Kuusap keningku berkali-kali agar bekas ciuman si Rafael hilang. Tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir, dia tidak salah juga. Aku ini, kan, istrinya. Mau diapain juga sudah halal.
"Kamu kenapa, sih, May? Dari tadi Mama lihatin itu kening diusap-usap mulu. Pusing?"
Aku memutar bola mata malas. "Iya, pusing banget. Mual, mau muntah juga," jawabku asal.
Di luar dugaan, Mama malah menganga sambil melotot, "Wah! Hebat banget si Rafael, ya. Baru juga semalam, udah tokcer aja."
Yasalam! Apa yang sedang dipikirkan Mama sekarang?
"Tokcer apanya, sih, Ma? Mama pikir aku hamil gitu? Astaga, Ma! Mana ada orang baru tidur bareng semalam langsung hamil? Lagian kami juga nggak ngapa-ngapain, kok," jawabku kesal.
Mama tergelak, lalu melenggang meninggalkanku begitu saja. Puas banget itu ketawanya.
Rasanya seisi rumah ini lama-lama membuatku naik darah. Huft! Sabar, Mayang. Sabar.
Aku berlalu ke kamar untuk bersiap bekerja. Lebih tepatnya mengawasi orang-orang bekerja. Aku memiliki toko kue yang cukup terkenal di daerah ini. Bisa dibilang aku ini bos.
Sejak kecil aku memang sudah diberi kemewahan oleh Papa dan Mama. Aku tidak pernah kekurangan suatu apapun. Aku juga tidak perlu bersusah payah mencari kerja setelah lulus kuliah. Karena mengambil jurusan tata boga dan hobi ngebaking, mereka membuatkan toko kue tanpa kuminta.
***
Saat aku pulang dari toko, kulihat Rafael tengah termenung di depan jendela kamar.
"Ngelamun bae. Kesambet ntar," selorohku. Tapi dia hanya diam. Sikapnya ini membuatku penasaran. Setelah meletakkan tas kecil di atas meja, aku mendekat padanya. "Kenapa?"
Rafael menghela napas pelan. Tampak sekali dia menyimpan beban yang begitu berat.
"Gue dipecat."
"Kok, bisa?"
"Pengurangan pegawai karena tempatnya lagi sepi belakangan ini," jawabnya lesu.
"Ya udah, sih, nggak usah panik gitu. Lagian elu hidup di sini itu dah enak. Nggak kerja pun lu udah bisa makan enak setiap hari," ucapku santai sembari melangkah ke ranjang. Namun baru saja ingin merebahkan badan di sana, Rafael menahan tanganku.
Wajahnya kali ini terlihat serius. Tampak menakutkan juga kalau seperti ini.
"Elu bisa ngomong kayak gitu karena memang nggak pernah hidup susah. Gue sekarang udah berstatus sebagai suami. Jangan lu pikir gue cuma mau hidup enak di sini. Gue masih punya harga diri!"
Sungguh, Rafael tidak terlihat seperti bocah saat ini. Dia terlihat seperti lelaki dewasa yang bahkan mengerti kewajibannya sebagai seorang suami.
Rafael melepaskan tanganku dengan kasar. Kemudian berlalu keluar dari kamar. Dia benar-benar berbeda dengan pertama kali kami bertemu. Entah kenapa aku jadi merasa bersalah begini. Sepertinya dia marah.
"Raf!" Aku mencoba memanggilnya. Bahkan kali ini aku memanggil namanya. Tapi dia sama sekali tak menggubris. Terpaksa aku mengikutinya.
Rafael berjalan menuju samping rumah. Di mana terdapat kolam renang yang begitu luas. Dia duduk di sana dengan kedua kaki dicelupkan ke dalam air. Ini sudah malam. Apa dia tidak kedinginan?
Aku turut duduk bersimpuh di sebelahnya. Kutoleh wajahnya yang masih saja menunjukkan ekspresi datar.
"Maafin gue, deh. Gue nggak ada maksud buat ngehina elu tadi. Gue akuin, gue emang manja dari dulu. Jadi gue nggak pernah ngerasain rasanya hidup susah," ucapku pelan. Berusaha berbicara kembali secara baik-baik.
Rafael menghela napas panjang, lalu menatapku. "Gue nikahin lu emang demi nyokap gue meski beliau nggak pernah minta. Tapi gue juga punya rasa tanggung jawab. Gimana pun juga gue ini seorang suami. Jadi gue wajib nafkahin lu."
