Share

Bab 2

Setelah 16 jam 20 menit, Grace dan Gabby akhirnya sampai di kota tujuan dengan selamat. Punggungnya terasa kaku, pun pantatnya yang hampir mati rasa. Ia tidak suka melakukan perjalanan yang terlalu jauh meski itu menggunakan pesawat.

Sementara Gabby memasukkan koper ke dalam bagasi, ia memilih membuka kacamata hitamnya, mengamati lalu lalang orang. Langit yang biru cerah itu ia pandangi cukup lama. Sudah lama ia tidak datang ke Ibukota. Setidaknya nyaris 10 tahun. Selama itu ia hanya kembali jika ada urusan penting, itupun tidak pernah lama. Seringkali orang tuanya yang pergi ke London dan menginap hingga berbulan-bulan.

Ada rasa aneh, mengingat ini adalah awal baru untuk menetap di Indonesia. Tidak hanya sekedar berkunjung terlebih berlibur. Ia akan menetap lama sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

"Yuk!"

Suara Gabby membuyarkan pandangannya, lalu menoleh ke pemilik suara.

"Kenapa? Memberi salam pada kehidupan mu yang sebenarnya?"

Gabby terkekeh sebelum memutuskan untuk memasuki mobil jemputan lebih dulu. Ia pun sudah sama lelahnya dan segera ingin pulang untuk bertemu kedua orang tuanya.

"Aku malas saat tahu kebebasan ku akan hilang."

"Kebebasan adalah milikmu sendiri, untuk apa takut?"

Ia menghela napas, malas untuk membicarakan hal yang sudah jelas Gabby tahu alasannya. Ia tidak suka tinggal dengan kedua orang tuanya. Tinggal di London adalah kebebasan untuknya, walaupun tidak sepenuhnya sebab ada Elle yang juga tinggal bersama untuk menyelesaikan sekolah musiknya sekaligus meniti karir.

Ia akui Elle wanita yang cerdas sekaligus berbakat dalam bidang musik. Cita-citanya sebagai pianis terkenal tidak hanya bunga di mulut, namun sepupunya itu benar-benar membuktikannya dengan kerja keras. Dan sampailah pada konser perdana yang sebentar lagi laksanakan. Semua orang memuji Elle sebagai wanita yang berbakat, namun baginya permainan Elle biasa saja.

"Wow, Elle benar-benar akan melangsungkan konsernya awal bulan depan."

Gabby menggumam sambil memperhatikan isi ponselnya. Ia hanya menoleh sejenak. Seakan tahu, Gabby menyodorkan ponselnya. Menunjukkan sebuah undangan yang dikirim via online oleh Elle.

"Lihatlah!"

Seperti biasa, Grace memutar bola matanya malas. Pemandangan di luar lebih indah untuk diperhatikan daripada isi undangan yang diperlihatkan Gabby.

"Kau tidak ingin memberikan tanggapan?"

"Aku tidak ada sangkut pautnya dengan dia, jadi jangan sekali-sekali membahas konsernya di depanku."

Kembali ke Indonesia membuat kebenciannya pada Elle semakin membludak. Ia tidak suka mendengar seseorang memuji orang lain depan mata kepalanya sendiri. Telinganya terasa ingin terbakar.

"Itu hanya akan terjadi dalam imajinasi mu, dalam dunia nyata kalian sepupu, bahkan Elle sudah dianggap putri kandung oleh kedua orang tuamu, dan lebih parahnya kalian tinggal satu atap. Kau kira bisa menghindar dari bahasan tentang Elle?"

"Setidaknya dirimu tidak membahasnya."

"Oke baiklah, aku minta maaf."

Gabby membuat gerakan seolah mengunci mulutnya. Sejak itu, mereka saling terdiam dengan kemelut pikiran masing-masing. Setelah satu setengah jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah orang tua Grace.

Tanpa disuruh, Gabby membantu Grace mengeluarkan barang-barangnya dan memindahkannya ke dalam rumah karena itu memang sudah menjadi salah satu tugasnya.

"Dimana kotak kacaku?"

"Tenang, ada di dalam koper merah."

Seorang wanita paruh baya dengan daster batik keluar membantu mereka. Sepertinya pembantu baru, sebab Grace belum pernah melihatnya. Sementara Gabby bercakap-cakap dengan pembantu itu, Grace nyelonong masuk. Ia amati rumahnya yang sudah lama ia tinggalkan. Walaupun dulu ia tidak tinggal terlalu lama di rumah ini, namun ia masih ingat jelas setiap pojok rumah ini. Tidak banyak perubahan meski beberapa furnitur sudah diganti dengan model terbaru.

Di dinding sepanjang menuju ruang tengah terdapat foto keluarga mereka. Foto cukup lama, terlihat dari tampilan dirinya yang masih remaja. Bibirnya tersenyum kecil. Deretan foto itu berakhir pada sebuah nakas yang menunjukkan foto-foto lain dari keluarga mereka. Senyumnya luntur tatkala tak sengaja melihat foto Elle di sana. Dengan gerakan asal, ia menutup foto itu. Ia tidak suka ada Elle di antara keluarganya meski itu hanya foto. Untunglah ia masih dapat mengontrol dirinya, jika tidak, ia pasti sudah membanting foto itu ke lantai hingga hancur berkeping-keping.

"Ada lagi yang kau butuhkan?"

Gabby menghampirinya yang sudah sampai di ruang tengah. Ia memperhatikan pembantu rumah yang belum ia ketahui namanya itu tengah mengusung koper-kopernya ke dalam salah satu kamar di lantai atas. Ia tidak hanya memperhatikan, melainkan menunggu sapaan.

"Apa dia tidak tahu aku juga putri pemilik rumah ini?"

Gabby terkekeh seraya mengedikkan bahunya. "Mungkin wajahmu terlalu menakutkan, jadi dia tidak berani menyapamu."

"Sudahlah, kau bisa pulang. Aku ingin istirahat."

"Oke, sampai jumpa lusa. Jangan hubungi aku besok, mengerti?!"

Gabby paling tidak suka jika waktunya libur diganggu oleh Grace. Saking tidak mau diganggunya, terkadang wanita itu menonaktifkan ponselnya. Baginya, libur adalah libur.

Saat pembantu rumah itu melintas, dengan wajah songong, Grace bertanya. "Dimana Mama dan Papa?"

"Bapak dan Ibu ada acara di luar, sepertinya akan pulang sedikit malam."

Grace terlalu gengsi untuk bertanya nama orang yang sedang ia ajak bicara. Sementara pembantu tengah menyiapkan kamarnya, Grace memilih untuk istirahat sejenak di rumah tengah sambil menyalakan televisi.

"Ini adalah momen yang sudah sangat kami tunggu, seperti yang kita tahu daftar tunggu untuk menunggu mereka ini sangat panjang."

"Itu juga Lika, yang membuat kehadiran dari Railways FC ini sangat dinantikan oleh semua orang, khususnya para penonton setia suka-suka talk show."

šŸ’µšŸ’µšŸ’µ

"Ini adalah momen yang sudah sangat kami tunggu, seperti yang kita tahu daftar tunggu untuk menunggu mereka ini sangat panjang." ucap Alika, salah satu pembawa acara Suka-Suka talk show.

"Itu juga Lika, yang membuat kehadiran dari Railways FC ini sangat dinantikan oleh semua orang, khususnya para penonton setia Suka-Suka talk show."

Railways FC adalah sebuah klub sepak bola yang akhir-akhir ini trending karena berhasil memenangkan kompetisi di Liga 1. Yaitu, liga sepakbola profesional level tertinggi di sistem liga. Oleh karena itu, meski Suka-Suka talk show bukan talk show khusu olahraga, namun mereka tetap ingin mengundang sebagian pemain dari Railways FC, untuk menaikkan rating and share acara mereka.

"Selanjutnya, kami ingin bertanya kepada Andrew Kanigara yang berperan sebagai penyerang sekaligus kapten dalam Railways."

"Namanya sangat meroket akhir-akhir ini, sampai-sampai di berbagai media sosial namanya trending satu."

"Iya betul, dari aksinya di lapangan, bahkan kehidupan pribadinya. Semua orang, terutama kaum hawa. Alih-alih prestasi, mereka sangat penasaran tentang kehidupan pribadi seorang Andrew Kanigara."

Andrew Kanigara, atau yang biasanya disapa Drew itu hanya tersenyum menanggapi kedua pembawa acara. Sudah menjadi rahasia umum, Drew sangat digilai oleh para perempuan. Semua berbondong-bondong menyukai sepak bola karena ingin melihat pesona Drew.

Pria bertubuh tegap dengan tinggi 187  cm itu memiliki tubuh atletis, kulitnya yang cenderung sawo matang membuat Drew terlihat lebih maco. Alisnya yang tebal, rahangnya yang tegas, juga mata tajam, semua hal yang ada pada diri Drew menambah daya tarik.

"Kami sangat penasaran, apakah seorang Drew memiliki kekasih hati."

"Tidak." jawab Drew singkat dengan senyum yang mengembang.

"Bagaimana bisa?" pembawa acara sulit mempercayai jawaban Drew. Dengan segala pesonanya, pasti sangat mudah untuk Drew memiliki seorang kekasih. Tanpa harus mencari, pasti banyak yang mengantre.

"Oke, girls ini kesempatan bagi kalian." ucap Dimas, salah satu pembawa acara, kepada penonton. Ucapan Dimas membawa gelak pada seluruh penghuni studio.

"Drew, setelah ini tidak perlu repot mencari, tinggal tunjuk pasti banyak yang mau."

"Kalau Drew memiliki kekasih, hari itu pasti akan menjadi hari patah hati nasional." celetuk Alika.

"Ngomong-ngomong soal patah hati, apa Drew juga pernah merasakan patah hati?"

"Tentu, pernah."

Jawaban Drew membuat terkejut semua orang, kecuali teman satu timnya yang sudah pernah mendengar ceritanya.

"Saya kira itu hanya gosip. Jadi begini, beberapa waktu lalu tersebar berita di sebuah akun media sosial yang menyebutkan bahwa, Drew pernah ditolak seseorang karena orang tua Drew adalah seorang petani. Mungkin ini sekalian dapat digunakan untuk mengklarifikasi berita tersebut, apakah hoax atau nyata. Sebab kemarin-kemarin juga lumayan menggemparkan, banyak orang yang tidak percaya."

"Benar, saya memang pernah ditolak karena berasal dari keluarga petani, namun justru hal itu yang memotivasi saya hingga sampai dititik ini, sekarang."

Jawaban Drew membuat kagum banyak orang. Terkadang motivasi datang dari patah hati, seperti Drew.

"Kalau boleh tau siapa perempuan yang berani menolak seorang Drew itu?"

"Dia.. "

TBC..

Bagaimana episode 2 menurut kalian?

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian disini!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status