"Kita ke mana?"
"Ke rumah lah, masa iya ke panti jompo," ucapku ketus.
"Ke rumah Bapak? Emang masih akan diterima?"
Aku diam seribu bahasa.
Pertanyaan yang dilontarkan Adi membuatku memijit kepala yang sedikit cenat-cenut.
Benar apa kata Adi. Apakah seorang Alina Martadinata masih diterima di rumah itu?
Rumah orang tua yang sengaja ditinggalkan karena lebih memilih seorang pria yang dicintainya.
Ah, otakku seperti tidak berfungsi. Apa yang akan Papa katakan ketika nanti aku pulang. Tertawa. Iya, mereka pasti akan menertawakan kemalanganku.
"Jadi, kita akan ke mana, Non? Tetap ke rumah Bapak?" Adi mengulangi pertanyaan yang sama.
"Tidak."
"Lalu?"
"Kita ke ... ah, aku tidak tahu, Adi. Aku tidak punya tempat untuk tinggal sekarang ini. Jangankan rumah, baju pun aku tidak memilikinya. Yang aku punya hanya ... Saffa," ujarku seraya memeluk tubuh putriku.
Adi mengembuskan napas kasar. Supir pribadi yang selalu setia mengabdi itu tidak lagi bertanya. Ia tetap menjalankan roda empat, tanpa berucap lagi.
Lucu. Aku keluar dari rumah kedua orang tuaku, meninggalkan fasilitas mewah yang mereka sediakan demi hidup sederhana dengan seorang pria yang bekerja di perusahaan Papa.
Namun, Mas Haikal tidak tahu. Yang dia dan keluarganya tahu ialah, Papa hanyalah seorang pengusaha konveksi kecil dengan penghasilan sedikit. Padahal, pabrik garmen tempatku dan Mas Haikal bekerja masih dalam lingkup kekuasaan Papa.
Ada rasa kesal dan sesal pada diri ini. Coba saja jika dulu aku tidak keras kepala, mungkin jalan hidupku tidaklah sesakit ini. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang aku dapatkan sekarang adalah jalan yang aku pilih dahulu.
"Mama, Cafa nakal, ya?" ujar putriku membuat mata ini seketika melihat ke arahnya.
"Enggak. Kata siapa Saffa nakal?" Aku mengelus pipi chubby-nya dengan lembut.
"Kalau Cafa enggak nakal, kok, ayah tadi malah-malah."
Aku menarik tubuh mungil itu dan memeluknya dengan erat. Bukan Saffa yang nakal, tapi memang ayahnyalah yang jahat.
Hanya karena aku melahirkan seorang putri, dia enggan untuk mengakui Saffa sebagai putrinya. Mas Haikal akan berbuat baik kepada Saffa, saat di depan orang saja. Dan itu sudah sejak Saffa lahir.
Bodohnya aku, masih percaya akan ada keajaiban yang merubah sikap buruk suamiku kepada putrinya. Tapi, nyatanya enggak. Tiga tahun usia Saffa sekarang, hanya mendapatkan kasih sayang dari diriku saja. Ayahnya nol besar.
"Kita sampai."
Aku mengangkat kepala melihat ke sekitar dan ... rumah Papa?
"Adi, kamu membawaku pulang?" ujarku kaget luar biasa.
"Wanita yang diceraikan suaminya, lebih baik pulang ke rumah orang tuanya. Di sana Nona akan dijaga dengan baik."
"Bukankah tadi kamu bilang belum tentu aku akan diterima lagi di sini. Lalu kenapa kamu malah membawaku ke sini?"
Kesal sekali aku pada supir itu. Dia membawaku ke rumah papa, di saat aku belum siap untuk bertemu dengan mereka.
"Jangan memikirkan ego, Non. Lihatlah gadis kecil yang ada dalam dekapan Non Alina. Apa Non, akan tega membiarkan dia sendirian di saat ibunya harus bekerja mencari uang?" ujar Adi seraya melirik ke arah Saffa.
