Malam itu, Mas Danang tidur dengan memeluk tubuhku erat sekali. Aku hampir tidak bisa bernapas bila tidak kupaksa dirinya agak sedikit melonggarkan tangan.
Di tengah malam, aku terbangun. Kembali menatap wajahnya yang pulas.
"Apa yang harus aku lakukan, Mas? Apa yang harus aku putuskan? Aku tidak mau berbagi sekalipun itu hanya formalitas menurutmu. Aku tidak yakin," lirihku.
Hidup memang selalu penuh kejutan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi esok hari. Sebelum kematian Adrian, aku adalah wanita yang sangat bahagia. Tidak pernah kurang kasih sayang apalagi uang. Mas Danang memanjakanku dengan berbagai fasilitas yang cukup. Meskipun dia bukan seorang milyarder tapi, penghasilannya lebih dari cukup untuk menafkahi kami bertiga.
Orang tuanya cukup berada sehingga, tidak pernah merepotkan kami perihal keuangan. Memang, perlakuan mereka tidaklah sama antara aku dan Firna. Mungkin karena aku adalah anak yatim-piatu. Berbeda dengan Firna yang memilki keluarga yang lengkap. Namun, itu tidak menjadi masalah bagiku. Selama Mas Danang selalu ada buat kami, aku cukup bahagia.
Apakah iya, ini ujian dalam hidup yang harus aku lalui bersama?
Aku bangun dari tempat tidur karena tidak bisa memejamkan mata. Kulangkahkan kaki menuju kamar Nadine dan Raline.
Mereka terlihat pulas dalam balutan selimut tebal. Kuusap kening Raline. Bungsu lima tahun yang sangat manja pada ayahnya.
Membayangkan bila perceraian itu terjadi, pastilah mereka, sosok yang merasa sangat terluka.
Aku berbaring di tengah tubuh keduanya. Kerantangkan kedua tangan agar dapat memeluk mereka secara bersamaan. Namun akhirnya, aku memilih memeluk Nadine. Putriku yang berumur sembilan tahun. Mengusap kepalanya lembut dan terisak hingga tak sadar, aku terlelap.
Sebuah usapan lembut di pipi membuatku mengerjap. Sepasang mata indah berada di hadapanku. Tubuhku berat karena menahan Mas Danang.
"Mas, minggirlah!" bisikku di telinganya. Aku takut kalau kedua putriku melihat kami.
"Kenapa pindah?" Mas Danang acuh, malah balik bertanya.
"Mas minggir!" bentakku lirih.
"Janji dulu, balik ke kamar, baru aku minggir,"
"Ok!" jawabku cepat.
Dengan cepat pula, Mas Danang beranjak. Aku mengekor dari belakang.
"Dek, kamu mau kan, bantu aku?" tanyanya mengharap. Aku menarik napas kasar. Diam mengatur bahasa yang akan aku sampaikan.
"Baiklah, Mas! Tapi dengan beberapa syarat?" Mas Danang mengangguk.
"Apapun itu, yang penting kamu setuju aku menikahi Firna. Karena ini hanya untuk sementara saja. Selama ini, aku selalu setia terhadapmu. Tidak pernah melakukan hal yang macam-macam. Ini sungguh hal yang sulit. Tapi untuk sementara, aku iyakan saja."
"Aku mencoba percaya sama kamu, Mas. Tapi bagaimanapun, ini sakit. Jadi, aku ingin kamu menyetujui apa yang aku syaratkan. Bila tidak maka, aku memilih mundur." Mulut ini mengatur sebentar, "kamu boleh menikahi Firna asalkan, kamu tidak akan pernah tidur di sana. Temuilah Ibu bila siang hari. Dan, kita rahasiakan ini dari Nadine dan Raline."
"Baiklah, aku setuju. Aku akan menerima syarat yang kamu ajukan."
"Satu lagi! Jangan panggil tetangga ataupun saudara di saat pernikahan kalian. Cukup keluarga Firna saja yang menyaksikan." Mas Danang kembali mengangguk.
*
"Saya terima nikah dan kawinnya, Firna Ayu Lestari dengan mas kawin emas dua puluh gram dibayar tunai!" suara lelakiku mengucap janji suci untuk adik iparnya terdengar lantang di ruang tamu rumah orang tua Mas Danang. Hatiku sakit. Sangat sakit.
Apapun niat Mas Danang untuk menikahi Firna, tetap saja, aku merasa lemas. Air mata ini mengalir deras, menyaksikan tangan yang dulu mengikatku di depan wali hakim, kini, mengucapkan kembali ijab qobul untuk wanita lain.
Firna menjabat tangan Mas Danang dan menciumnya takdzim. Namun, Mas Danang segera menarik dan menoleh ke arahku.
