tinggi, bibirnya terus turun lalu menjilati dada Dinda dengan bergairah. Membuat Dinda mendesah nikmat, membuat yang di bawah sana berkedut minta di masuki. Alvian juga merasakan miliknya sudah mengeras sedari tadi.
"Mass.. akkhh.." Dinda meremas rambut Alvian. Ia merasa sudah tak tahan, ia merasakan kupu-kupu berterbangan di perutnya. Alvian membuka resleting celananya dan mengelus miliknya yang berdiri sempurna. Hari ini Dinda memakai rok pendek selutut, sehingga memudahkan pria itu memasukinya hanya dengan melepaskan celana dalam wanita itu.
Peluh membasahi tubuh keduanya yang tak berbalut sehelai benangpun. Untung saja Amira memutuskan untuk pulang ketika jam makan siang. Karena jika tidak, maka ia akan mendengar desahan demi desahan kenikmatan dari keduanya. Mereka bercinta sangat panas dan penuh gairah siang ini. Tak menyentuh tubuh Dinda sehari saja bisa membuat Alvian gila. Tubuh Dinda menjadi candu untuknya. Tangan Alvian menyentuh bibir Dinda yang terluka, mengusapnya pelan. Mata wanita cantik itu terpejam, ia kelelahan setelah percintaan yang berdurasi cukup lama itu. Tenaga Alvian seperti tak ada habisnya dan tak mengenal kata lelah.
"Sayang.." Alvian mengecup keningn kekasihnya sekilas.
"Huumm.." Dinda menggeliat, lalu menelusupkan kepalanya masuk ke dalam dada bidang kekasihnya.
"Sebenernya bibirmu kenapa? Aku tak percaya kamu menabrak tembok sampai seperti ini."
Dinda tak menyahut, wanita itu benar-benar tertidur. Ia terlihat sangat lelah, Alvian tak tega membangunkan kekasihnya. Ia mengecup kepala Dinda sangat lama.
"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan?" gumamnya pelan. Sebenarnya hati Alvian tak tenang dari tadi malam. Dinda selalu menyembunyikan rasa sakitnya sendiri. Ia selalu berusaha terlihat baik-baik saja di depan semua orang.
Alvian merasa sangat lapar sekarang. Ia heran, tadi sebelum bercinta ia tak merasa lapar sama sekali. Setelah melakukan penyatuan, cacing dalam perut Alvian berdemo minta makan. Tenaga Alvian sudah terkuras habis karena olahraga menyenangkan yang ia lakukan barusan. Ia meraih ponselnya di atas nakas, membuka aplikasi untuk memesan makanan. Ia tak mungkin keluar mencari makanan dan meninggalkan Dinda yang tak memakai sehelai benang pun.
Tak lama makanan pesanan Alvian datang, pria itu segera mengenakan pakaian dan menyelimuti Dinda sebelum keluar. Setelah mengambil pesanannya, Alvian memindahkan makanan itu ke dalam piring yang ada disana. Lalu membawa makanan itu ke dalam ruang pribadi milik Dinda. Ia membangunkan kekasihnya dengan lembut. Dinda mengerjapkan matanya, lalu duduk.
"Sayang, makan dulu." Alvian mengusap wajah Dinda dengan lembut.
"Suapin." Dinda memasang wajah manja.
"Baiklah my queen." Alvian tersenyum, lalu mulai menyuapi Dinda. Ia juga makan dengan sendok dan makanan yang sama. Dinda menatap wajah Alvian yang kini menyuapinya dengan telaten. Meski usia Alvian jauh lebih muda darinya, sikap Alvian sangat dewasa. Ia selalu merasa di cintai oleh pria ini.
"Kenapa sayang? Terpesona oleh ketampanan kekasih mu ini?" goda Alvian gemas. Pertanyaan Alvian membuat Dinda tertawa, kekasihnya ini memiliki sifat narsis yang tinggi.
"Kau percaya diri sekali tuan?"
"Wah jelas. Lihatlah! Bahkan dirimu bertekuk lutut padaku."
"Astaga." Dinda menggelengkan kepalanya.
Setelah Dinda selesai dengan makannya, Alvian kembali bertanya.
Ia menatap lekat wajah kekasihnya, ia tidak akan tenang jika belum tau yang terjadi pada kekasihnya saat ini.
"Sayang, jawab mas dengan jujur. Bibir kamu kenapa?"
"Mas, kan aku udah bilang. Bibirku di cium tembok." Dinda masih menutuli
"Mas nggak percaya."
"Why?"
"Ada yang kamu sembunyikan dari mas."
Dinda memeluk Alvian, sebenarnya ia sangat ingin menceritakan kejadian yang di alami tadi malam. Tapi mengingat Alvian yang emosian, membuat Dinda mengurungkan niatnya.
"Sayang, ayolah. Bukankah kita harus saling berbagi? Mengapa kau sangat pelit untuk berbagi?"
"Apa mas janji tidak akan marah?" Tanya Dinda sembari menatap Alvian dengan sangat dalam. Mencoba mencari kepastian.
"Iya, mas janji tidak akan marah sayang." ucap Alvian seraya tersenyum. Ia membelai pucuk kepala Dinda dengan sesekali mencium pucuk kepala kekasihnya.
"Baiklah, aku akan bercerita. Tapi janji jangan marah." Dinda memastikan sekali lagi, ia tak ingin Alvian akan marah setelah ini. Ia mempunyai trauma berat saat di marahi dan di perlakukan dengan kasar ketika ia menikah dan menjalani rumah tangga bersama mantan suaminya itu dulu.
"Iya sayang iya. Aku tidak akan memarahimu, aku akan mendengarkan mu." M" Alvian mencibit hidung Dinda hingga membuatnya memerah.
"Jadi begini, Kak Bayu datang kerumah tadi malam." Dinda menceritakan semuanya tanpa ada yang di tutupi. Ia tak menyadari jika Alvian sedang menahan emosi luar biasa. Kedua tangannya terkepal, ingin sekali rasanya ia menghadiahi mantan suami kekasihnya itu dengan bogem mentah. Pria itu sangatlah menjijikkan di mata Alvian. Bukankah semuanya sudah berakhir? Mengapa ia datng kembali menemui kekasihnya? Banyak sekali pertanyaan yang saat ini berada dalam kepla Alvian. Ia harus membuat perhitungan pada pria suatu saat nanti.
“Kau?” Rio melepaskan genggamannya dan berdiri, mengujam pria yang datang dengan marah. “Jangan pernah berpikir untuk menikahi Dinda, karena Dinda hanya milikku! Selamanya dia akan tetap menjadi milikku. Jadi, jangan pernah bermimpi terlalu tinggi!” tegasnya tanpa ampun. “Ya ampun! Setelah dua orang ini membuatku terkejut, sekarang kamu juga datang mengejutkanku. Apa kalian bertiga mau aku benar-benar mati mendadak karena jantungan?” keluh Amira seraya memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Wanita itu menggelengkan kepala, mendaratkan tubuhnya di sofa kecil yang ada di sudut ruangan. “Lebih baik aku di sini saja. Kalian lanjutkan saja drama percintaan yang tiada habisnya ini. Aku tidak ingin ikut campur, aku akan menjadi penonton saja.” ucapnya seraya menghela napas lelah. Sementara ketiga orang yang sedang berdiri itu hanya saling pandang. “Bayu, kenapa kau ada di sini?” tanya Dinda memecahkan keheningan serta kecanggungan yang terjadi di antara mereka. “Aku menjemput kamu.” J
“Apa? Maksudnya ... Dinda hamil anak Alvian?” tanya Rio terkejut.“Astaga aku keceplosan. Aku lupa ada manusia lain di sini.” Amira menepuk jidatnya dengan kencang.“Jawab aku! Apa benar Dinda mengandung anak Alvian?”Kedua wanita itu saling pandang, kemudian kompak kembali melihat pria satu-satunya yang ada di sana saat itu. Dengan wajah terkejut dan mata penuh tanda tanya serta kebingungan yang sangat kentara.Dinda menghela napas berat, sementara Amira memukul mulutnya karena merasa bersalah tidak bisa mengontrol ucapannya.“Maafkan aku, Din.” ujarnya lemah.“Kenapa minta maaf?”“Ya karena aku tidak bisa menjaga ucapanku.”“Sudahlah, jangan merasa bersalah. Lambat laun semua orang juga akan tahu, kan?”“Iya, tapi kan ....”“Apa yang sedang kalian bicarakan? Apa benar Dinda sedang mengandung anak si brengsek itu?” tanya Rio sekali lagi, kali ini dengan rasa marah yang akan meledak. Dinda terpekur menatap lantai berwarna putih yang berada di bawah. Meremas kedua jemari yang saling be
