Pak Cokro, ayah Firna dan mertuaku terdengar mengurai tawa. Tawa yang berarti lara bagi hati ini. Pun dengan kedua bocah yang saat ini berada di rumah. Andai mereka tahu malam ini, ayah mereka, orang yang sangat mereka sayangi dan andalkan, mengikrarkan janji suci dengan wanita lain, entah seperti apa hancurnya rasa itu.
Aku menepi sejenak, menyingkir mencari tempat untuk sekadar membuat diriku merasa nyaman di tengah bahagia yang mereka rasa.
Di teras belakang, aku bisa melihat kelap kelip lampu pabrik jauh di depan sana. Belakang rumah keluarga Mas Danang terdapat hamparan sawah yang luas.
Yang padinya sudah mulai menguning. Namun, aku jelas tidak bisa melihatnya karena tertutup pekatnya langit malam. Sejenak, kuhirup udara malam dengan sebanyak-banyaknya.
Apa aku wanita yang bodoh? Membiarkan suamiku dimiliki oleh wanita lain? Atau, aku hanya sekadar membalas budi seperti yang mereka minta? Atau, hanya menuruti permintaan pria yang menjadi anak-anakku untuk melewati ujian bersama-sama?
Tidak ada pilihan lain bagi diriku. Seorang wanita yang hanya bergelar sebagai ibu rumah tangga tanpa memiliki penghasilan sepeserpun. Mau mengadu dan lari dari kenyataan juga kemana?
Bapak dan Ibu telah meninggal dalam sebuah tragedi kecelakaan. Sanak saudara, sama sekali aku tidak mengenal mereka. Karena kedua orang tua hidup di perantauan dan mereka tidak pernah mengajakku pulang.
Aku duduk termenung dengan menopang dagu. Angan ini jauh berkelana pada kejadian beberapa tahun silam.
“Kenapa kalau lebaran kita tidak pernah mengunjungi saudara kita, Bu?” tanyaku pada seorang yang telah melahirkanku kala itu.
“Karena kita tidak punya saudara,” jawab Bapak asal.
“Mereka sudah meninggal semuanya-kah?” cecarku kemudian.
“Rasti, ayo kita makan ketupat sayur dulu,” ajak Ibu.
Selalu seperti itu kala aku bertanya perihal keluarga mereka. Hingga suatu hari, ketika aku sudah duduk di bangku kuliah, Ibu menceritakan sesuatu hal, saat Bapak tidak ada di rumah. “Kami menikah tanpa restu. Bapak dan Ibu, kami berbeda strata sosial. Ibu telah bersalah pada kakek dan nenekmu yang menjadi orang terpandang di kampung. Demi agar bisa hidup bersama, kami melakukan kesalahan, Ibu hamil duluan,” jelasnya membuat aku tersentak.
“Apakah aku ini anak haram?” Pertanyaan jujur keluar begitu saja dari mulut.
“Bukan, Rasti! Anak yang Ibu kandung harus meninggal dalam kandungan karena Ibu kelelahan. Waktu itu, kami sibuk menata hidup karena harus pergi dari kampung dan merantau ke sini. Hanya berbekal tabungan Ibu semasa kuliah, kami nekat hidup di daerah yang jauh dari nenek dan kakekmu. Mereka sudah benar-benar membenci Ibu dan melarang pulang. Itu sebabnya, kita tidak punya kerabat. Karena, Ibu dan Bapak tidak mau saatmenemui mereka, kamu justru ikut mendapatkan perlakuan buruk atas kesalahan yang kami lakukan dulu,”
Kehidupan kami bahagia. Entah bagaimana ceritanya, kedua orang tuaku bisa bangkit dan menjadi pengusaha sukses seperti saat itu. Kehidupan yang bahagia dan tidak kekurangan membuatku tidak pernah menelisik apa yang Bapak miliki. Aku hanya tahu, Bapak memiliki sebuah showroom mobil bekas. Namun, aku hanya sesekali pergi ke sana.
Aku kuliah di sebuah kampus dan mengambil jurusan akuntansi atas permintaan Bapak.
“Biar kamu paham tentang keuangan. Karena kalau sudah masanya, apa yang Bapak bangun, akan menjadi milik kamu,” ujar lelaki yang tidak pernah marah terhadapku itu.
Hidupku biasa-biasa saja. Tidak ada hal menyedihkan yang aku alami. Sampai suatu ketika, duniaku harus hancur karena sebuah kabar yang aku terima dari sebuah kantor polisi. Dengan berurai air mata, aku menatap dua mayat yang terbujur kaku di sebuah ruang jenazah. Tas yang kubawa dari kampus masih menggantung di bahu.
"Rem mobil blong sepertinya. Saat berpapasan dengan sebuah truk, mereka lepas kendali dan akhirnya menabrak pembatas jalan." Di sela tubuh mencoba mengumpulkan tenaga agar dapat berdiri tegar, telinga ini menangkap keterangan yang disampaikan polisi.
"Hanya dia keluarga yang ada. Kita tidak bisa meminta keterangan pada siapapun," sambung yang lain.
Duniaku runtuh seketika. Lidah ini kelu. Aku tidak mampu berpikir apapun.
Rumah yang besar kini kutempati seorang diri. Beberapa tetangga yang baik, selalu datang melihat keadaanku untuk mengirimkan makanan dan membersihkan rumah. Bahkan, aku tidak ikut mengantarkan kedua orang yang sangat aku cintai ke tempat peristirahatan mereka yang terakhir. Karena saat itu, aku tidak kuat untuk berjalan.
“Aku akan selalu menemani Neng Rasti,” ujar Bik Sum, perempuan yang selalu membantu Ibu melakukan pekerjaan rumah. “Ibu dan Bapak Neng Rasti, mereka orang yang sangat baik. Membanti Bibik dalam setiap kesulitan. Maka, mulai sekarang, anggaplah Bik Sum ini keluarga Nengn Rasti,” tambahnya lagi.
Saat itu, aku menyesal, menjadi anak yang tidak tahu menahu urusan orang tua. Karena saat mereka tiada, aku bagaiakan orang yang tersesat di tengah hutan tanpa tahu arah.
Di hari ke sepuluh kematian Ibu dan Bapak, datang tamu beberapa orang dengan perawakan besar. Mereka mengatakan kalau Bapak memiliki hutang terhadap rentenir. Aku yang masih berduka, sangat bingung hendak mengatakan apa. Mereka bersikeras menyita rumah, tempat satu-satunya untuk tinggal.
Dan di saat bersamaan, Pak hartawan, bapak Mas Danang yang kutahu itu adalah rekan Bapak, datang menyelamatkanku. Mengajakku pulang ke rumahnya dan membiayaiku kuliah hingga selesai.
“Aku akan membereskan semua hutang orang tua kamu. Carikan sertifikat rumah untuk aku bisa mengatasi semua ini. Kamu akan ikut tinggal bersamaku dan, aku pastikan kamu akan bisa meneruskan kuliah kamu,” ujarnya saat aku kebingungan menghadapi tamuku di ruang tamu.
“Aku mencarimu kemana-mana. Ternyata kamu di sini.” Suara Mas Danang membuatku kaget. Seketika, kepala ini menoleh dan menatap seorang pria yang memancarkan wajah sedih.
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p