Aku mengusap kepala putriku. Melihat wajah polosnya yang tidak mengerti dengan permasalahan orang tuanya ini.
Benar. Dengan siapa Saffa tinggal jika aku harus bekerja? Tapi ... untuk kembali kepada Papa pun rasanya aku sangat malu. Kebodohan yang aku buat akan sangat memalukanku di depan Papa.
"Mama, kita di mana?" tanya Saffa yang tidak aku jawab.
Aku diam dengan hanya menatap rumah besar di depan sana. Adi sudah keluar dari mobil. Ia masuk ke dalam rumah dan pastinya akan mengatakan keberadaanku kepada Papa.
Aku harus apa? Aku tidak siap pulang dengan keadaan yang seperti ini.
"Non, turun!" Adi membuka pintu mobil menyuruhku keluar.
"Di ...."
Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat mata ini melihat siapa yang tengah berdiri di teras rumah.
Papa. Ia melihat ke arahku dengan ekspresi datar. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celana membuatnya terlihat lebih berwibawa.
"Alina!"
Suara teriakan seorang perempuan membuat air mataku luruh seketika. Namun, langkahnya ditahan Papa yang dengan sengaja mencekal tangan Mama.
'Semarah itukah Papa, hingga ia tidak mengijinkan Mama untuk menghampiriku?'
Saffa yang tidak mengerti apa-apa hanya diam saja melihat aku yang tiba-tiba menangis.
"Temuilah mereka, Non. Bukankah seharusnya seorang anak yang menghampiri orang tuanya, bukan orang tua yang menghampiri anaknya?" tutur Adi menyadarkanku.
Iya, harusnya memang seperti itu.
Di sini akulah yang salah. Akulah yang telah berdosa. Tanpa kata lagi, aku turun dari dalam mobil. Saffa sudah digendong Adi sesaat sebelum aku keluar.
Aku berlari kecil ke arah kedua orang tuaku dan bersimpuh di kaki Mama.
"Mah ...."
Tak mampu kata itu keluar dari bibirku. Yang aku bisa hanya menangis sesenggukan menyesali keputusan.
"Bangunlah, Al. Mama sudah memaafkanmu," tutur Mama menarik kedua pundakku.
Aku enggan untuk mengangkat kepala. Rasanya sangat malu meski hanya sekedar menatap wajah Mama.
"Alina banyak salah sama Mama," ujarku terisak dengan memeluk kaki Mama.
"Tidak, Sayang. Kamu tetap anak baiknya Mama."
Mama terduduk, ia memeluk tubuhku yang bergetar karena menangis sesenggukan. Namun, reaksi biasa saja diperlihatkan papa padaku. Ia sama sekali tidak berucap sepatah kata pun melihat istri dan anaknya yang menangis tergugu di sampingnya.
Puas meluapkan rasa sesal pada mama, kini tanganku beralih memeluk kaki papa.
Abai. Papa seakan mati rasa. Ia sama sekali tidak tersentuh dengan rengekan kata maaf yang kuucapkan berulang kali.
"Pah, Papah tidak memaafkan Alina?" ujarku mendongak melihat wajah itu.
Namun reaksinya tetap datar. Papa menatapku dengan biasa saja.
"Adi, berikan anak itu padaku," ujar Papa meminta Saffa.
Adi memberikan putriku pada Papa. Hatiku cemas, takut jika Papa akan berbuat kasar kepada Saffa. Namun, hal yang tidak terduga justru dilakukan Papa. Dengan gemas, Papa menciumi kedua pipi Saffa membuat putriku meringis geli dengan jenggot orang tuaku itu.
"Dia membuangmu, heh?" ujar Papa dengan menatap wajah putriku.
Kemudian sebelah tangannya mengambil ponsel dan langsung menghubungi seseorang.
"Ya, halo. Cari tahu kinerja orang yang bernama Haikal di garmen cabang. Laporkan dengan detail, tanpa ada yang kurang. Aku tunggu malam ini," pungkasnya lalu masuk ke dalam rumah seraya membawa putriku.
Bersambung
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan