Share

Bulan Madu

Author: Kuriziki
last update Last Updated: 2022-02-18 00:13:01

Aku memijat kepala yang berdenyut. Berapa lama lagi aku harus menghabiskan waktu bersamanya? Yang ada nanti aku bisa gila jika terlalu lama bersama pemuda selengekan itu.

Aku bersiap hendak pergi ke toko. Sebenarnya terkadang aku merasa bosan juga dengan kegiatanku sehari-hari. Bangun tidur, ke toko, pulang, tidur lagi. Seperti itu terus. Aku sangat jarang menghabiskan waktu di luar untuk sekadar bertemu teman. Ah, aku bahkan tidak punya teman dekat. Meski itu perempuan sekali pun.

"May! Ayo sarapan dulu! Itu Ayang Beb kamu udah nungguin!"

Eh, apaan? Ayang beb? Mama apaan, sih?

Aku membuka pintu dengan kasar. Dapat kulihat raut terkejut di wajah malaikatku itu.

"Ayang beb apaan, Ma, maksudnya?" tanyaku dengan malayangkan tatapan tajam.

"Ya suami kamu lah. Siapa lagi coba?" jawab Mama dengan santainya. Dan seperti biasa, setelah menjawabku, beliau melenggang begitu saja tanpa memikirkan perasaan putrinya ini.

Aku menepuk jidat sendiri. Papa, Mama, Rafael, mereka semua sepertinya satu server. Klop pakai banget membuatku naik darah.

Setelah menyambar tas dan kunci mobil, aku bergegas turun. Bisa-bisa suara Mama yang merdu berubah menjadi lengkingan yang memekakkan telinga jika aku tak segera datang ke meja makan.

Aku duduk di sebelah Mama. Tepatnya di depan Rafael. Bocah menyebalkan itu mengedipkan sebelah matanya padaku. Ish! Enek banget lihatnya.

"Hari ini kalian nggak boleh kerja."

Aku mendongak. Menatap Papa yang baru saja berbicara. Sepertinya Rafael juga sedikit terkejut. Apa maksud Papa coba?

"Iya, nggak cuma hari ini. Tapi untuk satu minggu ke depan." Mama menimpali. Sebenarnya apa yang mereka katakan ini? Aku tak mengerti sama sekali.

"Papa sudah pesankan tiket untuk kalian pergi berbulan madu ke Bali. Gimana? Keren, kan, Papa?"

"Apa? Bulan madu?" pekikku dan Rafael bersamaan. Kami pun saling pandang dengan wajah sama-sama keberatan.

"Em, Pa, kurasa sepertinya itu nggak perlu. Aku harus bekerja untuk--"

"Tentu saja perlu." Mama memotong ucapan Rafael yang belum selesai. "Kalian ini pengantin baru. Jadi wajib dan harus pergi bulan madu. Biar Papa sama Mama cepet dapet cucu," lanjut Mama sembari terkekeh.

Aku dan Rafael terbatuk bersamaan. Sepertinya hidupku satu minggu ke depan akan sangat menyebalkan.

**

Kami terus saja mondar-mandir di samping ranjang. Memikirkan bagaimana cara agar aku dan dia tidak jadi pergi berbulan madu.

Saat aku berbalik, tak sengaja kami bertabrakan. Kuusap kening yang terasa berdenyut akibat terbentur dagu Rafael. Ya, tinggiku hanya sebatas dagunya. Aku memang lebih tua, tapi dia jauh lebih tinggi. Dan kalau boleh kuakui, badan Rafael sangat bagus. Tinggi dan berotot. Mungkin karena dia sudah terbiasa kerja keras sejak kecil.

Dia bilang, semenjak Ayahnya meninggal, dia membantu Ibunya mencari nafkah. Sungguh anak yang berbakti, bukan? Tapi tetap saja itu tidak akan membuatku luluh.

"Tante jalannya yang bener, dong. Main nabrak aja. Atau jangan-jangan Tante udah ngebet sama gue?"

Eh, ini bocah makin ngelunjak, ya.

Aku memukul lengannya dengan kencang. Tapi sepertinya bukan dia yang sakit, tapi tanganku sendiri.

"Aw!" pekikku karena merasa panas di telapak tangan akibat memukulnya.

"Tante kenapa?" Dia meraih tanganku, lalu meniupnya dengan lembut. Aku sampai menelengkan kepala demi melihat wajahnya yang sedang serius ini.

"Makanya jangan asal mukul. Tante tahu nggak kalau gue ini seperti salah satu tokoh pewayangan. Otot kawat balung wesi istilahnya," ucapnya menyombongkan diri.

Aku melengos sembari menarik tangan. "Gimana sekarang? Masa iya kita harus pergi bulan madu?"

