Share

Bab 8

Ia hanya duduk kurang dari 15 menit sebelum pertunjukkan Elle berakhir. Semakin cepat, semakin baik untuk kesehatan telinga dan hatinya. Di saat orang lain memberikan standing applause, ia hanya menyilangkan kedua tangannya sambil memutar bola mata, malas.

Memangnya apa yang bisa ia lakukan?

Turut bertepuk tangan dengan bangga?

Tentu saja tidak. Ia datang bukan karena kebenciannya pada Elle habis, ia hanya tidak ingin memperburuk hubungan dengan Mamanya.

Ia bahkan sudah berencana untuk tidak mengucapkan selamat pada Elle, demi mempertegas bahwa ia masih tidak menyukainya.

Para penonton yang tadinya duduk rapi menikmati penampilan Elle, kini hulu hilir keluar dari teater. Ketika sudah sepi, ia masih menatap ke arah panggung, dimana Elle tengah berfoto dengan beberapa penggemarnya, sementara kedua orangtuanya tengah terlibat percakapan dengan beberapa orang yang ia duga sebagai pihak manajemen Elle.

Daripada melihat mereka, seperti orang yang tidak memiliki pekerjaan. Lebih baik, ia segera pulang karena telah menuntaskan perintah Mamanya.

Ketika hendak keluar pintu utama, langkahnya berhenti. Ia teringat sesuatu, bahwa Mamanya tidak akan segampang itu percaya. Ia kembali masuk ke lobi dan menunggu di salah satu kursi. Mungkin Mamanya akan percaya jika melihatnya masih berada di lokasi.

Ia memutuskan untuk menunggu Mama dan Papanya keluar sambil membaca katalog yang tersedia di atas meja. Masih belum genap 10 detik, ia mendapati langkah seorang wanita yang berhenti di depannya. Ia alihkan tatapannya dari katalog menuju ke stiletto hitam di depannya. Merasa kenal dengan sepatu itu, sontak ia menghembuskan napas.

"Jadi, tuan putri yang sibuk baru saja datang?" sarkas pemilik stiletto hitam itu.

Mata Grace kembali ke katalog. Mendengar suara yang baru saja menyapanya, semakin menguatkan dugaannya. "Tidak, sejak 25 menit yang lalu."

"Jika sejak 25 menit yang lalu, bukankah seharusnya kamu sudah ada di dalam teater dan memberikan selamat pada Elle?"

"Aku tidak merasa wanita itu pantas mendapatkan selamat dariku." ucapnya seraya menutup katalog dan melemparkannya pelan ke atas meja. Ia berdiri dan menghadap langsung ke arah Mamanya. Hanya Mamanya, tanpa Papanya juga Elle.

"Tidak perlu berkelit. Jelas-jelas Mama baru saja melihat kamu masuk."

"Benar. Tadinya aku ingin segera meninggalkan gedung ini, tapi tiba-tiba aku ingat, Mama tidak mungkin mudah percaya dengan ku. Itulah kenapa aku memutuskan untuk kembali masuk dan duduk disini."

"Kamu pikir, Mama akan percaya?"

Ia tahu betul, kedua mata Mamanya memancarkan ketidakpercayaan. Semua selalu berakhir seperti ini, ia bahkan tidak ingat kapan terakhir Mamanya percaya dengan apa yang telah ia katakan.

"Grace, Mama tahu, kamu seperti apa. Tidak perlu mengelak lagi. Jangan menambah kemarahan Mama dengan kebohongan kamu!"

"..Sampai kapan kamu membenci Elle? Mama menyuruh kamu datang demi Mama, jika kamu tidak mau melakukannya untuk Elle. Ini hanya hal kecil, apa Mama harus memohon-mohon ke kamu?"

"... Elle tidak memiliki siapapun lagi, selain kita. Kenapa kamu sejahat ini ke dia? Memangnya apa yang sudah dia lakukan ke kamu, Grace?"

Tangan Grace mengepal. Perkataan Mamanya sudah menyayat hatinya, sekaligus membuka luka lama yang telah berusaha ia pendam selama ini. Ia benci situasi yang mengingatkan dirinya akan luka yang terus-menerus dirasakannya.

"Bukan Elle, tapi Mama. Aku benci Mama melebihi Elle."

Mata Grace setajam pisau. Sampai-sampai orang akan kesulitan untuk membedakan, apakah mata itu berkaca-kaca karena kesedihan atau kemarahan.

Mata Mamanya bergetar tidak percaya. Matanya bergerak resah seolah mencari kebenaran dibaliknya, namun yang ia lihat hanya kesungguhan. Putrinya bersungguh-sungguh membencinya.

"Berani kamu bicara seperti itu ke Mama?!" bentaknya.

"Kenapa, Mama kaget?"

Bukannya menampakkan wajah marah, justru Grace menunjukkan senyum miringnya, sinis.

"Bukannya Mama sudah tahu itu?" tanyanya balik seraya mempertajam senyum miringnya, "Seharusnya Mama berhenti sejak dulu membela Elle, jika tidak ingin aku membenci Mama."

Plak

Sebuah tamparan keras menghantam pipi kirinya. Wajahnya terdorong hingga menoleh ke samping kanan. Ekor matanya dapat melihat beberapa orang yang memperhatikannya. Rasa malunya tertutupi oleh rasa kecewa. Ia tersadar, hubungannya dengan Mamanya sudah terlampau jauh untuk kembali ke titik awal. Hanya ada kemarahan, kebencian, dan kekecewaan.

TBC..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status