Ia hanya duduk kurang dari 15 menit sebelum pertunjukkan Elle berakhir. Semakin cepat, semakin baik untuk kesehatan telinga dan hatinya. Di saat orang lain memberikan standing applause, ia hanya menyilangkan kedua tangannya sambil memutar bola mata, malas.
Memangnya apa yang bisa ia lakukan?
Turut bertepuk tangan dengan bangga?
Tentu saja tidak. Ia datang bukan karena kebenciannya pada Elle habis, ia hanya tidak ingin memperburuk hubungan dengan Mamanya.
Ia bahkan sudah berencana untuk tidak mengucapkan selamat pada Elle, demi mempertegas bahwa ia masih tidak menyukainya.
Para penonton yang tadinya duduk rapi menikmati penampilan Elle, kini hulu hilir keluar dari teater. Ketika sudah sepi, ia masih menatap ke arah panggung, dimana Elle tengah berfoto dengan beberapa penggemarnya, sementara kedua orangtuanya tengah terlibat percakapan dengan beberapa orang yang ia duga sebagai pihak manajemen Elle.
Daripada melihat mereka, seperti orang yang tidak memiliki pekerjaan. Lebih baik, ia segera pulang karena telah menuntaskan perintah Mamanya.
Ketika hendak keluar pintu utama, langkahnya berhenti. Ia teringat sesuatu, bahwa Mamanya tidak akan segampang itu percaya. Ia kembali masuk ke lobi dan menunggu di salah satu kursi. Mungkin Mamanya akan percaya jika melihatnya masih berada di lokasi.
Ia memutuskan untuk menunggu Mama dan Papanya keluar sambil membaca katalog yang tersedia di atas meja. Masih belum genap 10 detik, ia mendapati langkah seorang wanita yang berhenti di depannya. Ia alihkan tatapannya dari katalog menuju ke stiletto hitam di depannya. Merasa kenal dengan sepatu itu, sontak ia menghembuskan napas.
"Jadi, tuan putri yang sibuk baru saja datang?" sarkas pemilik stiletto hitam itu.
Mata Grace kembali ke katalog. Mendengar suara yang baru saja menyapanya, semakin menguatkan dugaannya. "Tidak, sejak 25 menit yang lalu."
"Jika sejak 25 menit yang lalu, bukankah seharusnya kamu sudah ada di dalam teater dan memberikan selamat pada Elle?"
"Aku tidak merasa wanita itu pantas mendapatkan selamat dariku." ucapnya seraya menutup katalog dan melemparkannya pelan ke atas meja. Ia berdiri dan menghadap langsung ke arah Mamanya. Hanya Mamanya, tanpa Papanya juga Elle.
"Tidak perlu berkelit. Jelas-jelas Mama baru saja melihat kamu masuk."
"Benar. Tadinya aku ingin segera meninggalkan gedung ini, tapi tiba-tiba aku ingat, Mama tidak mungkin mudah percaya dengan ku. Itulah kenapa aku memutuskan untuk kembali masuk dan duduk disini."
"Kamu pikir, Mama akan percaya?"
Ia tahu betul, kedua mata Mamanya memancarkan ketidakpercayaan. Semua selalu berakhir seperti ini, ia bahkan tidak ingat kapan terakhir Mamanya percaya dengan apa yang telah ia katakan.
"Grace, Mama tahu, kamu seperti apa. Tidak perlu mengelak lagi. Jangan menambah kemarahan Mama dengan kebohongan kamu!"
"..Sampai kapan kamu membenci Elle? Mama menyuruh kamu datang demi Mama, jika kamu tidak mau melakukannya untuk Elle. Ini hanya hal kecil, apa Mama harus memohon-mohon ke kamu?"
"... Elle tidak memiliki siapapun lagi, selain kita. Kenapa kamu sejahat ini ke dia? Memangnya apa yang sudah dia lakukan ke kamu, Grace?"
Tangan Grace mengepal. Perkataan Mamanya sudah menyayat hatinya, sekaligus membuka luka lama yang telah berusaha ia pendam selama ini. Ia benci situasi yang mengingatkan dirinya akan luka yang terus-menerus dirasakannya.
"Bukan Elle, tapi Mama. Aku benci Mama melebihi Elle."
Mata Grace setajam pisau. Sampai-sampai orang akan kesulitan untuk membedakan, apakah mata itu berkaca-kaca karena kesedihan atau kemarahan.
Mata Mamanya bergetar tidak percaya. Matanya bergerak resah seolah mencari kebenaran dibaliknya, namun yang ia lihat hanya kesungguhan. Putrinya bersungguh-sungguh membencinya.
"Berani kamu bicara seperti itu ke Mama?!" bentaknya.
"Kenapa, Mama kaget?"
Bukannya menampakkan wajah marah, justru Grace menunjukkan senyum miringnya, sinis.
"Bukannya Mama sudah tahu itu?" tanyanya balik seraya mempertajam senyum miringnya, "Seharusnya Mama berhenti sejak dulu membela Elle, jika tidak ingin aku membenci Mama."
Plak
Sebuah tamparan keras menghantam pipi kirinya. Wajahnya terdorong hingga menoleh ke samping kanan. Ekor matanya dapat melihat beberapa orang yang memperhatikannya. Rasa malunya tertutupi oleh rasa kecewa. Ia tersadar, hubungannya dengan Mamanya sudah terlampau jauh untuk kembali ke titik awal. Hanya ada kemarahan, kebencian, dan kekecewaan.
TBC..
Hari libur lebih suka Drew habiskan untuk melakukan gym ataupun bersantai di kamarnya, namun berbeda dengan hari ini. Ben dan Idris memaksanya untuk ikut mengunjungi pameran lukisan. Bukan karena mereka benar-benar menyukai seni, mereka hanya sedang mencari tahu sedikit hal tentang seni untuk dijadikan bahan pembicaraan dengan wanita yang tengah mereka dekati. Kata mereka, ini cara tercepat. Membaca buku lebih rumit dan menyita waktu untuk sekedar memahami."Kami hanya memerlukan informasi secara garis besar, dan satu atau dua nama pelukis.""Jika wanita yang tengah kalian dekati tahu bahwa kalian tidak sungguh-sungguh menyukai seni, mereka akan segera menjauhi mu.""Suka bisa berjalan seiring waktu. Ketika kami bergaul dengan seorang yang mencintai seni, tidak akan sulit untuk kami menyukainya nanti." ujar Idris."Mereka adalah alasan untuk kami menyukai seni, apa itu saja tidak cukup?" Ben tidak mau mengambil pusing.Percuma. Sebanyak apapun ucap
Setelah pertengkaran dengan Mamanya, ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Egonya sangat tinggi. Emosinya tidak bisa hilang begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, jika ia bertemu dengan Mamanya pasti akan terjadi pertengkaran yang lebih besar, dan ia tidak mau itu.Salah satu alasan ingin tinggal sendiri, adalah untuk menghindari hal-hal seperti ini. Ia selalu berpikir, daripada tinggal bersama namun terus bertengkar, lebih baik tinggal sendiri namun hubungan mereka di garis aman sebagai Ibu dan anak.Ia menghentikan mobilnya di halaman rumah keduanya, rumah keluarga Gabby. Ia pandangi cukup lama rumah itu. Masih saja rumah itu yang membuatnya nyaman. Setiap berkunjung ke Indonesia, ia selalu memilih tinggal di rumah itu kala bertengkar dengan Mamanya.Jujur, ia merasa sepi dan sendirian. Papanya terlalu sibuk dengan pekerjaan, Mamanya selalu mendahulukan Elle daripada dirinya. Ia tidak memiliki banyak teman, hanya Gabby yang selalu ada untuknya disaat sen
"Kau bahkan tidak layak menjadi temanku. Anak petani seperti mu, bermimpi menjadi kekasih ku?"Ucapan pedas Grace masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rasanya seperti de javu. Katanya mungkin berbeda, namun memiliki inti sama dengan ucapan Grace bertahun-tahun lalu. Saat ia mengungkapkan perasaannya yang tulus, Grace malah menghinanya. Bukan hanya dirinya, tapi juga pekerjaan orang tuanya yang saat itu sebagai petani.Di ruang ganti pemain, Drew masuk dengan wajah menggelap, menunjukkan kemarahan. Rambut serta tubuhnya basah oleh keringat. Dengan gerakan cepat, ia melepas jersey biru putih bernomor 13 itu dengan cepat."Arghhh." teriaknya frustasi."Apa yang salah dengan mu, Drew?" tanya Ben."Permainanmu sangat buruk tadi.""Bersyukurlah ini masih latihan, kalau tidak, pelatih pasti akan sangat marah padamu."Drew m
Setelah nyaris setengah jam menikmati guyuran air, Drew bersiap untuk kembali ke mes. Kebetulan ia membawa kendaraan pribadi, sehingga tidak perlu menunggu teman-temannya yang masih membersihkan diri."Kau ingin pulang duluan?" tanya Ben yang hendak mandi."Hm." gumam Drew.Ia tidak bisa berlama-lama, bayangan latihannya yang kacau membuat suasana hatinya tidak nyaman. Sebagai kapten, ia harus memberikan contoh yang baik bagi anggota lain. Bersikap profesional sebuah kewajiban yang harusnya ia pegang teguh. Hari ini, ia berada di lapangan, namun pikirannya melayang jauh pada bayangan Grace.Hatinya menyimpan gumpalan kemarahan, tidak hanya akan penolakan yang ia terima, melainkan juga rasa tidak berguna karena penghinaan yang Grace lakukan. Ia pria, sangat pantang harga dirinya disentil.Jarak antara lapangan latihan ke mess tidak terlalu jauh, namun karena ada
