Share

Pendekar Sabre
Pendekar Sabre
Penulis: Elang Wicaksono

1. Lan Feiyu

Di negeri Peony, berdiri megah sebuah kerajaan Lembah yang sangat ditakuti oleh kerajaan lain. Kekuatan prajurit Lembah terkenal tidak bisa dikalahkan oleh siapapun. Bahkan Dewa pelindung pun ada di pihak Kerajaan Lembah yang dipimpin oleh Raja Lan Angkara. Lan Angkara merasa tidak sanggup lagi menjadi raja, karena pria itu ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan mengembala. Ia mempunyai putra bernama Lan Feiyu, putra satu-satunya yang akan menggantikannya menjadi raja. 

Namun, Lan Feiyu, Putra Mahkota Kerajaan Lembah selalu membangkang dengan ayahnya. Saat ayahnya menyuruhnya mengambil alih kerajaan, Lan Feiyu tetap memilih untuk bertapa dan melatih kekuatan bela dirinya. Seperti saat ini, Lan Feiyu tengah bertelanjang dada sembari duduk di atas air. Tubuh Lan Feiyu mengambang seolah air itu ada penyangganya. Matanya terpejam dan tangan yang berada di atas pahanya. Pria itu tengah duduk bersila dengan tenang. 

Lan Feiyu memiliki perawakan yang sempurna, tubuh tegap dan paras yang sangat rupawan. Rahang kokoh, hidung mancung dan kulit yang sangat bersih. Namun perangai pria itu sangat keras kepala dan seenaknya sendiri. 

“Pangeran Lan Feiyu, Raja memanggil Anda untuk menghadap,” ucap Wangga, pembantu raja yang berdiri di pinggir danau. 

Lan Feiyu membuka matanya, pria itu menatap ke depan di mana banyak tumbuh-tumbuhan hijau. Setiap kali melihat tumbuhan, Lan Feiyu berasa hidup kembali karena kesegarannya. 

“Pangeran,” panggil Wangga lagi. Lan Feiyu segera keluar dari danau dan mengambil bajunya yang ada di tepian danau. Lan Feiyu tidak menanggapi Wangga yang masih berdiri di sampingnya sambil menundukkan kepalanya dalam. 

Feiyu membelitkan baju putihnya, menata rambutnya sejenak sebelum mengambil pedangnya. Feiyu membuka sarung pedangnya, meneliti dengan seksama pedang yang baru ia asah.

Wangga yang tidak mendengar jawaban dari Feiyu pun melangkahkan kakinya dengan pelan. Namun semua terhenti saat tiba-tiba Feiyu mengacungkan pedangnya tepat di bawah dagu Wangga. 

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Feiyu, hanya pandangan pria itu yang menusuk tajam tepat pada manik mata Wangga. Wangga tidak berkutik, pria itu memejamkan matanya tatkala ujung pedang yang tepat di bawah dagunya membuatnya mengangkat dagu juga. Kalau ia bergerak sedikit, ujung pedang yang runcing itu pasti akan menusuknya. 

“Kamu tahu apa yang harus kamu katakan,” ucap Lan Feiyu. Suara serak nan dalam itu adalah suara yang didambakan banyak perempuan. Namun Feiyu jarang bersuara. Bisa dikatakan siapa yang mendengar suara Feiyu, orang itu akan menjadi orang yang beruntung. 

“Maafkan saya, Pangeran. Tapi berbagai alasan sudah saya gunakan. Sekarang Raja tidak mau menerima alasan apapun lagi,” ucap Wangga dengan takut. 

Lan Feiyu menarik pedangnya, pria itu menggerakkannya ke belakang. Dengan sekali ayunan, pedang itu menebas batang pohon. Suara pohon ambruk membuat Wangga sedikit berjingkat. 

Penduduk kerajaan bilang kalau Lan Feiyu adalah pangeran paling tampan di antara pangeran lainnya di berbagai kerajaan. Namun kalau marah, Lan Feiyu yang berhati malaikat bisa berubah menjadi iblis yang tidak akan mengampuni siapapun yang sudah berbuat salah. 

Wangga sedikit memundurkan kakinya. Pria itu dalam keadaan yang serba salah. Menuruti perintah raja atau menuruti perintah pangeran. 

“Tinggalkan saya sendiri!” titah Feiyu membalikkan tubuhnya. 

Feiyu tahu apa yang akan ayahnya ucapkan. Pasti ayahnya akan menyuruhnya untuk menggantikan posisi raja. Feiyu sama sekali tidak tertarik dengan tahta tersebut. Baginya hidup bebas lebih menyenangkan daripada terikat dengan banyak peraturan. Alasan lainnya, ia tidak sudi bila harus menikah. Acapkali ada kesempatan, pasti orang tuanya menjodohkannya dengan putri kerajaan lain. Feiyu tidak suka melihat perempuan yang sibuk menarik perhatian padanya. Feiyu lebih memilih berteman dengan alam, dengan pedangnya dan dengan kuda kesayangannya. 

“Pangeran, kali ini jaminannya kepala saya. Kalau saya tidak membawa Anda menghadap, kepala saya yang menjadi taruhan,” ujar Wangga menundukkan kepalanya. 

Feiyu yang akan pergi pun menghentikan langkahnya, pria itu menolehkan kepalanya sedikit ke arah Wangga. Wajah Feiyu sudah memerah, tangannya juga terkepal dengan kuat. Feiyu sudah bosan dengan ayahnya yang terus menyuruhnya memimpin, sedangkan dia sama sekali tidak tertarik. Namun rupanya, Raja tidak menyerah dengan usahanya. 

“Baik, saya akan ke sana,” putus Feiyu dengan final. Wangga menghembuskan napasnya dengan lega. 

Feiyu memasukkan pedangnya, pria itu bergegas menuju kuda hitam yang tidak jauh darinya. Feiyu segera menaiki kudanya dan menjalankan ke Istana Lembah. Feiyu dan kudanya menyusuri jalanan yang terjal dan melewati hutan belantara. Di ujung senja, pria itu dengan berani melewati rumah binatang buas yang siapa saja ke sana harus mengumpulkan keberaniannya termasuk Wangga. Wangga yang juga menaiki kuda menyusul dengan kuwalahan karena tidak bisa mengimbangi kecepatan Feiyu. 

Feiyu mendapatkan tempat yang enak di Istana, bahkan ada juga danau buatan di sana. Namun semua tidak bisa mengalahkan keindahan alam Negeri Peony, apalagi yang ada di bagian belantara hutam. Di balik hutan lebat yang tampak menyeramkan, ada danau indah yang biasa didatangi Feiyu untuk latihan bela diri. 

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Feiyu sampai di Istana. Kedatangannya disambut hormat oleh para prajurit yang berjejer rapi di sana. 

“Selamat datang, Pangeran,” ucap para prajurit menundukkan kepalanya dengan hormat. 

Feiyu tidak sedikit pun menoleh, pria itu segera menuju ke aula utama menghadap Sang Raja. Kedatangan Feiyu yang tiba-tiba membuat Raja dan Sang Permaisuri berdiri, beberapa orang di sana juga berdiri menyambut Feiyu. 

“Cepat katakan!” titah Feiyu tanpa basa-basi. Bahkan berbicara dengan raja, ia tidak bisa santai. 

“Lan Feiyu, kamu tahu apa yang akan saya ucapkan. Tidak ada alasan lagi untuk kamu menolak,” ujar Angkara. 

"Sampai kapan pun itu, jawaban tetap sama. Saya tidak bersedia mengambil alih tahta itu," jawab Feiyu. 

"Feiyu, kamu keturunan sah Kerajaan Lembah dan satu-satunya." 

"Anda masih bisa memimpin kerajaan. Jangan limpahkan semuanya pada saya. Kalau disuruh memilih, saya lebih baik memilih pergi dari Istana ini," ucap Feiyu yang membuat semua orang tercekat. 

Angkara mengeluarkan pedangnya dan mengacungkan pada putra semata wayangnya. "Jaga ucapanmu, Lan Feiyu!" bentak Angkara. 

Lan Feiyu mengangkat sudut bibirnya kecil, pria itu sama sekali tidak gentar diacungi pedang oleh penguasa terkuat di Negeri Peony. "Anda tahu siapa saya, Raja. Sekali saya mengatakan tidak, saya juga tidak akan melakukannya," ucap Lan Feiyu. 

"Kamu sudah membangkang, Lan Feiyu." 

"Itu yang saya lakukan sejak dulu." 

"Jangan sampai aku mengutukmu, Lan Feiyu!" desis Angkara dengan tajam. 

"Kutuk saja, Raja!" titah Lan Feiyu menantang. Bukan Lan Feiyu kalau tidak menantang apa ucapan ayahnya. 

“Sebelum seribu tahun, kamu tidak bisa hidup bersama cinta sejatimu!” teriak Raja Lembah dengan murka. Tangannya mengacungkan pedangnya tepat ke leher Putra Mahkota bernama Lan Feiyu.

Kali ini Raja benar-benar murka dengan ucapan anak semata wayangnya. Acapkali selalu membangkah titahnya, hingga kini Lan Feiyu, putra yang sudah dia besarkan memilih keluar dari istana daripada menjadi raja. 

Lan Feiyu, laki-laki bermata hitam legam itu hanya terdiam tidak mempercayai kutukan dari ayahnya. 

"Cih." Lan Feiyu berdecih dan segera membalikkan tubuhnya meninggalkan ayahnya. 

"Lan Feiyu," teriak Raja mengangkat tangannya ingin melempar pedangnya. Namun sebelum mengenai tubuh Lan Feiyu, Lan Feiyu sudah membalikkan diri dan menendang pedang itu hingga jatuh terpental.

Prang!

Suara pedang itu membuat Raja terdiam. Sekarang Putranya bukan lagi pria lemah, melainkan pria dengan kekuatan yang tidak bisa diragukan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status