London, 2021
Blitz
Blitz
Blitz
Tubuhnya bergonta-ganti gaya seiring dengan kilatan blitz kamera yang menyrot ke arahnya. Mimik wajah, sorot mata, gerak tubuh, semua berkolaborasi agar menjadi pose yang apik.
Fotografer dengan telaten mengarahkan gerakannya agar terlihat pas di kamera.
"Oke, Grace bisa istirahat sebentar."
Dia Grace Wyne, seorang model berkebangsaan Indonesia yang sudah lama meniti karir di dunia modeling. Model tidak hanya sekedar profesi, namun juga napas bagi Grace. Ia memasuki dunia modeling hanya dengan alasan sederhana, ia menyukai kesempurnaan.
Bagi Grace tampil sempurna di depan semua orang adalah hal yang wajib ia lakukan. Ia tidak menyukai cela. Dan disini, dibawah naungan agensi selama bertahun-tahun, Grace selalu mengupayakan dirinya menjadi lebih dari orang lain.
"Elle baru saja menelpon, katanya dia terlalu sibuk menyiapkan konsernya selama tiga minggu ini, jadi dia belum sempat mengabarimu."
Grace hanya memutar bola matanya malas menanggapi. Dia Gabby, teman sekaligus personal assistant-nya, yang telah setia jatuh bangun bersama dalam membangun karirnya.
"Aku merasa tenang tidak mendapatkan kabar darinya."
Gabby menyodorkan sebotol air mineral. Dia tahu Grace pasti kehausan karena sudah satu jam menjalani photoshoot di bawah terik matahari.
"Sayangnya ketenangan mu sebentar lagi usai. Besok kita harus kembali ke Indonesia, dan yang pasti kau akan bertemu dengannya."
Grace menghela napas panjang. "Hah, kepalaku langsung berdenyut mendengar ucapanmu." keluhnya.
Mau tidak mau Gabby terkekeh. "Terima saja nasibmu, memiliki sepupu sempurna seperti dia."
Ya, Elle adalah sepupu Grace. Namun sejak ia mengetahui fakta itu, tidak sekalipun ia menyukak Elle. Karakter dan kepribadian mereka terlalu bertolak belakang. 8 tahun bersama di Landon, tidak membuat kebencian Grace menghilang. Setidaknya hanya satu bulan terakhir ini ia merasa bebas dan bernapas lega ketika Elle harus pulang lebih dulu ke Indonesia untuk menyiapkan konser.
Kedua orang tua Elle telah meninggal sejak gadis itu kecil dalam sebuah kecelakaan. Orang tua Grace memutuskan untuk merawat Elle, mengingat Ibu Elle adalah saudara kandung satu-satunya.
Mendapatkan saudara yang selalu sempurna tidak selalu menjadi berkah. Setidaknya itu yang Grace rasakan.
"By, sudah dapat tinggal untukku?"
Gabby yang sedang meneguk minumannya terasa ingin tersedak. Tiap kali membicarakan kepulangan mereka ke Indonesia, Grace selalu mengungkit tentang tempat tinggal baru.
"Mencari tempat tinggal tidak semudah yang kau bayangkan. Kemarin aku sudah memberimu 10 pilihan, tapi semua kau tolak."
Grace selalu ingin yang sempurna. Tidak hanya dalam hal penampilan, melainkan juga dalam pemilihan tempat tinggal. Sedikitpun tidak ada toleransi. Agen properti sudah mengirimkan 10 pilihan tempat tinggal yang menurut Gabby sudah sangat istimewa, namun di mata Grace semua bercelah.
Dia ingin rumah di kawasan pusat kota yang dekat dengan berbagai fasilitas umum, namun dia ingin tempat yang asri banyak pepohonan dan tidak banyak rumah di sekitarnya. Belum lagi dia ingin rumah minimalis dengan ruangan terbuka. Tak lupa memiliki halaman dan taman yang luas. Gabby sudah menghubungi berbagai agen properti. Setelah mendapatkan rumah yang sesuai dengan kualifikasi, namun ditolak karena tahu bahwa di depan rumahnya suka dijadikan tempat nongkrong ibu-ibu rumpi dengan tukang sayur.
"Cari agen properti lain!"
Gabby hanya bisa menghembuskan napas pasrah.
"Daripada mencari tempat tinggal baru, lebih baik tinggal dengan orang tuamu, Grace. Kalaupun kita punya agen properti terbaik sekalipun, tetap tidak akan bisa. Besok kita sudah kembali ke Indonesia. Kau kira akan cukup waktunya?"
"Tinggal bersama mereka hanya membuat kulitku cepat keriput." gumam Grace.
"Atau.. tinggal bersama ku?"
Untuk sejenak Grace menahan napasnya. "Itu pilihan lebih buruk. Orang tuamu sangat galak."
Grace bergidik ngeri. Ia masih ingat terakhir kali berlibur ke rumah Gabby, dia di sana selalu mendapatkan omelan. Tidak boleh memakai rok pendek, tidak boleh menor, tidak boleh memakai atas dengan belahan rendah, tidak boleh ini, tidak boleh itu.
Gabby hanya tertawa melihat ekspresi Grace yang bergidik ngeri. Segalak-galaknya Grace, sepemilih-pemilihnya Grace, Grace menjadi kucing kecil yang penurut jika sudah berhadapan dengan Ibu Gabby.
"Bertahanlah sampai bulan depan, akan aku usahakan mencari tempat baru untukmu."
"Akan aku tagih."
Grace tidak mau kehilangan kebebasannya.
šµšµšµ
Di apartemennya, Grace tengah mengemas barang-barang. Sebagian telah lebih dulu ia kirim, meski masih banyak.
"Gabby, apa ini semua bajuku?"
Bahu Grace melorot. Ia baru sadar seberapa banyak baju-bajunya. Tenaganya tidak akan cukup jika harus mengemas semuanya. Apalagi tadi seharian ia melakukan pemotretan di luar. Tubuhnya sudah lelah.
"Sekarang baru sadar? Aku sudah berulang kali mengingatkan kalau bajumu sudah banyak, namun emang dasarnya keras kepala." ejek Gabby.
"Heh, aku punya uang banyak, jadi nggak masalah membeli beberapa pakaian."
"Semua ini kau bilang hanya beberapa?" Gabby melotot.
"Ya, beberapa dan beberapa." gumamnya.
"Mentang-mentang.. "
"Mentang-mentang aku kaya, cantik, sukses, makanya aku membeli banyak baju, Gabby." cengir Grace, "Anggap saja aku sedang membantu orang lain."
"Semua yang kau beli itu pakaian bermerk, siapa disini yang kau bantu kalau bukan keinginan berfoya-foya mu sendiri." sindir Gabby.
"Lalu biarkan saja apa yang aku lakukan, aku menggunakan uangku sendiri."
Grace kesal mendapat omelan dari sahabatnya itu. Tubuhnya sudah lelah, dan kata-kata sarkastik Gabby membuat sisa tenaganya hilang begitu saja. Ia memilih untuk ke dapur, mengambil minuman dingin dari dalam kulkas. Perutnya sedikit lapar, namun tidak ada makanan sama sekali. Mereka sengaja tidak belanja minggu ini, hanya menghabiskan stok yang tersisa karena hari ini hari terakhir mereka di London.
Dengan bahu melorot, Grace kembali ke kamarnya untuk membantu Gabby berkemas. Tiba-tiba matanya melotot melihat kotak kecil hitam berbahan dasar kaca, yang selama ini selalu di simpan rapi dibuka oleh Gabby.
"Jangan!"
Teriakannya tidak dapat mencegah gerakan Gabby. Kotak kaca itu sudah terbuka lebar, membuat si pembuka mengernyit tidak percaya.
"Untuk apa kau menyimpan ini semua?"
Tanpa ada keinginan menjawab, Grace merebut kotak kaca itu dengan satu kali gerakan.
"Ini urusan pribadiku. Jangan sekali-sekali membukanya lagi. Mengerti?"
TBC..
Selamat datang di cerita "Love a Million Dollars"
Novel cinta satu juta dolar ini hadir dengan suguhan cerita ringan yang berporos pads hidup Grace Wyne. Seorang Model profesional yang sudah lama mengembangkan karirnya di dunia modeling London. Ia seorang yang selalu ingin tampil sempurna di hadapan semua orang, namun siapa sangka ada luka yang selama ini dia sembunyikan, alih-alih tampil sempurna dengan penuh arogansi.
Ikuti terus cerita ini dari awal hingga akhir, dan jangan lupa dukung author dengan cara memberikan like dan komentar sebanyak-banyaknya.
See u part 2 ā¤
Setelah 16 jam 20 menit, Grace dan Gabby akhirnya sampai di kota tujuan dengan selamat. Punggungnya terasa kaku, pun pantatnya yang hampir mati rasa. Ia tidak suka melakukan perjalanan yang terlalu jauh meski itu menggunakan pesawat.Sementara Gabby memasukkan koper ke dalam bagasi, ia memilih membuka kacamata hitamnya, mengamati lalu lalang orang. Langit yang biru cerah itu ia pandangi cukup lama. Sudah lama ia tidak datang ke Ibukota. Setidaknya nyaris 10 tahun. Selama itu ia hanya kembali jika ada urusan penting, itupun tidak pernah lama. Seringkali orang tuanya yang pergi ke London dan menginap hingga berbulan-bulan.Ada rasa aneh, mengingat ini adalah awal baru untuk menetap di Indonesia. Tidak hanya sekedar berkunjung terlebih berlibur. Ia akan menetap lama sampai batas waktu yang tidak ditentukan."Yuk!"
"Saya kira itu hanya gosip. Jadi begini, beberapa waktu lalu tersebar berita di sebuah akun media sosial yang menyebutkan bahwa, Drew pernah ditolak seseorang karena orang tua Drew adalah seorang petani. Mungkin ini sekalian dapat digunakan untuk mengklarifikasi berita tersebut, apakah hoax atau nyata. Sebab kemarin-kemarin juga lumayan menggemparkan, banyak orang yang tidak percaya.""Benar, saya memang pernah ditolak karena berasal dari keluarga petani, namun justru hal itu yang memotivasi saya hingga sampai dititik ini, sekarang."Jawaban Drew membuat kagum banyak orang. Terkadang motivasi datang dari patah hati, seperti Drew."Kalau boleh tau siapa perempuan yang berani menolak seorang Drew itu?""Dia hanya seseorang yang tidak penting. Cinta monyet yang sudah terlupakan sejak lama."&
7 hari telah berlalu, sudah saatnya Grace kembali bekerja. Uang tidak akan datang dengan sendirinya. Demi kehidupan mewah yang ia jalani, ia harus bekerja keras, mengumpulkan pundi-pundi uang.Beberapa waktu lalu, sebelum kepulangannya ke Indonesia, Grace dihubungi oleh salah satu desainer ternama untuk ikut serta dalam Java's Fashion Week. Tentu saja ia langsung setuju tanpa pikir panjang. Ia sangat pandai dalam melihat peluang.Desainer itu adalah Ananta Lazuardi, desainer muda yang berhasil merambah pasar Asia sejak 3 tahun yang lalu. Beberapa kali ia memesan gaun musim semi darinya, sehingga ia cukup mengenal Ananta Lazuardi. Ini salah satu bukti bahwa koneksi sangat penting dalam dunia karir."Grace, akhirnya kita bertemu setelah sekian lama." sapa Ananta dengan begitu akrab."Baru 5 bulan
"Ada apa?"Gabby mengikuti arah pandang Grace yang tertuju ke pintu masuk. Ia melihat seorang pria yang tak asing. Rasanya ia pernah melihat pria itu di suatu tempat.Pria itu tersenyum ramah ke arah pegawai yang menyambut di pintu masuk. Garis bibirnya tertarik ke atas begitu manis. Tak lama dari itu, seorang pria lain masuk dan merangkul pria pertama.Pria yang memiliki senyuman manis itu menoleh ke arah Grace, namun senyumannya tiba-tiba luntur. Tatapan mereka terkunci pada satu titik dalam sepuluh detik. Tanpa disangka, pria itu maju menghampiri Grace."Sungguh tidak menyangka akan bertemu denganmu disini." ucapnya dengan senyuman miring.Grace tetap diam dengan ekspresi yang tidak berubah sejak awal."Benar, mungkin ini hari s
Hoam.. Grace menggeliat dibalik selimut tebalnya. Tubuhnya berganti posisi. Nyaman. Ia ingin tidur setidaknya untuk 30 menit lagi. Kelopak matanya masih terasa lengket, dan tidak mau dibuka. Namun perlahan ia paksa matanya melirik jam dinding putih yang sudah mengarah pada pukul 5.30.Gagal.Ia tidak bisa melanjutkan tidurnya. Pukul 8 ia harus bertemu dengan Mark Lee. Alih-alih sarapan bersama, mereka hendak membicarakan kerja sama yang sudah sempat mereka bicarakan via e-mail.Meski jam menunjukkan pukul setengah 6, namun ia memilih untuk sejenak mengumpulkan kesadaran. Ia menoleh ke arah gorden. Sinar mulai masuk meski masih redup. Napasnya yang berat keluar kasar. Matanya bergerak, menolah ke nakas yang terletak di samping meja riasnya. Sudut bibirnya bergerak naik.Kemarin ia melihat ada ikan cupang yang bagus. Warnanya menarik, gabungan antara hitam, biru muda
Grace memejamkan matanya rapat. Mendapat tepukan di wajah membuatnya merasakan kantuk. Makeup artists itu mengaplikasikan bedak pada wajahnya. Kiranya, sudah hampir satu jam ia duduk dikelilingi MUA dan hairstyles, pantatnya sudah cukup panas. Bagian yang tidak terlalu ia suka saat akan menjalani pemotretan adalah bagian make up yang harus berjalan lama. Menurutnya, natural atau tidak, sama-sama lama.Hari ini ia akan menjalani pemotretan untuk sebuah majalah fashion bersama 5 model dan 2 aktris. Gilirannya masih cukup lama. Tim mendahulukan 2 aktris, yang katanya hendak ada jadwal shooting. Ia tidak terlalu mengenal kedua aktris itu, sejujurnya ia tidak terlalu suka melakukan pemotretan bersama dengan aktris atau aktor, kadang kala ada diskriminasi, seakan hanya mereka yang penting dan sibuk. Mungkin tidak semua begitu, namun dari pengalaman yang pernah ia alami, dan begitu kenyataannya. Seperti halnya hari ini, k
Ia hanya duduk kurang dari 15 menit sebelum pertunjukkan Elle berakhir. Semakin cepat, semakin baik untuk kesehatan telinga dan hatinya. Di saat orang lain memberikan standing applause, ia hanya menyilangkan kedua tangannya sambil memutar bola mata, malas.Memangnya apa yang bisa ia lakukan?Turut bertepuk tangan dengan bangga?Tentu saja tidak. Ia datang bukan karena kebenciannya pada Elle habis, ia hanya tidak ingin memperburuk hubungan dengan Mamanya.Ia bahkan sudah berencana untuk tidak mengucapkan selamat pada Elle, demi mempertegas bahwa ia masih tidak menyukainya.Para penonton yang tadinya duduk rapi menikmati penampilan Elle, kini hulu hilir keluar dari teater. Ketika sudah sepi, ia masih menatap ke arah panggung, dimana Elle tengah berfoto dengan beberapa penggemarnya, sementara kedua orangtuanya tengah terlibat percakapan dengan beberapa orang ya
Hari libur lebih suka Drew habiskan untuk melakukan gym ataupun bersantai di kamarnya, namun berbeda dengan hari ini. Ben dan Idris memaksanya untuk ikut mengunjungi pameran lukisan. Bukan karena mereka benar-benar menyukai seni, mereka hanya sedang mencari tahu sedikit hal tentang seni untuk dijadikan bahan pembicaraan dengan wanita yang tengah mereka dekati. Kata mereka, ini cara tercepat. Membaca buku lebih rumit dan menyita waktu untuk sekedar memahami."Kami hanya memerlukan informasi secara garis besar, dan satu atau dua nama pelukis.""Jika wanita yang tengah kalian dekati tahu bahwa kalian tidak sungguh-sungguh menyukai seni, mereka akan segera menjauhi mu.""Suka bisa berjalan seiring waktu. Ketika kami bergaul dengan seorang yang mencintai seni, tidak akan sulit untuk kami menyukainya nanti." ujar Idris."Mereka adalah alasan untuk kami menyukai seni, apa itu saja tidak cukup?" Ben tidak mau mengambil pusing.Percuma. Sebanyak apapun ucap