Di ruangan ini hanya ada keluarga inti Firna, dan seorang ustadz yang
tidak aku kenal.
Selesai acara ijab qobul, acara dilanjutkan dengan makan-makan.
"Alhamdulillah, Pak Cokro, kita masih terhubung menjadi saudara meskipun Adrian sudah meninggal," ujar ayah Firna pada mertuaku laki-lakiku.
"Iya, Pak Har. Meskipun kita masih bisa menjalin hubungan kekeluargaan bila Firna tidak menjadi menantuku, tapi tetap saja, sepertinya tidak afdhol gitu rasanya. Dengan begini, kita tetap menjadi besan." Tawa mereka pecah. Hanya aku dan Mas Danang yang wajahnya diselimuti kesedihan.
Pak Cokro, ayah Firna dan mertuaku terdengar mengurai tawa. Tawa yang berarti lara bagi hati ini. Pun dengan kedua bocah yang saat ini berada di rumah. Andai mereka tahu malam ini, ayah mereka, orang yang sangat mereka sayangi dan andalkan, mengikrarkan janji suci dengan wanita lain, entah seperti apa hancurnya rasa itu.Aku menepi sejenak, menyingkir mencari tempat untuk sekadar membuat diriku merasa nyaman di tengah bahagia yang mereka rasa.Di teras belakang, aku bisa melihat kelap kelip lampu pabrik jauh di depan sana. Belakang rumah keluarga Mas Danang terdapat hamparan sawah yang luas.Yang padinya sudah mulai menguning. Namun, aku jelas tidak bisa melihatnya karena tertutup pekatnya langit malam. Sejenak, kuhirup udara malam dengan sebanyak-banyaknya.Apa aku wanita yang bodoh? Membiarkan suamiku dimiliki oleh wanita lain? Atau, aku hanya sekadar membalas budi seperti yang mereka minta? Atau,
“Kamu sedang apa? Aku cari kemana-mana,” ucap Danang mengulang pertanyaannya. Langkah kaki jenjang lelaki itu menyusul Rasti yang masih terduduk di tepi teras.“Aku sedang ingin sendiri dan menepi,” jawab rasti parau.“Kenapa tidak mengajakku?” tanya Danang lagi.Rasti menggeleng. Tatapannya kembali ia lempar pada kelap kelip lampu di seberang sana. “Aku ingin memberikan ruang untuk kamu menikmati waktu bersama keluarga besar kamu, Mas,” ucap Rasti lirih. Hatinya tertusuk belati, kala mengingat, beberapa saat yang lalu, pria yang amat ia sayangi dan cintai, mengikat janji suci terhadap wanita lain. Meski itu hanya sebuah formalitas seperti yang suaminya katakan, tapi tetap saja, pernikahan adalah bukan sesuatu hal yang bisa dimainkan.Telapak tangan Rasti yang dingin merasakan sebuah kehangatan saat tangan kekar sang suami menggenggamnya dengan lembut.
POV RASTIAnak-anak diajak serta tidur bersama kami di kamar. Sepertinya, Mas Danang ingin menghabiskan malam bersama mereka. Aku sampai menggelar sebuah kasur di bawah. Karena tempat tidur tidak muat untuk menampung kami berempat.“Papa, jangan tinggalkan aku, ya?” pinta Raline saat Mas Danang sudah tidak bersuara.“Hemh,” gumam Mas Danang lirih.Aku berdiri di tepi ranjang, mengamati tiga orang yang sangat berharga dalam hidupku. Rasanya, aku tidak sanggup berbagi. Meski Mas Danang menganggap pernikahan mereka hanya sebatas formalitas semata. Siapapun wanitanya, tentu tidak ada yang mau dimadu, dengan cara dan niat apapun itu. Terlebih, wanita yang menjadi madunya, masih sesame menantu.Pagi hari, kami beraktivitas seperti biasanya. Mas Danang bersiap kerja, sementara anak-anak bersiap untuk berangkat sekolah.“Jaga rumah, ya?