Duh! Kok ada yang melting begini rasanya di dalam dada. Jangan sampai laper, May. Eh, baper.
"Tapi gue nggak minta lu buat nafkahin gue. Gue udah punya segalanya. Gue nggak butuh apa-apa dari elu."
Rafael tertawa kecil mendengar jawabanku. Memang ada yang lucu?
"Mana ada nikah model kayak begitu? Yang namanya suami, ya, tetap wajib nafkahin istri. Umur lu emang lebih tua dari gue, Tan. Tapi pikiran lu kayak anak kecil." Rafael menggeleng pelan seolah sedang meremehkanku.
"Udah dibilang jangan panggil gue kayak gitu! Lagian gue juga ngerti kewajiban suami. Cuma seperti yang gue bilang tadi. Gue nggak butuh apa-apa dari elu." Aku bangkit berdiri. Rencananya, sih, mau balik ke kamar. Tapi sepertinya sedikit menjahili Rafael mungkin bisa membuat moodnya kembali seperti biasa.
Aku mengendap-endap di belakangnya yang tengah menatap air kolam. Lalu ....
Byur!
Aku mendorongnya hingga terjungkal masuk ke dalam air. Aku tertawa lepas saat Rafael mengepak-ngepakkan tangannya. Dia persis seperti anak ayam yang tak bisa berenang.
"Tan! Tolongin gue!"
"Halah! Pura-pura, kan, lu? Mana ada cowok kayak lu nggak bisa berenang." Aku bersedekap. Dia pasti mau ngerjain balik supaya aku ikutan nyemplung. Jangan harap.
"Tan!"
Eh, tapi kalau dia beneran tak bisa berenang bagaimana? Astaga! Cerobohnya aku.
Dengan terpaksa aku ikut terjun ke dalam kolam. Kuraih tubuh Rafael yang mulai diam di dalam air. Pikiranku makin kalut. Bagaimana kalau anak orang sampai? Ah, tidak! Tidak boleh!
Aku menarik tubuhnya hingga ke tepi. Lalu dengan susah payah kuangkat dia ke atas. Kutepuk-tepuk pipinya, kuguncang-guncang badannya. Tapi tetap saja dia tak bergerak.
Lalu aku teringat dengan pertolongan pertama korban seperti ini. Napas buatan. Tapi apa iya aku harus melakukannya? Yang benar saja?
Tapi melihat bibirnya yang pucat, aku jadi makin takut. Papa dan Mama pasti akan memarahiku habis-habisan jika terjadi sesuatu pada Rafael. Belum lagi nanti jika aku mendapat gelar baru, yaitu janda kembang. Astaga! Jangan sampai!
Tanpa pikir panjang lagi, aku menekan kedua pipinya agar mulutnya sedikit terbuka. Lalu mulai memberikannya napas buatan. Baru saja aku menarik wajah darinya, pemuda itu tersenyum. Eh, kok?
"Wah! Tante diam-diam menghanyutkan rupanya."
Eh, dia cuma pura-pura? Aaa! Rafael!
"Lu cuma pura-pura? Dasar nyebelin lu, ya!" Aku memukuli tubuhnya. Dia tergelak. Terlihat sangat puas sudah berhasil mengerjaiku.
"Habisnya Tante main dorong-dorong aja. Eh, bibir berondong rasanya gimana? Manis nggak?"
"Apaan? Awas lu, ya!" Aku makin gencar memukulinya. Dia dengan cepat bangkit dan melarikan diri. Jadilah kami dengan badan basah kuyup lari-larian di dalam rumah.
"Astaga! Kalian ini ngapain malam-malam basah-basahan begitu?"
Kami berhenti mendengar teguran Papa.
"Ini, Pa. Mayang ngajakin main air malam-malam."
"Eh, rese lu, ya!" Aku mulai mengejar lagi. Rafael berlari menuju kamar kami. "Sini lu! Gue jitak juga lu!"
Rafael tertawa makin lepas. Membuat kepalaku rasanya makin mendidih. Awas saja kalau sampai tertangkap.
Laki-laki berbadan tinggi itu berlari mendekat ke lemari pakaian. Di sana aku berhasil menangkapnya. Aku memukulinya lagi bertubi-tubi tanpa ampun.
Lalu tanpa terduga, Rafael menahan kedua tanganku. Aku mencoba menariknya, tapi tenagaku kalah kuat.
"Lepasin, nggak?" Aku berontak.
"Lu cantik, Tan."
