Share

Suami Salih

Biar sajalah. Itu bukan urusanku. Eh, tapi tadi bajunya masih basah itu. Kalau dia masuk angin bagaimana?

Sepertinya orang yang meneleponnya tadi sangat penting bagi Rafael sampai-sampai dia mengabaikan diri sendiri seperti itu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku membersihkan diri lalu istirahat. Urusan Rafael bukan urusanku.

**

Malam sudah makin larut. Tapi Rafael belum kembali juga. Sebenarnya dia pergi ke mana? Jika terjadi apa-apa padanya, bisa-bisa aku yang kena omel Papa Mama.

Baru saja hendak meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi bocah itu, kulihat pintu kamar terbuka. Syukurlah dia sudah kembali.

"Dari mana?" tanyaku serius.

Rafael menatapku sekilas. Tanpa menjawab, dia melepas jaket, lalu menyambar handuk di cantelan. Wajahnya jadi tambah kusut sekarang. Baiklah. Sepertinya dia tidak mau berbagi denganku.

Aku meraih ponsel di atas nakas, lalu berselancar di aplikasi berwarna biru. Tidak ada yang menarik. Hanya scroll-scroll saja melihat status dari orang-orang di daftar pertemananku.

Ada satu teman yang sangat aktif memperbarui status di aplikasi ini. Nama akunnya Nadia Talita. Foto profilnya seorang gadis cantik. Sepertinya dia seusia Rafael. Tiap kali dia memposting sesuatu di berandanya, para kaum buaya pasti ramai memberi like dan komen. Tak heran juga. Sebab Nadia ini gemar sekali berpose seksi.

"Belum tidur, Tan?"

"Belum ngantuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel. "Lu dari mana, sih, sebenarnya?"

Rafael merangkak naik ke atas ranjang. Aku beringsut menjauh, "Mau ngapain?"

"Mau duduk doang, Tan. Sekalian gue mau ngomong penting sama lu."

Aku berdehem beberapa kali untuk menghilangkan rasa gugup, "Apaan?"

"Sebenarnya gue masih punya pacar, Tan. Tadi gue juga baru ketemu sama dia. Ibunya lagi sakit."

Mulutku membulat membentuk huruf O. Benar, kan, dugaanku? Dia memiliki seorang pacar. Tapi tidak apa-apa. Lagi pula itu tidak berpengaruh sedikit pun padaku.

"Tapi tadi gue udah mutusin dia. Gue bilang kalau gue udah nikah."

"Terus?"

"Ya cewek kalau masih sayang diputusin udah pasti nangis lah, Tan."

Aku manggut-manggut. Memang begitu, ya, kalau diputusin nangis gitu? Ah, aku belum pernah punya pacar dan diputusin juga. Jadi aku tidak terlalu paham dengan persoalan anak muda seperti itu.

"Terus?" tanyaku lagi.

"Gue bilang, kalau buat temenan oke-oke aja. Kalau dia minta bantuan pun gue juga siap bantuin," jelasnya lagi.

"Terus?"

"Elah, Tan. Dari tadi terus-terus mulu. Ya nabrak entar." Dia turun dari ranjang menuju ke sofa.

Aku menghela napas pelan. "Sebenarnya gue nggak papa, sih, mau elo pacaran sama dia sekalipun. Soalnya kita, kan, juga nggak saling punya perasaan. Tapi kalau dengan putus menurut lo lebih baik, ya, itu terserah elo."

"Tentu aja putus menjadi pilihan terbaik, Tan. Gue dah nikah, dah punya istri. Gue bukan lagi bujang yang bisa tebar pesona sana-sini. Jadi, gue harap Tante juga bisa menempatkan diri sebagai istri. Gue yakin suatu saat nanti, cinta bisa tumbuh di antara kita," ucapnya panjang lebar. Malah yang terakhir disertai gerakan alisnya naik turun dengan senyum jahil.

Aku tertawa. "Cinta lo bilang? Ya kali gue demen ama bocah kayak lo. Kalau mau, nih, ya, gue bisa nyari cowok yang usianya jauh lebih matang. Cuma emang gue nggak mau terikat hati dengan siapapun aja."

Rafael berdiri. Dia berjalan lagi ke arahku. Eh, apa dia tersinggung. Duh! Terkadang mulutku ini memang susah dikontrol.

Rafael semakin mendekat. Dia mengunci tubuhku dengan kedua tangan yang bertumpu pada kepala ranjang sebab aku tengah bersandar di sana.

Jantungku ... jantungku berdegup tak beraturan lagi.

"Yang matang dari segi usia pun belum tentu bisa bertanggung jawab, Tan. Jadi jangan menilai kedewasaan seseorang dari usia." Dia tersenyum. Ah, bukan! Menyeringai lebih tepatnya. Lalu seperti tadi pagi, dia kembali mendaratkan kecupan di keningku.

Oh, astaga! Kenapa setiap kali dia melakukan ini, aku seperti tak bisa bergerak? Jangan sampai aku termakan ucapan sendiri. Tidak! Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada anak kecil seperti dia. Tidak akan pernah!

***

"Mau ke mana lo? Katanya dipecat?" tanyaku saat melihat Rafael sudah rapi. Kalau dilihat-lihat, dia keren juga. Eh, apaan, sih?

Tapi serius. Dengan kemeja yang lengannya digulung sampai siku seperti itu, dia terlihat jauh lebih dewasa. Otot lengannya yang kekar tercetak jelas.

"Semalam gue dapat ajakan dari temen buat kerja di toko. Jadi, ya, gue langsung masuk hari ini," jawabnya dengan wajah semringah.

"Hebat juga lo. Baru juga dipecat dah langsung dapet kerjaan aja." Aku yang baru keluar dari kamar mandi, menuju meja rias untuk mengeringkan rambut yang masih basah. Readers jangan mikir macam-macam, ya. Aku keramas karena memang rambut sudah kotor. Bukan karena ... Ah, skip!

"Rezeki suami soleh ini namanya, Tan."

Aku mencebik. Lalu mulai menyalakan hairdryer di tangan.

"Mau bukti kalau gue ini suami soleh?"

Dari cermin rias kulihat Rafael berjalan di belakangku. Dia lantas mengambil alih hairdryer dari tanganku. Aku berbalik, berniat merebutnya kembali. Tapi dia dengan sigap memutar tubuhku lagi agar menghadap ke cermin.

Dengan telaten, pemuda itu mengeringkan rambutku. Napasku tercekat. Rasanya untuk bergerak saja aku tak bisa. Apa dia punya kekuatan super untuk membuat orang lain membatu ketika berada di dekatnya?

"Elo boleh anggep gue anak kecil, Tan. Tapi asal lo tahu, gue bahkan bisa bikin anak kecil kalau gue mau," bisiknya di telingaku. Sementara tangannya masih setia mengarahkan hairdryer pada rambutku.

Tunggu dulu! Bisa bikin anak kecil? Maksudnya?

Aku melotot setelah menyadari maksud ucapannya. Lalu secepat kilat aku merebut pengering rambut itu dari tangannya.

"Eh, dasar omes! Pergi sana lo! Rese banget jadi orang!"

Rafael tergelak. Dia berlari menjauh lalu menjulurkan lidah mengejekku.

"Ntar malem kita bikin anak, ya, Tan!" teriaknya lantang. Astaga! Rafael!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status