Masa liburan berlangsung. Meski begitu, tak banyak perubahan dalam rutinitasku. Tak ada tempat wisata, tak ada juga kawan bercengkrama. Hari-hari kuhabiskan sepenuhnya di rumah. Pagi sampai sore kubantu ibu dan kakak di warung. Malamnya, kunikmati waktu luangku sejenak menonton acara televisi lalu bersiap untuk tidur.
Tinggal beberapa hari lagi, batinku, menghitung hari dalam kalender yang sudah kutandai. Kubaringkan badan di atas kasur lalu menutupinya dengan selimut. Kupejamkan mata sambil mengucap doa dan harapan, hingga akhirnya aku tertidur.
***
“Halo, Kak! Akhirnya diangkat juga. Apa kabar?”
“Mmm ... Ayu,” jawab kak Bayu terdengar lesu.
“Kakak kenapa? Lagi sakit?”
“Enggak. Kamu nggak usah khawatir. Ngomong-ngomong, kamu udah kelas berapa? Kelas dua SMA, ya?”
“Iya. Aku udah kelas du–“
“Belajar yang giat ya! Sebentar lagi, kamu udah ujian. Aku juga ... udah mau skripsi. Jadi lebih baik, kita fokus sama pendidikan aja ya! Kamu nggak perlu hubungi aku lagi sekarang. Begitu pun sebaliknya.”
Sesaat aku terdiam. “Mmm ... Menurut Kakak, itu yang terbaik?” tanyaku dengan suara gemetar.
“Ya. Lebih baik seperti itu.”
***
“Enggak!”
Kuterbangun dari tidurku. Kugerak-gerakkan tangan dan kakiku, melemaskan semua otot-otot yang terasa kaku. Kesadaranku kembali seutuhnya. Namun suasana hatiku masih saja kelabu.
Kugaruk kulit kepalaku, terpikirkan akan mimpiku. “Keseringan dipikirin, sih! Jadi kebawa mimpi, kan!” dumelku di pagi hari.
Ponselku berbunyi. Ada pesan baru yang masuk.
“Yuuu! Aku kangen! Aku baru sampai di kos, lho! Besok pagi joging bareng yuk! Aku tunggu di taman jam enam, oke? Pokoknya kamu harus dateng!”
“Udah balik? Rajin banget! Masih inget aku rupanya,” balasku pada Dini.
“Iya, maaf. Kemarin-kemarin aku fokus liburan. Soalnya waktu liburanku bakal kepotong sama kegiatan organisasi. Makanya itu aku udah balik sekarang.”
“Iya, Miss Sibuk! Aku paham. Saking sibuknya, sampai susah banget dihubunginnya.”
“Nah! Sebagai gantinya, kita pergi joging besok. Ingat!”
“Iyain aja deh.”
“Horeee! Sampai ketemu besok!”
Kak Sinta membuka pintu kamarku tanpa aba-aba. Dilihatnya rupaku yang masih kusut, tapi sudah memegang ponsel dengan kedua tangan.
“Baru bangun? Lagi chat-an sama siapa? Sama si itu, ya? Siapa itu namanya?” kata kakak, mengingat-ingat nama seseorang.
“Huaaaa.” Kuangkat tanganku tinggi-tinggi, sebelum akhirnya pergi ke kamar mandi.
“Diajak ngobrol malah pergi,” gerutu kak Sinta. Masih diingat-ingatnya nama seseorang yang ia maksud. “Siapa ya? Aaah, lupa. Faktor usia kali, ya?”
Warung ibu buka seperti biasa meski di masa libur panjang sekalipun. Hanya saja, porsi yang disiapkan tak sebanyak hari aktif perkuliahan. Lumayan, aku jadi bisa lebih bersantai di saat seperti ini. Begitu pula dengan ibu dan kakakku.
“Ibu tinggal sebentar, ya!”
“Iya, Bu!” jawabku dan kakak kompak.
Seorang pelanggan memasuki warung sambil menyeret koper besarnya. Wajahnya murung, tak ada tanda-tanda keceriaan seperti sebelumnya. Tanpa bicara, ia duduk di salah satu bangku. Melihat kehadiran seseorang yang tak asing, kak Sinta malah berniat meninggalkanku sendiri di warung.
“Yu! Kakak pulang sekarang ya! Udah jamnya Sarah bangun soalnya. Kakak tinggal dulu, dadah!”
“Katanya tunggu ibu balik dulu,” protesku.
“Maaf, ya! Semangat!” katanya, berlalu meninggalkan tempat.
Aji, pelanggan yang baru datang itu masih terdiam di tempat duduknya. Matanya terus tertuju pada layar ponsel yang digenggam. Alisnya berkerut, seakan memikirkan hal serius. Kuhampiri dia sambil membawa menu dan catatan seperti biasa.
“Mau pesan apa?” tanyaku.
“Nggak usah,” jawabnya tanpa menoleh, sibuk mengutak-atik ponsel di tangan.
Lah! Kalau nggak mau pesan, mau apa ke sini? Kutinggalkan Aji yang tak ingin memesan dan kembali ke meja pelayanan.
Sepi. Hanya ada aku dan Aji di dalam warung. Wajah Aji yang murung membuatku menjadi canggung. Suasana terasa lebih suram dibanding sebelumnya. Angin yang berhembus pun terasa lebih dingin.
“Nih, minum,” kataku, menyodorkan air putih gratis di dekatnya.
Aji tak berkutik. Raut wajahnya tak kunjung berubah. Dia mengabaikanku. Kebungkamannya itu cukup membuatku resah. Mau sampai kapan dia seperti ini?
Kuputuskan untuk segera mengatasinya sebelum ibu datang. Kududuk di depan Aji yang masih merengut. Kutanyai dia dengan serius, apa yang sedang terjadi pada dirinya. “Ada apa?”
Akhirnya Aji menatapku. Tapi dia masih enggan bersuara. Mungkin dia bingung, antara mau bercerita ataupun tidak kepadaku.
“Oke! Aku nggak akan ganggu,” kataku menyerah. Kukeluarkan ponsel dalam saku, mengecek waktu saat itu. Hendak berdiri, Aji memanggil namaku.
“Ayu, aku mau minta tolong,” ucap Aji dengan wajah memucat.
“Minta tolong apa?”
“Sini,” perintah Aji, menyuruhku untuk mendekat. Dia membisikkan sesuatu di telingaku. Tak ada yang aneh dalam permintaannya itu. Tapi entah apa penyebabnya hingga Aji perlu berbisik segala demi meminjam ponselku untuk menelepon ponselnya.
Kusodorkan ponselku di dekat Aji. Kuizinkan dia untuk menggunakannya sebentar.
“Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi atau sedang dimatikan saat ini. Silakan coba lagi nanti.”
“Kok nggak bisa, sih? Pusing!” keluh Aji, memegangi kepalanya sendiri. Beberapa saat kemudian ia memberikan ponselnya. Ia pun meminta tolong padaku, agar aku memeriksa ponselnya yang tak bisa digunakan berkomunikasi sedari tadi.
Aku terkekeh setelah mengetahui penyebabnya. Penyebab ponsel Aji tak bisa dihubungi, juga tak bisa digunakan untuk menghubungi.
“Kenapa?” tanya Aji, penasaran dengan apa yang kutemukan.
“Nih, lihat!” Kugeser ponsel di tanganku, menghadapkan layarnya pada Aji. Kutunjuk sebuah simbol yang masih aktif. Simbol pesawat yang lupa dinonaktifkan pemiliknya. Akibatnya, ponsel Aji berada dalam mode pesawat sejak tadi.
“Aaa, gara-gara ini rupanya.”
Aji menyadari kelalaiannya sendiri. Segera dinonaktifkannya mode itu, agar ponsel tersebut berfungsi kembali. Benar saja, ponsel Aji tak henti-hentinya berbunyi. Semua pesan tertunda akhirnya diterima. Senyum Aji kembali merekah. Ia pun sibuk memainkan ponselnya, membaca dan membalas pesan-pesan yang masuk.
“Yu, kamu sendirian? Mana Sinta?” tanya ibu yang baru datang.
“Udah pulang,” jawabku tenang. Kuambil ponselku di dekat Aji, saat ia sibuk dengan ponselnya sendiri.
“Udah pulang?! Gimana Sinta itu! Disuruh tunggu sampai ibu balik, malah pulang duluan,” omel ibu sambil menata barang bawaannya dalam lemari es. “Yu! Temanmu nggak ditawarin makan?” teriak ibu dari kejauhan.
“Udah. Tapi dia nggak mau.”
“Kenapa?” tanya ibu kebingungan.
Aji gelagapan mendengar ucapan ibu. Ia pun buru-buru memanggilku. “Yu! Aku mau pesan sekarang,” ucapnya lantang.
“Tadi katanya nggak usah,” sahutku, mengulang ucapan Aji.
“Hehe, tadi belum laper.”
“Ooo, belum laper,” kataku dengan nada menyindir.
Makanan siap disajikan. Kuantar makanan tersebut menuju meja pelanggan.
“Makasih, ya! HP-ku udah bisa,” ucap Aji, menggoyang-goyangkan ponselnya. “Oh iya, aku ada satu permintaan lagi.”
“Apa?” jawabku malas-malasan.
“Duduk dulu, sebentar kok," bujuknya.
“Apa lagi?”
“Mana HP-mu?” pintanya.
“Buat apa? Katanya HP-nya udah bisa.”
“Nggak diapa-apain kok, cuma mau ngecek aja.”
Kukeluarkan ponselku dari dalam saku. Kutunjukkan rupa ponselku tersebut di depan Aji. Panggilan telepon dari nomor tak dikenal tiba-tiba masuk. Orang di hadapanku itu pun menyuruhku untuk mengangkatnya. “Angkat aja, Yu! Siapa tahu penting,” katanya.
“Halo?” ucapku.
“Halo, Ayu! Simpan nomorku, ya! Kalau kap–“ Kumatikan teleponku, mengetahui si penelepon adalah Aji.
“Silakan dimakan! Nanti keburu dingin,” ucapku sebelum berdiri.
“Nggak masalah. Aku juga suka cewek dingin, kok. Eh, makanan dingin maksudnya.”
Tak kuhiraukan omongan ngawur Aji. Kutinggalkan dia agar tak menggangguku lagi.
“Yu, warungmu lagi rame?”
“Nggak terlalu, Din! Masih masa liburan soalnya. Banyak yang belum balik juga.”
“Ooo, gitu.”
“Kenapa? Mau ke sini?”
“Hmm, lagi mager nih. Capek. Habis kumpul sama anak-anak soalnya.”
“Baru balik, udah sibuk aja.”
“Iya nih, butuh udara segar. Ingat, ya! Besok jam 6 pagi. Jangan sampai telat,” pesan Dini, mengingatkanku akan rencana esok hari.
“Iya, iya.”
“Awas aja kalau nggak dateng.”
“Lihat aja besok, siapa yang datang duluan.”
Saking asyiknya bertukar pesan dengan Dini, tanpa kusadari Aji sedang berdiri di dekatku. Badannya condong, mengintip isi percakapanku dalam layar ponsel.
“Lagi chat-an sama siapa?” tanyanya.
“Mau tahu aja.”
Kulangkahkan kaki menjauh. Tapi Aji malah mengikutiku.
“Apa lagi?” tanyaku, tak ingin diganggu.
“Aku mau bayar. Nggak boleh?” katanya dengan wajah datar, “jangan-jangan, kamu nggak rela ya kalau aku pergi sekarang? Oke, ak–“
“Lima belas ribu.” Kuulurkan tanganku, meminta uang pembayaran makanan darinya. “Mana?”
Aji mengeluarkan dompetnya. Dikeluarkannya sejumlah uang dari sana lalu diserahkannya uang tersebut padaku. Sebelum Aji bertingkah iseng, cepat-cepat kuambil uang itu dari tangannya.
“Makasih,” kataku dengan senyum singkat.
“Mbak!” panggil pelanggan lain sambil mengangkat telapak tangan. Kuhampiri dia yang hendak memesan makanan. Kulanjutkan tugasku, mencatat dan menyiapkan makanan untuk para pelanggan.
Beberapa saat kemudian...
“Ayuuu!” sapa kakakku lantang, bersikap antusias dari kejauhan.
Akibat suara kak Sinta, beberapa pelanggan sampai menoleh karenanya. Aku yang disapa, malah aku yang merasa malu sebab tingkah kakakku itu.
“Gimana, Yu! Lancar?” tanya kakak, mengisyaratkan sesuatu.
“Apanya?” tanyaku polos.
“Itu, lho! Sama temen cowokmu tadi,” bisiknya.
“Ooo ... jadi Kakak sengaja ninggalin aku, supaya aku sama dia cuma berdua di sini? Gitu?”
“Kan biar lebih akrab. Ya, nggak?” Kak Sinta menaikkan alisnya.
“Sarah mana?” tanyaku mengalihkan topik.
“Sama ayahnya. Ini kan, weekend. Lupa kamu?”
“Iya juga sih.”
“Kamu harus cepet-cepet punya pacar deh. Biar ingat hari sama tanggal,” omel kak Sinta asal.
Aku terbahak mendengarnya. “Apa hubungannya?” timpalku.
“Ada tau! Kalau punya pacar itu, tiap hari terasa berwarna. Ada tanggal dan hari spesial yang selalu ditunggu-tunggu. Apalagi hari Sabtu. Kayak hari ini! Kamu mana tahu?”
“Ooo,” kataku manggut-manggut, berpura-pura mengerti akan teori yang kakak sampaikan.
“Sinta!” panggil ibu.
“Iya, Bu,” jawab kak Sinta. Ia segera menghampiri ibu. Mereka berdua pun berbincang serius. Kak Sinta dinasihati, sebab tak menuruti perintah ibu yang menyuruhnya untuk menemaniku di warung sampai kepulangannya tiba. Sebab itu, aku harus berada satu ruangan dengan Aji, saat ibu dan kakak tak ada.
Nomor tak dikenal kembali menghubungi nomorku. Kuangkat panggilan telepon tersebut, penasaran akan identitas si penelepon.
“Halo?”
Tak ada jawaban. Panggilan telepon itu diputus setelah kujawab.
*************
“Halo?” Tak ada jawaban. Panggilan telepon itu diputus setelah kujawab. Ini kali kedua nomor tersebut mematikan teleponnya setelah mendengar suaraku. Kecurigaan mulai muncul di dalam otakku. Faktor kesengajaan bisa jadi penyebab di balik semua itu. “Siapa sih? Nggak jelas banget.” *** “Yu!” Kepalaku bergerak mencari sumber suara. Ternyata bukan namaku yang dipanggil olehnya. Orang itu tengah menyapa seseorang yang tak sengaja ditemuinya di salah satu lapak penjual dekat sekolahku. Seketika itu mataku membulat, mengenali orang yang disapa barusan. Kak Bayu?! Dia ... Tapi .... Tak habis pikir aku dibuatnya, saat mengetahui kak Bayu berada di tempat itu. Padahal baru semalam, ia melarangku untuk menghubunginya lagi dan sepakat untuk fokus pada pendidikan masing-masing. Tapi sekarang, ia masih sempat-sempatnya berkeliaran di sini. Masih punya waktu luang rupanya. Aku kira, udah nggak sempet p
