Share

Keseleo

Author: Kuriziki
last update Last Updated: 2022-02-23 17:08:50

Meski awalnya aku sangat keberatan dengan rencana bulan madu konyol ini, tapi setelah melaluinya, rasanya tidak buruk. Rafael bukan lelaki yang terlalu suka ikut campur. Dia juga bukan pemaksa. Bahkan aku yang cenderung mengatur di sini.

Seperti saat ini, aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Dia tak menolak, juga tidak keberatan.

"Serius, Tan, elo belum pernah pacaran sekali pun? Atau mungkin suka sama orang gitu?"

Aku menggeleng. "Kalau pacaran nggak pernah. Kalau suka sama orang pernah. Dulu waktu masih SD."

"Jiah! Itu, sih, namanya cinta kunyuk, Tan."

Aku tergelak mendengarnya bilang cinta kunyuk. Rafael ini ternyata humoris juga. Tapi kadang humorisnya nyebelin.

"Jadi, elo juga belum pernah gandengan tangan kayak gini, dong?" Tanpa izin seperti semalam, dia menggandeng tangan kananku sambil senyum-senyum. Aku mencoba melepasnya, tapi genggamannya begitu erat.

Rasa panas di kedua pipi kembali terasa. Juga debaran di dada pun mulai mengencang. Tidak! Apapun yang terjadi, aku tidak akan terbawa perasaan. Tidak akan!

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain agar rona di pipiku tak terlihat oleh pemuda itu. Melihat hamparan air yang luas di depan sana sepertinya lebih benar.

Kami berjalan santai menyusuri bibir pantai. Angin yang berembus menggerakkan rambutku hingga jadi berantakan. Rafael menahan tanganku, memaksa langkahku agar berhenti.

Dengan telaten, pemuda itu membenahi rambutku yang berantakan. Detak jantungku makin menggila. Seumur-umur baru kali ini ada lelaki yang memperlakukanku begitu manis.

Aku mendongak. Memberanikan diri menatap wajah suamiku sendiri. Dari jarak dekat begini, wajah Rafael terlihat manis. Namun kulitnya sedikit kusam. Mungkin karena dia terlalu lama kerja di bengkel.

"Lihatin aja sepuasnya, Tan. Udah halal, kok," celetuknya. Aku memalingkan muka dengan senyum tertahan.

Usai merapikan rambutku, Rafael mengajakku berjalan kembali. Aku jadi teringat dengan pertanyaan yang sempat terlintas di kepala kemarin.

"Btw, pacar lo namanya siapa? Gue selalu denger elo manggil dia Ta. Tata?"

Rafael mengangguk. "Hm, namanya Talita. Tapi gue manggilnya Tata. Panggilan sayang lah istilahnya."

Aku berdecih lirih. Dasar anak muda zaman now. Pakai ada panggilan sayang segala.

"Dia pasti spesial banget buat lo. Kok lo rela nikahin gue dan ninggalin dia?" tanyaku lagi.

"Ya rela nggak rela, sih, Tan. Rasa sakit juga pasti ada lah. Apalagi setelah apa yang kami lalui selama ini, pasti sulit banget buat dilupain. Tapi gue yakin, tanpa gue pun dia masih bisa bahagia. Begitu juga sebaliknya. Sekarang, kan, gue dah punya elo."

"Ish! Geli gue dengernya."

Rafael tertawa. "Jangan takut jatuh cinta, Tan. Memang cinta nggak selamanya bikin bahagia. Nggak jarang juga cinta malah nyakitin. Tapi tanpa cinta, hidup nggak akan ada artinya. Coba aja lihat hidup lo. Ada yang berkesan nggak sebelum ketemu gue?"

Aku kembali berdecih. Tapi tak urung, otak berpikir juga. Rafael memang benar. Semua yang aku jalani selama ini membosankan. Sangat berbeda dengan setelah aku bertemu dia. Lebih ada warna di dalam hidupku. Kadang kesal, kadang ketawa, kadang juga berdebar-debar seperti ini. Nano nano lah pokoknya.

"Lu bener, sih. Hidup gue awalnya ngebosenin. Tapi semenjak ketemu lo, hidup gue jadi ada nyawanya. Tapi itu bukan berarti gue jatuh cinta sama elo, ya," ucapku ketus.

Rafael tertawa. "Itu mah karena belum aja, Tan. Lihat aja entar. Pasti juga bakalan jatuh cinta sama gue."

Aku menatapnya tajam. "Nggak bakal!"

Lalu berlari meninggalkannya.

"Bakal! Gue jamin!" teriaknya. Aku menjulurkan lidah sembari berjalan mundur. Mengejek setiap ucapannya itu.

Namun karena mundur-mundur, kakiku masuk ke dalam lubang di pasir. Lubang itu membuatku jatuh. Kupegangi kaki yang terasa ngilu. Sepertinya lubang ini buatan pengunjung iseng.

Kulihat Rafael berlari mendekat. Tapi sebelum dia sampai, ada yang lebih dulu menolongku. Seorang lelaki juga.

"Mari saya bantu," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangan. Kutoleh Rafael di depan sana yang langkahnya melambat.

Kuterima uluran tangan lelaki itu. Kakiku rasanya sakit sekali. Mungkin keseleo. Untuk berdiri saja sangat sakit. Bagaimana jika dipakai untuk jalan nanti?

"Sepertinya kakimu terkilir," ucap lelaki itu lagi.

"Elu nggak papa, Tan?" Rafael sedikit menyingkirkan laki-laki itu dari dekatku. Sepertinya dia tidak suka melihatku dekat-dekat dengan lelaki itu.

"Kayaknya gue nggak bisa jalan," jawabku sambil sesekali meringis kesakitan.

"Sepertinya kaki dia terkilir." Laki-laki itu berucap lagi. Aku dan Rafael menoleh padanya.

"Ya, saya tahu. Saya bisa urus istri saya sendiri. Terima kasih sudah membantunya."

Mulutku sedikit terbuka mendengar ucapan Rafael. Apa dia sedang cemburu sekarang?

"Istri? Kalian suami istri?" tanya laki-laki itu dengan raut wajah terkejut.

"Ya, kenapa memang?" Rafael kembali menyahut.

"Oh, nggak papa. Ya sudah saya permisi."

Rafael masih memandang laki-laki itu sampai benar-benar menjauh. Kenapa, sih, anak ini?

Aku memukul perutnya menggunakan lengan. "Kenapa, sih? Balik, yuk! Kaki gue sakit."

"Eh, iya. Sini, naik ke punggung gue."

"Hah?"

"Udah naik aja." Rafael sudah bersiap di depanku. Dia berjongkok agar aku lebih mudah naik ke punggungnya.

Aku menatap sekeliling dengan canggung. Malu jika dilihat orang. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak bisa jalan.

"Ayok, Tan!"

"Ish! Iya-iya!" Akhirnya aku naik ke punggungnya. Baru kali ini aku benar-benar dekat dengan seorang lelaki. Bersentuhan, berbagi cerita satu sama lain, bahkan berbagi ranjang meskipun tidak berbuat apa-apa.

"Badan lu enteng banget, Tan. Lu lagi diet, ya? Gue suka heran sama cewek. Buat apa, sih, diet segala? Mau-maunya nahan lapar," cerocosnya sok tahu.

"Eh, dasar bocah sok tahu! Gue nggak ada diet-dietan, ya. Badan gue emang segini aja dari dulu."

"Oh, gue kirain diet."

Kami telah sampai di kamar. Rafael mendudukkanku di bibir ranjang. Dia lalu keluar lagi. Ingin mencari minyak urut katanya.

Selang beberapa menit, Rafael kembali dengan sesuatu di tangan.

"Sini, mana yang sakit?" Dia berjongkok di bawahku. Dengan ragu-ragu, kuarahkan kaki yang tadi keseleo padanya.

"Dulu gue pernah diajarin sama nyokap buat ngurut. Kalau cuma keseleo kayak gini mah gampang buat gue," ucapnya sok iyes. Paling juga cuma ditekan-tekan doang. Malah bikin tambah sakit nanti. Dia ini selalu saja membanggakan diri sendiri. Kepedean istilahnya.

Mulut Rafael terus saja berbicara. Sementara tangannya juga terus mengurut. Rasanya nyaman juga. Saat dia memintaku menggerakkan kaki, rasanya sudah tak sesakit tadi. Ajaib!

"Gimana? Masih sakit nggak?" tanyanya memastikan.

Aku berdehem, "Ya, lumayanlah. Boleh juga pijitan lo."

"Apa gue bilang? Tangan gue ini punya sentuhan ajaib. Ya udah, lo istirahat aja." Rafael mengacak rambutku sekilas, kemudian berlalu menuju sofa tak jauh dari ranjang. Aku menghela napas dalam-dalam. Mencoba mengusir rasa aneh yang datang  tiap kali Rafael memperlakukanku dengan manis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Perawan Tua   Akhir Sebuah Cerita

    "Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m

  • Bukan Perawan Tua   Mencari Talita

    "Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan

  • Bukan Perawan Tua   Kenekatan Fira

    "F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa

  • Bukan Perawan Tua   Kemunculan Fira

    "Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya

  • Bukan Perawan Tua   Datang ke Rumah Fira

    Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole

  • Bukan Perawan Tua   Mengorek Informasi

    Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status