“Coba jawab! Jangan diam saja!” Aku berkata dengan nada suara yang tetap dingin. “Aku, aku tidak seburuk itu, Mbak. Aku tidak akan meminta hal yang memalukan seperti yang Mbak Rasti katakan. Aku hanya butuh sosok ayah untuk Yasmin. Mas Danang adalah pria yang sangat tepat menggantikan sosok Mas Adrian sebagai ayah kandungnya. Mas Danang kakak kandung mendiang suamiku. Aku yakin, dia akan bisa dengan tulus menyayangi Yasmin. Sementara bila aku mencari lelaki lain, belum tentu dia akan bisa menerima Yasmin dengan tulus.” Ucapan Firna benar-benar membuat aku semakin didorong emosi. “Jadi, benar dugaanku, bukan? Kamu memang menikmati pernikahan ini?” “Aku hanya berusaha ikhlas dan berdamai menerima takdir, Mbak. Apapun yang menimpa kita, bukankah itu sudah menjadi sebuah garis hidup yang kita smeua harus mau menerimanya? Begitupun dengan aku dan Mbak Rasti. Kita ditakdirkan memiliki suami yang sama, Mbak. Kita ditakdir
POV RASTI"Bukankah aku sudah pernah bilang? Kalau Bapak menyakiti Rasti, maka aku yang akan mencari keadilan untuknya."Ucapan pungkasan yang disampaikan Mas Danang membuat perasaanku terbelah menjadi dua. Di satu sisi, aku tidak lagi ragu terhadapku cintanya. Namun, di sisi lain, aku menjadi berpikir kalau ada sesuatu hal yang mereka sembunyikan dariku.Dengan langkah berjingkat, aku kembali ke peraduan. Mata ini sulit terpejam. Namun, selimut sengaja aku tarik hingga menyisakan ujung kepala saja. Kumiringan tubuh agar Mas Danang mengira kalau aku sudah tidur. Tak berapa lama, deritamu pintu terdengar. Lalu ditutup pelan-pelan. Dan, sebuah tangan melingkar memeluk erat tubuh ini.Sejak percakapan yang aku dengar antara Mas Danang dan bapaknya semalam, hati ini menjadi penasaran. Seakan ada sebuah bisikan untuk aku mencari tahu sesuatu hal.Namun, hal apa itu? Pert
Pukul empat sore, aku sudah menyerah menghubungi Mas Danang. Aku memilih membaca artikel bisnis yang ada di internet. Rasanya, aku harus mulai mengenali tata cara mencari uang. Karena apapun yang akan terjadi, kita tak pernah tahu. Seperti saat ini , aku tiba-tiba harus hidup dengan memiliki seorang madu.Layar gawai berkedip. Nama Mas Danang memanggil di sana. Seketika, hatiku berdegup kencang. Dengan tangan bergetar, kuangkat panggilan telepon dari lelaki yang sangat kucintai itu.“Halo, Mas,” sapaku.“Halo, Rasti. Maaf dari tadi pagi aku tidak sempat bermain handphone. Ibu harus dibawake rumah sakit. Dan ini sudah masuk ruang perawatan,” jelas Mas danang.“Mas danang sama siapa di sana?” tanyaku cemas.“Aku sama bapak, Ras. Kamu mau nyusul ke sini? Kalau iya, Nadine sama raline biar dititipkan Bibik,” ujar Mas Danang membuatku le
POV DANANGRasti, sesosok gadis lugu yang aku kenal karena Bapak membawanya ke rumah saat kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah tragedi kecelakaan. Kala itu, ia yang masih duduk di bangku kuliah, datang dengan wajah yang kosong. Aku paham akan hal itu. Karena tidak udah berada dalam posisinya yang harus menjadi yatim piatu dan hidup sebatang kara tanpa sanak saudara.Usiaku dan Rasti terpaut empat tahun. Pertemuan pertama dengannya menghadirkan rasa kasihan yang teramat dalam. Wajah Rasti yang manis dan lugu, membuat hati ini begitu terluka kala memandangnya. Kala itu, aku sudah bekerja di showroom mobil yang Bapak dirikan sejak beberapa bulan. Latar belakang pendidikanku yang mengambil jurusan ekonomi, dirasa Bapak cukup cocok untuk terjun dalam bisnis yang tengah digeluti.“Rasti, dia anak teman Bapak yang meninggal. Ia akan tinggal di sini bersama kita. Karena, Rasti sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Di
POV RASTIMas Danang menatapku sayu. Aku tersenyum seraya mengangguk. Senyum yang aku paksakan.“Nang, nanti kalau Yasmin nangis, kamu antar ke sini, ya? Sekalian, Ibu pengin ditemani Firna sebentar saja.” Ucapan Ibu lagi-lagi ingin menegaskan, kalau aku tidak punya tempat di hatinya.Mengapa wanita itu berubah seketika? Dulu, meskipun lebih menyayangi Firna, sikap Ibu masih ramah terhadapku.“Iya, Nang. Bapak juga pengin ketemu sama Yasmin,” timpal Bapak mertua.Tidak ada nama anakku disebut di sana. Fix. Pernikahan yang bagi Mas Danang hanyalah sebuah formalitas belaka, nyatanya kedua orang tuanya menganggap itu sesuatu yang membahagiakan.Tiada yang lebih menyakitkan daripada harus menyaksikan orang yang kita cintai seakan dianggap milik wanita lain.“Baik, Bu. Tapi, aku juga akan mengajak Nadine, Raline,