“Ayu ...,“ panggilnya lembut. Ditatapnya mataku lekat-lekat. Didekatkannya wajahnya perlahan.Tunggu! Dia mau apa? “Aku mau mengenalmu lebih dekat,” bisiknya di telingaku.Mataku terbelalak mendengarnya. Sekujur badanku kaku karena itu. Apa?! Orang di dekatku mendengus sambil tersenyum melihat responku. Dia bahkan tak sungkan lagi menggodaku. “Gemes,” ungkapnya kegirangan sambil mencubit sebelah pipiku. Tak ingin dipermainkan, maka kuperingatkan ia dengan tatapan tajam dan ekspresi geram. Aji pun gentar. Dijauhkannya segera tangannya dari pipiku, berdehem lalu mengalihkan pandangan ke sebarang arah.Kurapikan tas berisi oleh-oleh pemberian Dini. “Aku harus pulang.”“Aaa!” Aji merangkul lenganku erat sambil berteriak. Kepalanya ditumpukannya di atas lenganku seenaknya sendiri.“Ji, lepas,” perintahku, “lepas selagi kuberi tahu baik-baik,&r
Kududuk di pinggiran tempat tidur sambil merentangkan kedua tangan ke udara. Tak ingin bermalas-malasan, segera kurapikan seprai yang membungkus kasur, bantal, guling, juga selimut. “Nggak perlu ke pasar, Yu! Bahan-bahan sudah diantar penjualnya semalam,” ujar ibu sesaat setelah kubuka pintu kamarku. “Sip!” Kutunjukkan senyum terbaikku padanya. “Habis ini aku ke taman ya, Bu!” “Iya, hati-hati!” Aku siap untuk pergi. Kugunakan pakaian nyaman nan hangat, mempersiapkan diri untuk menghadapi cuaca di luar ruangan. Pemandangan pagi buta menyambutku saat kubuka pintu rumahku. Matahari belum sepenuhnya terbit, udara yang berhembus pun dingin rasanya. Letak rumah yang strategis membuatku cepat sampai ke tempat tujuan. Hatiku senang, langkah kakiku makin ringan. Suasana di taman masih sepi, belum ada orang yang berlalu lalang di sana. Aku makin kegirangan sebab bisa berkeliling dengan nyaman. Kutarik napas dalam-dalam sebelum memulai pemanasan.
“Aku ganti baju dulu Kak, gerah.”Kakak mengangguk, mengiyakan. Dilanjutkannya obrolannya dengan Aji tanpa merasa keberatan. “Jadi kamu ikut Ayu olahraga tadi, Ji?”“Ya, begitulah Kak,” jawab Aji tanpa beban.“Olahraga? Nggak salah?” timpalku, tak terima dengan pengakuan Aji.“Iya, lain kali aku pasti ikut olahraga juga kok. Ajak-ajak ya, kalau mau pergi. Oke?” balasnya sambil menjentikkan jari. Ditunjukkannya sikap sok akrabnya lagi.Tak kugubris omongan Aji. Aku hanya mendengus, berlalu menuju kamar seperti ucapanku tadi. Sampai kamar, kupilih baju ganti yang tertata dalam lemari. Kubuka tempat pakaian yang terbuat dari kayu dengan hati-hati. Kugerakkan jari tanganku dari atas sampai bawah, menelusuri beberapa potong pakaian yang kumiliki. Setelah berpikir sejenak, pilihanku jatuh pada kaus dan celana panjang berwarna navy.Lelah dan gerah setelah berolahraga, membuatku i
Kutepuk kedua pipiku sendiri, berharap yang kulihat tadi bukanlah mimpi. "Aaa! Sakit!" Permukaan pipiku terasa panas akibat ulahku sendiri.“Silakan, Mbak!” Petugas kasir mempersilakanku membawa troli yang kubawa untuk mendekat.Kudorong troli berisi belanjaan dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya memegangi pipi sambil menahan kesakitan. Sang petugas mendekatkan alat yang digenggam pada satu per satu barang dalam troli yang kuserahkan. Dalam sekejap total harga muncul dalam layar. Waktunya aku untuk membayar.Kulangkahkan kaki sedikit berlari keluar toko dengan menenteng kantong belanjaan. Kutolehkan kepala ke kanan dan kiri, celingukan mencari seseorang. Nihil. Tak kutemukan sisa-sisa jejaknya. Rupa, aroma, dan bayangannya pun sudah tak ada di sana.Kugelengkan kepala, berusaha mengendalikan pikiran agar tak terhanyut dalam suasana. Kuteruskan langkahku menuju tempat kendaraanku berada. Aku pulang dengan perasaan hampa.&ldqu