‘Cinta bukan tentang dua raga yang selalu bersama. Tapi tentang pengorbanan serta dua hati yang menerima kenyataan bahwa tak selamanya cinta akan berakhir Bahagia'***“Aku akan menikah.” ujar Dinda dengan suara serak. Wanita itu menunduk, menahan kuat-kuat air mata yang kembali menganak sungai.“Jangan bercanda, sayang. Ini sama sekali tidak lucu.” kata Alvian seraya tertawa kaku. Wanita yang di hadapannya hanya diam seribu basa, tak berani sekedar mengangkat kepala. Melihat ujung kaki yang kini mulai terasa dingin.“Sayang, jangan suka mengerjaiku. Kau tidak berubah, selalu sukses membuat jantungku seakan lepas karena kejahilanmu.” Alvian mengangkat wajah wanita itu, kembali menariknya dalam pelukan.“Aku tidak bercanda, mas.” kata Dinda lagi. Ia menggigit bagian bibir bawahnya dengan kuat, meremas jemarinya yang berkeringat.“Sayang, please. Aku baru kembali dan aku sangat merindukanmu. Aku ingin melepaskan rindu yang selama ini terpendam. Kau tahu? Aku bagaikan mayat hidup. Aku ha
Ketika dua hati yang saling merindu bertemu, meleburkan lara yang selama ini membelenggu. Tapi semua hanya lah sebatas cinta yang semu, saling merindu tapi cinta tak di izinkan menyatu. *** “Apa aku boleh duduk di sini?” tanya seorang pria berkemeja hitam, berdiri di hadapan Dinda seraya memasang wajah ramah penuh senyum. Tapi yang di tanya hanya diam tak merespon. Menatap jalanan yang ramai, penuh dengan kendaraan berlalu lalang. Ntah apa yang tengah di pikirkan wanita itu, sehingga tak menyadari seorang pria yang sedari tadi berdiri memandangnya. Merasa di abaikan, pria itu sengaja duduk di sebelah wanita yang sedang melamun itu. Menopang dagu dengan tangan sebelah kanan, netranya tak merasa jenuh memandang keindahan yang di ciptakan Tuhan. Meski terlihat sedikit pucat dan tanpa memakai make up, wajah Dinda malah terlihat cantik alami. “Cantik ... Dan kamu akan selalu cantik.” gumamnya seraya tersenyum. “Eh, siapa kamu?” suara Amira membuat Dinda dan pria itu terkejut. Pria it
Cinta ini akan tetap bersemayam di relung hati, Tak kan ku biarkan namamu mati. Ia akan tetap abadi, meski pun engkau telah pergi. ❤️❤️ “Sialan tu Si Alvian, sok suci banget jadi cowok. Kalo nggak karena hartanya, mana mau aku capek-capek ngejar dia!” seorang wanita berambut pirang dengan kesal menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sebuah apartemen. “Memangnya kenapa dia?” tanya seorang pria yang menghampirinya dengan membawa sebotol soda lalu memberikannya pada Amanda. “Kamu tahu sayang, dia itu terlalu dingin dan cuek. Aku tidak bisa sedikit pun merayunya. Bahkan aku sampai nyaris telanjang di depannya, tapi tidak ada sedikit pun ketertarikan di matanya!” wanita itu mendengus kesal. Meneguk soda yang telah di buka sebelumnya. “Wow ... Apa kau benar-benar melakukannya?” tanya sang pria dengan penuh selidik. “Iya, sayang. Aku bahkan menggodanya mati-matian. Meraba tubuhnya yang sangat ... Uhh atletis.” membayangkan betapa sempurnanya tubuh Alvian membuat wanita itu menggigit
“Pergi dari sini! Dasar wanita jalang!” seorang gadis yang nyaris telanjang jatuh terjerembab ke lantai setelah di hempaskan begitu saja oleh Alvian. Gadis itu meringis, menahan nyeri di lutut dan sikutnya yang memerah.“Dasar bajingan sok suci!” umpatnya kasar seraya menatap tajam pria yang berdiri di depan pintu kamar.Alvian berjongkok, meraih dagu gadis itu. Awalnya lembut, tapi lama-lama pria itu mencengkeram dagu Amanda dengan kuat sehingga kini gadis yang awalnya menatapnya dengan nyalang, kini meringis kesakitan.“Lepaskan brengsek!” teriak Amanda seraya memberontak. Berusaha melepaskan cengkraman tangan Alvian di dagunya. Tapi usahanya sia-sia karena tenaga Alvian lebih besar darinya. Sehingga ia hanya bisa meringis, menahan sakit.“Wanita murahan seperti kamu, tidak pantas ada di ranjangku! Kamu itu ... Pantasnya berada di rumah bordir. Atau menjadi simpanan om-om yang membutuhkan jasa kamu. Jadi ....” Alvian menggantung kalimatnya dan mencengkeram lebih kuat dagu wanita itu
Kau sederhana,Tapi kau segalanya.Kau mampu menggantikan mendung menjadi pelangi,Menggantikan kesedihan menjadi senyum kebahagiaan.Cinta tak dapat di lihat,Tapi bisa di rasakan.Tak perlu pengakuan,Tapi sebuah pembuktian.Bertahanlah,Meski semesta menentang.Genggam tanganku lebih erat agar aku yakin dan mampu bisa melewati jalan yang tak mudah ini.Jangan pernah ragukan ketulusan cinta yang ku berikan.Karena cintaku ada tanpa alasan.***“Kamu sudah pulang nak?” tanya wanita yang masih cantik di umurnya yang memasuki usia kepala empat itu.“Sudah, Ma.” Alvian meraih tangan wanita yang telah melahirkannya itu dan mencium punggung tangannya.“Al, sayang. Kok kamu baru pulang? Aku nungguin kamu dari tadi sampai bosan.” seorang gadis cantik dengan pakaian seksi menghambur ke pelukan pria muda itu. Tersenyum dengan gerakan menggoda, kemudian mencium pipi Alvian tanpa sungkan.“Lepaskan!” ujar Alvian dengan tatapan tajam dan dingin.“Jangan terlalu galak denganku. Bagaimana pun juga
‘Sejauh apa pun jarak yang memisahkan, cinta kita tak kan berjarak. Selamanya akan menetap meski kita tak lagi saling tatap.” ~Dinda Fitriah~ Bayu keluar dari ruang rawat Dinda dengan kesal. Sesekali menendang udara untuk menyalurkan emosi yang menguasainya. “Kenapa sih Din, selalu saja nama pria ingusan itu yang keluar dari bibirmu! Bahkan dalam tidur pun kamu masih menyebut nama pria sialan itu!” umpatnya kesal. Ia mendaratkan tubuhnya di sebuah bangku panjang yang ia temui di koridor rumah sakit. Duduk dengan kedua tangan berada di atas lutut, jemarinya meremas rambut yang mulai tumbuh memanjang. “Apa tidak ada kesempatan itu lagi? Apa tidak bisa kamu membuang saja pria itu dari hatimu? Jelas-jelas aku jauh lebih baik dari pria sialan itu! Aku punya segalanya! Sedangkan dia? Cuma punya motor butut yang tak layak pakai! Cih ... Apa yang bisa kamu harapkan dari bocah tengik itu! Kamu pasti akan lebih bahagia jika hidup denganku!” “Arrghh ... Sial ...
'Bagaimana bisa aku meraih bahagia bersama orang lain, sementara hatiku terus saja menggaungkan namamu dan berharap engkau kembali'___________________“Kapan ya perut kamu buncit.” pria muda itu mengelus lembut perut rata sang kekasih. Wanita cantik itu mendelik dengan bibir yang mengerucut. Ia menjauhkan diri dari pria yang sedang mendekapnya itu.“Ishh ...! Mas do’ain aku gendut? Buncit berlemak gitu?” protesnya.“Kan lucu sayang,”“Apanya yang lucu, mas? Jahat ishh ....” bibirnya semakin maju hingga lima sentimeter. Membuat kekasihnya tak kuasa menahan diri.Sang pria hanya terkekeh geli melihat ekspresi wanitanya. Detik selanjutnya ia menjerit karena gelitikan yang bersarang di perutnya.“Ampun sayang. Hentikan! Itu sangat geli!” pria itu berdiri untuk menyelamatkan diri dari serangan wanita itu. Sementara si wanita kini ikut berdiri, berniat membuat pria itu jera.“Makanya! Apa maksudmu dengan perut buncit?” ia berdiri dengan berkacak pinggang. Memasang wajah galak dengan bibir