Aku berhenti bergerak mendengar ucapannya. Pandangan kami bertemu. Tatapan Rafael seakan mengunciku agar tak berpaling ke arah manapun.
"Gue bingung aja kenapa lu masih melajang sampai umur yang udah begitu matang. Padahal lu cantik banget," ucapnya lagi. Serius, sepertinya di dalam dadaku ada yang sengaja menabuh genderang.
Rafael melepas tanganku. Lalu tangannya berpindah ke tengkuk leherku. Perlahan wajahnya mendekat. Mau apa dia? Ini, kenapa tubuhku tak bisa bergerak begini? Mama tolong!
Ketika wajah kami hanya tinggal berjarak beberapa senti, terdengar suara ponsel berbunyi. Rafael melepaskan tangannya dariku. Dia melangkah menuju ponselnya yang tergeletak di atas nakas.
Aku menghela napas lega. Apa-apaan itu tadi? Bisa-bisanya aku diam begitu saja saat dia ... Ah, malunya.
"Ya, Ta? Ya, aku ke sana sekarang."
Keningku mengernyit saat mendengar Rafael akan pergi. Ini sudah malam. Mau ke mana dia? Lalu siapa orang yang dipanggilnya Ta?
Biar sajalah. Itu bukan urusanku. Eh, tapi tadi bajunya masih basah itu. Kalau dia masuk angin bagaimana? Sepertinya orang yang meneleponnya tadi sangat penting bagi Rafael sampai-sampai dia mengabaikan diri sendiri seperti itu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku membersihkan diri lalu istirahat. Urusan Rafael bukan urusanku. ** Malam sudah makin larut. Tapi Rafael belum kembali juga. Sebenarnya dia pergi ke mana? Jika terjadi apa-apa padanya, bisa-bisa aku yang kena omel Papa Mama. Baru saja hendak meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi bocah itu, kulihat pintu kamar terbuka. Syukurlah dia sudah kembali. "Dari mana?" tanyaku serius. Rafael menatapku sekilas. Tanpa menjawab, dia melepas jaket, lalu menyambar handuk di cantelan. Wajahnya jadi tambah kusut sekarang. Baiklah. Sepertinya dia tidak mau berbagi denganku. Aku mera
Aku memijat kepala yang berdenyut. Berapa lama lagi aku harus menghabiskan waktu bersamanya? Yang ada nanti aku bisa gila jika terlalu lama bersama pemuda selengekan itu. Aku bersiap hendak pergi ke toko. Sebenarnya terkadang aku merasa bosan juga dengan kegiatanku sehari-hari. Bangun tidur, ke toko, pulang, tidur lagi. Seperti itu terus. Aku sangat jarang menghabiskan waktu di luar untuk sekadar bertemu teman. Ah, aku bahkan tidak punya teman dekat. Meski itu perempuan sekali pun. "May! Ayo sarapan dulu! Itu Ayang Beb kamu udah nungguin!" Eh, apaan? Ayang beb? Mama apaan, sih? Aku membuka pintu dengan kasar. Dapat kulihat raut terkejut di wajah malaikatku itu. "Ayang beb apaan, Ma, maksudnya?" tanyaku dengan malayangkan tatapan tajam. "Ya suami kamu lah. Siapa lagi coba?" jawab Mama dengan santainya. Dan seperti biasa, setelah menjawabku, beliau
Rafael mendekatkan wajah di samping telingaku, "Bahkan lo nggak bisa menghindar saat gue lakukan ini. Nanti pun, elo nggak akan bisa menghindar saat menyadari perasaan lo sama gue."Aku menelan ludah dengan susah payah. Bisikan Rafael seperti angin yang menggelitik di telinga.Sadar, Mayang! Sadar!Aku menatapnya tajam. Lalu menginjak kakinya sekuat tenaga."Adaw! Sakit, Tan! Elah tega bener!" Rafael sibuk lompat-lompat sambil memegangi kakinya."Makanya jangan suka curi kesempatan dalam kesempitan!" sengitku. Aku kembali berjalan dengan kaki sedikit mengentak. Kesal sekali rasanya."Eh, mana ada gue ambil kesempatan dalam kesempitan? Orang di sini tempatnya luas begini."Aku berbalik. Menatapnya masih dengan tatapan tajam, "Lo ngeselin banget, sih!"Rafael tergelak. Lalu buru-buru berlari dariku. Argh! Aku bisa benar
Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini. Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan. "Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?" Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD." "Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan." Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin. "Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggam
Hari ini kami telah kembali ke rumah. Meski hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, tapi rasanya lelah juga. Mungkin lelah karena perjalanan yang jauh."Gimana bulan madunya? Lancar nggak? Mama bisa cepet dapet cucu, kan?"Entah kenapa aku geli mendengar pertanyaan Mama barusan. Anaknya baru saja sampai bukannya ditanya kabar ini malah ditanya cucu."Aku capek, Ma. Mau istirahat dulu." Aku melenggang ke lantai atas. Ke kamarku dan Rafael. Sementara bocah itu mengekor di belakangku."Wah! Kayaknya mereka menggebu-gebu banget pas di sana, Pa. Lihat itu si Mayang sampai kecapekan kayak begitu," celetuk Mama sambil cekikikan. Sumpah, ya. Nggak Mama, nggak Papa, semua makin rese.Semenjak turun dari taksi tadi, kulihat Rafael hanya diam. Biasanya jika berbicara dengan Papa dan Mama, dia yang paling semangat menanggapi."Eh, lo kenapa diem bae?" tanyaku se
Sungguh, napasku bagai berhenti saat ini. Kurasa persediaan oksigen di sekitarku mendadak habis.Rafael kembali melangkah ke ranjang. Dia mengambil selimut dari sana, lalu merebahkan badan ke sofa. Aku baru bisa bernapas lagi setelah dia beranjak. Sungguh, bocah itu sepertinya memang memiliki kekuatan untuk membuat orang lain mati kutu.Baru saja aku merasa lega dan hendak menuju ranjang, kurasakan perutku sakit. Rasanya seperti ditusuk-tusuk, dicampur rasa perih dan juga mual. Ah, sangat tidak nyaman."Lo kenapa, Tan?" Rafael sigap membantuku berjalan sampai ke ranjang."Nggak tahu. Kayaknya maag gue kambuh. Baru juga tadi siang nolongin orang yang maag-nya kambuh. Eh sekarang gue sendiri yang ngalamin," jawabku dengan tangan memegangi perut."Tunggu sebentar. Gue cariin obat dulu." Rafael berlari keluar. Wajahnya tampak panik. Mungkin takut jika aku kenapa-kenapa. Dia perhatian
Toko kue kututup pada jam tujuh malam. Aku bergegas pulang setelah ingat bahwa Rafael tadi pagi berjanji akan mengajakku ke rumah Tata. Aku sungguh penasaran dengan perempuan itu. Seperti apa rupa dan sifatnya sampai-sampai Rafael begitu yakin bahwa akun itu bukan miliknya? Aku tiba di rumah bersamaan dengan Rafael. Dia juga baru sampai. Tiba-tiba saja dia merangkul bahuku dari samping. Sok akrab! Aku menghentikan langkah. Otomatis langkahnya pun terhenti. "Lo bilang tadi mau ajak gue ke rumah Tata?" Bukannya menjawab, Rafael justru menatapku lekat. Rasanya jadi salah tingkah begini. Ini bocah benar-benar pinter banget bikin orang kikuk. Aku meraup wajahnya hingga dia tertawa. "Woi! Denger nggak gue nanya apaan?" "Denger, Tan. Gue cuma lagi menikmati indahnya ciptaan Allah aja. Meski dalam keadaan lelah begini, lu tetep aja cantik," ucapnya pelan. Terdengar begitu tulus
Cafe sudah benar-benar tutup. Sekarang aku seperti orang bodoh yang menunggu ketidakpastian. Ada yang nyeri di dalam sini. Beginikah rasanya sakit hati? Apa aku ... benar-benar jatuh cinta pada Rafael?Inilah sebabnya kenapa aku sangat takut untuk mengikat hati dengan lelaki. Aku takut patah hati. Rasanya menyesakkan. Sungguh menyakitkan.Bulir hangat tiba-tiba saja mengalir dari pelupuk mata. Ah, akhirnya aku menangis karena hal yang paling kutakuti. Aku sungguh benci ini. Aku benci diriku yang lemah ini. Seharusnya aku tidak terlalu berharap Rafael untuk datang."Lo jahat, Raf! Gue benci sama lo!" teriakku seperti orang tak waras. Tidak ada siapa-siapa di sini. Suasana sudah sepi. Namun aku masih saja duduk di depan cafe seperti orang tolol."Jangan benci gue, Tan. Ntar gue nangis."Aku mendongak. Melihat sosoknya, ada macam-macam rasa di dalam sini. Bahagia, kesal, kecewa. Ah,