Drew memperhatikan foto keluarga Grace yang berada di atas nakas. Dari semua foto, tidak ada satupun foto Grace yang yang tersenyum cerah, ceria. Wajahnya selalu terlihat judes dan angkuh. Ia rasa itu memang karakter asli Grace. Pemarah, galak, dan angkuh.Sekarang dirinya mulai heran, bagaimana bisa ia dulu menyukai perempuan seperti itu. Ia tidak habis pikir. Batinnya merutuki kebodohannya selama ini. Yang membuatnya terlihat lebih bodoh lagi adalah, dirinya masih saja sakit hati dengan ucapan Grace. Seharusnya ia bisa lebih maklum dengan karakter Grace.Drew membuang muka dan memilih kembali duduk di sofa ruang tamu. Rumah yang keluarga Grace tinggali saat ini, jauh lebih bagus dari rumah yang dulu mereka tinggali di desa. Padahal rumah keluarga Grace di desa dulu sudah sangat bagus menurutnya. Setahunya, Ayah Grace seorang sutradara, dan Ibu Grace seorang penulis. Panta
Sudah 2 hari Grace menginap di rumah Gabby, rencananya hari ini ia akan kembali ke rumah. Alasan sebenarnya karena dia merindukan peralatan make up-nya. Selama di rumah Gabby, ia harus berpuasa tidak merias wajahnya. Salahnya karena pergi dari rumah dadakan. Ia tidak membawa barang sedikitpun. Lain kali, jika ia ingin kabur, ia harus memastikan membawa perlengkapannya. Terutama baju bermerk dan peralatan make up.Matahari sudah condong ke arah barat. Jalanan masih cukup lenggang, biasanya mulai pukul 5 jalanan ramai dengan kendaraan orang-orang yang pulang kerja. Ia mencoba untuk terhindar dari kemacetan.Memasuki kawasan perumahan, Grace mengurangi kecepatan mobilnya. Matanya sesekali bergerak ke kanan kiri sekedar mengabsen rumah yang ia lewati. Begitu sampai di depan rumahnya, ia memilih untuk memperkirakan mobilnya di bahu jalan, seperti mobil lain.Ia berjalan dengan percaya diri, seolah tidak ing
Grace menjalani aktivitasnya seperti biasa. Jadwalnya ia padatkan, tidak membiarkan sedikitpun celah untuk bersantai alih-alih melupakan kejadian pertengkarannya yang disaksikan oleh Drew tempo hari. Jujur ia tidak menyangka mengapa Drew bisa berada di rumahnya. Harusnya ia lebih curiga saat itu, mengingat ia menyadari pintu rumahnya yang tidak terkunci. Jika saat itu ia menyadari adanya tamu, ia lebih bisa menyelamatkan citranya. Sangat memuakkan. "Grace, untuk selanjutnya jadwal mu kosong, kita bisa pulang dan istirahat.""Aku tidak mau.""Sudah dia hari ini kau kehilangan jam istirahat, besok kita harus keluar kota untuk pemotretan.""Ini masih jam 8, By.""Dan besok, kita harus berangkat pukul 4 pagi. Kau harus beristirahat cukup."Membayangkan kata istirahat, Grace takut terbayang-bayang kejadian tempo hari. Paling tidak ia membutuhkan kondisi yang sangat lelah dan mengantuk, jadi ketika ia merebahkan tubuhnya, ia bisa sege
Mama Grace tidak sengaja melewati kamar putrinya. Langkahnya berhenti saat mendapati pintu kamar itu sedikit terbuka. Ia melangkah masuk dan melihat pintu lemarinya juga setengah terbuka. Bajunya berkurang setengah dari jumlah biasanya. Tas, sepatu, bahkan make up yang biasanya tertata rapi di atas meja rias juga sudah menghilang. "Kamu tahu, Grace pulang mengambil barang-barangnya?"Elle yang tadinya selesai makan malam mendadak diam. Dia bingung hendak menjawab pertanyaan tante yang telah ia anggap sebagai Mamanya itu dengan jawaban seperti apa. Dia merasa serba salah. "Jadi kamu tahu?"Kediaman Elle hanya menyiratkan kebenaran dengan begitu jelas. "Anak itu, semakin lama semakin seenaknya." geram Mama Grace. "Ma.. ""Kenapa? Kamu mau coba bela dia lagi?""Bagaimanapun juga, Grace hanya.. ""Merajuk? Dia sudah besar, sudah tidak sepantasnya dia bersikap kekanak-kanakan. Dia datang dan pergi sesuka