"Tau lah, Tan. Gue juga bingung. Gue nggak pernah ngadepin situasi kayak gini. Jadi, ya, nggak ngerti. Tapi apapun itu, sebelum berangkat bulan madu, gue mau ke rumah Nyokap. Mau pamit sama beliau. Soalnya semenjak nikah, tiap hari gue pasti nyempetin diri buat nengokin beliau."

Aku terdiam. Mengamati sosok pemuda dua puluh tahun di depanku ini dengan lekat. Usianya memang jauh di bawahku. Tapi entah kenapa aku merasa bahwa pemikirannya bahkan jauh lebih dewasa dariku.

"El! May! Udah belum beres-beresnya? Cepetan berangkat! Ntar ketinggalan pesawat!" teriakan Mama sudah melengking dari luar kamar.

***

Baru aku tahu, ternyata Ibu Rafael sangat hangat dan ramah. Beliau begitu lembut dalam berbicara. Tidak seperti Mama yang ceplas-ceplos seenaknya saja. Tapi mau bagaimanapun Mama, beliau tetap yang terbaik.

Rafael memutar knop pintu kamar hotel. Entah kenapa aku jadi gugup sendiri. Padahal mau di sini atau di rumah sama saja. Kami tetap tidak akan tidur seranjang.

"Wah! Baru kali ini, Tan, gue masuk ke tempat yang namanya hotel. Ternyata nyaman juga. Pasti mahal banget, ya, bayarnya?" Dengan noraknya Rafael merebahkan badan sambil mendut-mendut di atas ranjang seperti anak kecil.

"Heh! Jangan malu-maluin lu! Norak banget!" Aku meletakkan koper di samping ranjang. Lalu turut duduk di benda empuk tersebut. Ranjang dengan sprei berwarna putih yang tampak elegan. Memang cocok untuk dijadikan tempat berbulan madu.

Rafael mendekat. Lagi-lagi jantungku berdegup kencang saat dia mulai mengikis jarak.

"Tan, orang bilang bulan madu itu biar cepet dapet anak. Gimana kalau kita bikin anak sekarang aja?"

What?

Aku sontak berdiri sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada, "Jangan harap!"

**

Malam ini kami memilih menghabiskan waktu di luar kamar. Jika terus berada dalam kamar bersama bocah itu, yang ada aku makin stres.

Kami berjalan bersisian di trotoar. Saat ini kami berjalan-jalan di sekitar hotel. Tempatnya sungguh indah dan nyaman. Tak banyak lalu lalang kendaraan di sini. Suasana terasa damai dan menenangkan. Ide Papa ini sepertinya tak sepenuhnya buruk. Aku bisa sedikit melepas rasa penat di tempat ini.

"Tan, elo kenapa, sih, nggak minat buat ngejalin hubungan sama cowok? Gue tahu elo itu normal. Terbukti dari pipi lo yang selalu merona pas gue deketin."

Aku mencebik, "Dasar sok tahu!"

"Tapi memang bener, kan, elu cewek normal?"

Aku menghela napas pelan, "Gue cuma nggak mau aja terikat dengan masalah hati. Gue takut dikhianati terus patah hati. Nyesek pastinya."

Terlihat dari ekor mataku Rafael manggut-manggut mengerti.

"Tapi gue orangnya setia, kok, Tan. Itu, sih, kalau Tante percaya. Kalau gue udah berkomitmen sama orang, pantang buat berkhianat."

Aku meliriknya sembari berdecih kecil. Kata-katanya itu sok bijak banget. Bukankah laki-laki memang selalu mengatakan itu? Mereka akan selalu berkata akan setia, tapi nyatanya ada yang kedua dan ketiga. Ah, sudah banyak buktinya di luar sana. Dan itu tak menutup kemungkinan juga terjadi pada Rafael.

So, apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah jatuh cinta padanya ataupun orang lain. Mendapat julukan perawan tua memang menyakitkan. Tetapi dikihianati sepertinya akan jauh lebih mengenaskan.

"Gue juga yakin, suatu saat nanti, Tante bakalan jatuh cinta sama gue."

Aku berhenti, lalu melayangkan tatapan tajam padanya. "Udah gue bilang gue nggak bakalan suka sama--"

Tubuhku terpaku saat sebuah kecupan singkat mendarat di bibirku. A-apa ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Perawan Tua   Akhir Sebuah Cerita

    "Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m

  • Bukan Perawan Tua   Mencari Talita

    "Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan

  • Bukan Perawan Tua   Kenekatan Fira

    "F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa

  • Bukan Perawan Tua   Kemunculan Fira

    "Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya

  • Bukan Perawan Tua   Datang ke Rumah Fira

    Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole

  • Bukan Perawan Tua   Mengorek Informasi

    Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status