Share

Bab 3

"Bangun, Al. Ayo, kita masuk," ujar Mama menarik kedua pundakku. 

Bingung. Sikap papa yang enggan bicara padaku membuat diri ini merasa tidak pantas untuk ikut masuk ke dalam rumah. Namun, untuk pergi pun aku tidak bisa. Papa sudah membawa Saffa ke dalam sana. 

Tidak mungkin aku berteriak meminta Saffa dari papa. Untuk memaksa agar Papa bicara padaku pun, aku tidak punya hak. 

Mulut-mulut Papa, mana bisa aku memaksakanya. Ah, aku benar-benar bingung.

"Alina, ayo!" Mama menarik kembali tanganku. 

"Tapi, Mah. Papa tidak bicara. Dia tidak memaafkan Alina."

"Ck'. Lima tahun berpisah, kamu sudah lupa dengan karakter papamu? Apa kamu tidak mendengar apa yang tadi dia katakan?"

Aku menggelengkan kepala tanda tidak paham. 

"Papa sudah menyuruh anak buahnya menyelidiki mantan suamimu, itu artinya dia akan membuat perhitungan dengan si Haikal itu. Sudah, ayo cepetan masuk," titah Mama lagi. 

Aku mulai bergerak. Berdiri dan melangkahkan kaki mengikuti Mama. 

Mata ini melihat ke sekeliling rumah. Tidak ada perubahan yang signifikan dari rumah ini. Suasananya, letak perabotannya pun hanya sedikit yang berubah. Dan satu lagi. Foto besar yang terpampang di ruang tamu membuatku menyunggingkan seulas senyum. 

"Papa tidak menurunkan foto itu?" 

Mama berhenti melangkah, melirik foto yang aku tunjuk. Foto sebuah keluarga yang tengah tersenyum bahagia. 

Papa, mama, kakakku dan ... aku. Itu adalah foto lama sebelum aku mengenal cinta. Di mana anak perempuannya ini masih menjadi gadis manis yang penurut. Bukan pembangkang seperti lima tahun yang lalu. 

"Apanya yang ingin diubah? Tidak ada yang harus diubah. Itu sudah benar, dan selamanya akan seperti itu," celetuk Papa yang ternyata berdiri tak jauh dari kami. 

Saffa yang tadi berada di gendongannya, kini sudah turun dan berdiri dengan tangan digandeng Papa. 

Benar kata mama. Lima tahun berpisah menjadikan aku anak yang tidak lagi mengenali sifat orang tuanya. Lupa, jika papa bukan tipe laki-laki yang suka berbasa-basi. Dia tegas, keras, namun ... pemaaf. 

Aku berjalan cepat ketika dengan sukarela Papa membuka kedua tangannya mempersilakanku untuk masuk ke dalam dekapan hangatnya. 

"Papa ...."

"Berhenti menangis. Ini bukan saatnya untuk meratap. Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu menjadi tanggung jawab Papa lagi," ujarnya membuatku semakin mengeratkan pelukan. 

Lama aku menenggelamkan wajah di dadanya yang masih gagah. Aku memang sudah berhenti menangis, tapi rasa sesal semakin besar ketika kurasakan kasih sayang mereka masih sangat begitu tulus untukku. 

Aku merasa, akulah anak yang paling bodoh. Mengabaikan restu demi sebuah hubungan yang tidak abadi. 

Sadar diri ini jika restu orang tua sangatlah penting. Sebesar apa pun cinta pasangan, tidak akan bisa menandingi tulusnya rasa cinta kasih orang tua. 

Aku sudah merasakannya sendiri. 

"Mama ... Cafa mau mamam."

Aku menarik diri, melepas pelukan dari tubuh Papa. Menatap wajah Saffa yang hanya diam melihatku dengan mata yang sendu. 

"Astaga, apa dia belum makan?" tanya Papa. 

Aku menggeleng lemah. 

Aku baru ingat jika tadi keluar dari rumah Mas Haikal tanpa sarapan. Tentulah putriku akan merasakan perutnya keroncongan. 

"Ya ampun, apa untuk memberikan makan satu anak pun dia tidak sanggup?" ujar Papa geram. 

Aku paham ke mana arah bicaranya. Sebelum papa semakin emosi, mama langsung menggendong putriku untuk membawanya ke meja makan. 

Mama juga memberikan isyarat padaku agar segera mengikuti dia tanpa harus menjawab pertanyaan Papa lagi. Bukan tidak sopan, tapi jika sudah mengobrol, papa akan lupa waktu. 

"Duh Gusti ... rasanya Bibi sedang bermimpi ini. Neng Alina beneran pulang?" 

Saat masuk ruang makan, aku disambut oleh Bi Narsih yang tak lain asisten rumah tangga di rumah ini. Lima tahun tidak berjumpa, wanita yang selalu mengomel jika aku bangun siang itu ternyata kini sudah banyak keriput di wajahnya. 

Betapa jahatnya aku meninggalkan orang-orang yang aku sayangi. 

"Apa kabar, Bi?" tanyaku seraya mencium tangannya. Dia sudah seperti orang tua kedua bagiku. 

"Baik, Neng. Ya Allah, ini anaknya Neng Alina?" Bi Narsih beralih mengelus kepala putriku. 

Aku hanya mengangguk untuk itu. Bi Narsih mencium kepala putriku dengan berlinang air mata. Ah, cengengnya dia tidak hilang meski usianya sudah semakin tua. 

"Sudah, Bi. Jangan main drama terus, biarkan cucuku makan. Mending Bibi beli cemilan anak-anak ke supermarket, gih," ujar Papa posesif, enggan cucunya diganggu. 

"Ih, nanti dulu, atuh, Pak. Masih mau lihat anaknya Neng Alina."

"Ngapain diliatain? Tidak kamu ucapkan pun, dia memang sudah cantik. Keturunan Dinata, gitu loh."

Aku masih menjadi penonton di sini. Humor papa sudah mulai keluar, meskipun ekspresinya masih tetap datar. Setidaknya, papa memang masih menerimaku dengan baik. 

"Iya, Pak iya." Bi Narsih berlalu. 

Kami pun mulai menikmati makan pagi yang sudah sangat terlambat. 

Hatiku sangat teriris ketika melihat Saffa makan dengan begitu lahapnya. Dia benar-benar kelaparan, juga sangat menikmati hidangan yang disuguhkan. Bagiamana tidak, lauk di sini tidak seperti lauk yang kami nikmati di rumah Mas Haikal dulu. 

Jika di rumah Mas Haikal, kami harus makan dengan lauk yang sedikit, tapi nasi yang banyak. Sedangkan di sini, Mama memberikan nasi yang sedikit, dengan lauk yang banyak pada piring Saffa. 

Sangat kelihatan jika putriku jarang sekali makan lauk yang enak. Bahkan dia makan dengan begitu cepat, membuat kami menghentikan menyuapkan makanan, dan hanya menonton Saffa saja. 

"Mama ... Cafa suka makan di sini. Ayamnya banyak, kalau di lumah nenek 'kan gak boleh makan banyak ayam, nanti bisa cacingan," celetuk Saffa membuat pandangan Mama dan Papa seketika menatapku dengan lekat. 

Aku hanya bisa menggigit bibir memahami arti tatapan itu. Dan bisa aku lihat, Papa mengepalkan tangannya dengan kuat hingga urat-urat di tangannya terlihat jelas. 

Ya Tuhan ... polos sekali putriku. Dia tidak tahu jika ucapan yang baru saja dia lontarkan akan menjadi sebuah ancaman untuk ayahnya. 

"Oh, ya? Nenek yang bilang begitu?" tanya Mama pada putriku. 

"Heem." Saffa mengangguk seraya bergumam. Matanya menyipit, karena mulut yang penuh terisi. 

"Ok, sebentar lagi nenek-nenek itu yang akan seperti cacing kepanasan. Tunggu saja," ujar Mama dengan seringai menakutkan. 

Bersambung

Komen (12)
goodnovel comment avatar
Ros Maulina
bacaan yg mendidik mks
goodnovel comment avatar
Ros Maulina
orang tua yg hebat
goodnovel comment avatar
Trisnadiasih Nym
Novel yang bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status