Aku diseret jauh menuju bibir pantai. Pasir putih masuk ke celah-celah jari kaki sewaktu aku berlari terhuyung-huyung dengan sandalku. Tepat di hadapan lukisan alam aku berdiri, memandangi air laut yang berkilauan karena efek sinar matahari. Bisa kulihat dengan jelas, gerakan ombak yang berlarian ke sana kemari. Ombak itu pun mendekat, membasuh kakiku dengan lembut. Kugulung celanaku sedikit, tak ingin basah karena itu.“Nih, pakai,” kata Aji, menyerahkan sebuah pelampung padaku. Akhirnya ia datang setelah meninggalkanku sebentar untuk mengobrol dengan beberapa orang di dekat pepohonan. Alis dan dahiku berkerut, melihat Aji sudah memakai pelampung yang sama dengan yang ia berikan. Timbullah sebuah pertanyaan, aktivitas apa yang telah ia rencanakan.“Buat apa ini?” tanyaku dengan nada kesal.“Ada deh,” katanya tak ingin berterus terang.“Aku nggak ikut.” Kukembalikan pelampung itu pada Aji.“Ih,
"Aduh!” rintihku lirih, memegangi kepala lalu menggosoknya lembut untuk meredakan rasa sakit yang tercipta akibat terbentur. Tak lama kemudian kudongakkan kepala, melihat rupa orang yang tak sengaja kutabrak sambil mengernyit.“Nyari siapa?” tanya kak Bayu tepat di depan wajah, menatapku dengan mata terbuka lebar. “Nggak,” jawabku geleng-geleng kepala. Kukontrol ekspresiku, menyembunyikan kegugupan dalam wajah. “Nggak nyariin siapa-siapa.”“Oh ya?” katanya sambil mengelus dagu. “Kalau gitu, ikut aku bentar.” Digandengnya tanganku, membawaku menuju suatu tempat. Langkahnya terhenti di depan salah satu pedagang kaki lima yang sedang menjajakan dagangan di dekat gedung sekolah. “Pilih,” ujarnya. “Hah?” sahutku tak mengerti akan maksudnya. “Pilih aja,” pintanya sekali lagi, menyentuh barisan kuncir ra
Seperti biasa, aku sedang standby di warung ibu, siap melayani pelanggan yang datang. Sesekali kuseka meja dan peralatan makan, tak membiarkan kotoran dan debu tertinggal.“Ayuuu!” Kak Sinta datang dengan keceriaan yang selalu ditunjukkannya. Ia pun bergabung bersamaku, ikut membersihkan meja pelanggan sambil berbincang penuh canda untuk menghilangkan kebosanan.Tak lama, orang-orang mulai berdatangan. Dengan sigap kukembali ke meja pelayanan, tempat pelanggan memesan dan membayar makanan dan minuman. Saat bekerja, tak terasa waktu cepat berlalu. Matahari makin terik, keadaan dalam warung pun makin lengang.“Istirahat dulu, Yu! Nanti dilanjut lagi,” intruksi ibu padaku.Aku duduk di atas bangku panjang dekat kipas angin. Untuk sejenak kubiarkan tubuhku rehat, menikmati waktu luang dengan duduk bersantai ditemani hembusan angin sambil memandangi pemandangan jalan.“Taraaa! Nih, kakak bawain minuman segar!&rdquo