“Kamu sedang apa? Aku cari kemana-mana,” ucap Danang mengulang pertanyaannya. Langkah kaki jenjang lelaki itu menyusul Rasti yang masih terduduk di tepi teras.
“Aku sedang ingin sendiri dan menepi,” jawab rasti parau.
“Kenapa tidak mengajakku?” tanya Danang lagi.
Rasti menggeleng. Tatapannya kembali ia lempar pada kelap kelip lampu di seberang sana. “Aku ingin memberikan ruang untuk kamu menikmati waktu bersama keluarga besar kamu, Mas,” ucap Rasti lirih. Hatinya tertusuk belati, kala mengingat, beberapa saat yang lalu, pria yang amat ia sayangi dan cintai, mengikat janji suci terhadap wanita lain. Meski itu hanya sebuah formalitas seperti yang suaminya katakan, tapi tetap saja, pernikahan adalah bukan sesuatu hal yang bisa dimainkan.
Telapak tangan Rasti yang dingin merasakan sebuah kehangatan saat tangan kekar sang suami menggenggamnya dengan lembut. “Jangan pernah merasa sendiri. Aku akan selalu ada untukmu. Jangan menjauh, karena aku sangat membutuhkanmu. Maafkan aku bila hatimu terluka,” ujar danang seraya memegang dagu Rasti dan memalingkan wajah untuk berhadapan dengannya.
“Mereka terlihat bahagia, Mas. Bapakmu dan juga bapak Firna. Seolah, pernikahan ini adalah sebuah anugerah. Aku merasa kecil di tengah keluargamu dan keluarga Firna yang lengkap. Aku merasa hanya menjadi sebuah daun kering diantara buah-buahan yang ranum,”
“rasti! Berhentilah berkata demikian. Aku sangat mencintai kamu. Kamu tahu itu, bukan? Kita akan melewati ini sama-sama. Ayo, kita pulang. Anak-anak sudah menunggu di rumah,” ajak Danang.
Netra Rasti berkaca-kaca, segala sedih ingin ia tumpahkan. Akan tetapi, sadar saat ini berada di mana. Seulas senyuman terukir di bibirnya. Menyambut niat baik sang suami yang lebih mementingkan anak-anaknya di malam yang dianggap bahagia oleh keluarganya.
Dengan pelan, wanita berhijab hitam itu mengangguk.
Sepasang suami istri itu bangkit secara bersamaan. Dengan masih bergandengan tangan, keduanya melangkah pelan menuju pintu yang menjadi pembatas teras belakang dengan ruang keluarga. Rumah besar milik keluarga Hartawan memang mempunyai dua buah ruang keluarga. Satu berada di dekat ruang tamu, dan satunya lagi berada sebelum teras belakang. Kedua ruang keluarga itu dipisahkan oleh dapur yang menyatu dengan ruang makan.
“Mas, aku mencarimu kemana-mana. Kamu dari tadi belum makan, ‘kan? Aku menunggumu untuk makan bersama.” Tiba-tiba, Firna muncul dari balik pintu, membuat hati Rasti kembali merasa dipukul. Pria yang kini menggenggam erat tangannya telah memilki tambatan lain. Itu knytaan pahitnya.
Seolah tahu apa yang dirasakan sang istri, Danang semakin menggenggam erat tangan Rasti. “Aku akan makan di rumah dengan anak-anak. Kamu makan saja, tidak perlu menungguku,” jawab danang dingin.
‘Untuk sementara, aku mungkin memenangkan hatimu, Mas. Tapi, apa ini akan terjadi untuk selamanya?’ tanya hati Rasti ragu.
Terlihat raut kecewa dari wajah Firna. Tatapan matanya tertuju pada tangan sepasang suami istri yang saling bergenggaman. Sejurus kemudian, anggukan pelan terlihat bergerak dari kepala yang masih bersanggul. “Baiklah, Mas. Hati-hati,” ujarnya penuh dengan kekecewaan.
Danang hanya menatap sekilas Firna, lalu berjalan melewati perempuan yang tatapan matanya tidak pernah lepas darinya itu. Sementara di sisinya, berjalan Rasti yang tentu sangat tidak suka dengan cara Firna memandang sang suami.
“Mas …,” panggil Firna lembut saat tubuh Danang melangkah beberapa langkah kaki darinya.
“Kenapa?” tanya Danang dingin. Meskipun ia terpaksa berhenti, tapi tatapannya tetap tidak menoleh.
Firna berjalan tergopoh menuju sang suami. Ia lalu mengulurkan tangan mengajak Danang bersalaman. Wajah Rasti berpaling. Tidak kuat rasanya, berdiri di hadapannya, seorang perempuan yang berlaku demikian terhadap pria yang paling ia cintai dalam hidup saat ini.
Dengan tangan kaku dan tatapan menoleh pada Rasti, Danang mengulurkan tangannya pada wanita yang baru saja ia nikahi itu.
“Aku akan menunggumu pulang ke sini, Mas,” ucap Firna tanpa rasa malu membuat dada Rasti semakin bergemuruh.
Danang tak menjawab apapun. Lelaki itu mengabaikan Firna yang masih menatap penuh harap, lelaki yang baru saja menikahinya akan tetap tinggal meski hanya untuk menutupi rasa malu di hadapan keluarga yang masih bertahan di rumah besar itu.
“Nang!” seru sang ibu saat Danang melewati ruang tamu. “Mau kemana kamu?” tanyanya kemudian.
“Aku mau pulang, Bu,” jawab Danang tegas.
“Ini ,kan juga rumah kamu. Biarkan Rasti pulang sendirian. Hormatilah tamu yang datang untuk menghadiri acara bahagiamu ini,” ujar wanita yang terlihat menjaga penampilan agar terlihat ningrat itu tak kalah tegas.
“Anak-anak menungguku di rumah. Aku sudah cukup lama di sini,’ jawab Danang pasti. “Ayo, kita pulang,” ajaknya pada sang istri.
Sepasang suami istri itu lalu melenggang pergi. Ibu Danang tidak bisa mencegah karena tidak ingin terlibat dalam pertengkaran di depan beberapa kerabat yang masih di sana.
Sampai di rumah, Raline dan Nadine sudah menunggu di teras. “Kakak dan Adek kenapa belum tidur? Kenapa di luar?” tanya Danang setelah turun dari mobil.
“Mbok Nah tadi cucunya nangis, terus pulang. Kami takut di dalam. Akhirnya menunggu Mama dan Papa di sini,’ ujar si sulung Nadine.
“Papa …,” rengek Raline manja. Tubuhnya langsung menghambur ke pelukan Danang. “Aku kangen Papa. Aku takut ditinggal Papa,” lanjutnya dengan nada sedih.
Rasti menghela napas panjang. Ia yang baru saja menginjakkan kaki di teras, menarik tubuh Nadine ke dalam pelukan.
Ikatan batin diantara ayah dan anak menjadikan Raline dan Nadine seolah meraskan gundah yang tengah terjadi di dalam keluarga kecil itu, meskipun mereka berdua tidak tahu menahu tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny