"Huft, ternyata ngerjain orang itu menegangkan," ujarku langsung menghenyakkan bokong pada kursi. Membuka tutup botol, menegak air minum yang ada di dalamnya.
Satu persatu orang-orang mulai berdatangan menghampiri tempat duduk mereka masih-masing.
Bisa aku dengar jika mereka datang seraya membahas apa yang baru saja terjadi di toilet yang letaknya berada di dekat grup A. Sedangkan aku, berada di grup G dengan ketua grup yang tak lain adalah mantan suamiku sendiri.
Ih, malas sekali harus bertemu setiap hari dengannya. Bersikap santun pada pria yang sudah menggoreskan banyak luka dalam hidupku.
"Lin, kamu berantem dengan Mbak Amira?"
Aku menoleh pada teman satu grup yang langsung menghampiri mejaku.
"Ih, berantem apaan?" ujarku mengerutkan kening, mengedikkan bahu.
"Itu, di grup A rame pada ngomongin kamu. Katanya kamu jorokin Qiusi mereka sampai bokongnya basah kena air di toilet," ujar Nela lagi.
Aku menarik tangan temanku itu agar merendahkan tubuhnya. Berbisik di telinga dia mengakui perbuatanku.
"Astaga Alina, cari masalah aja, lu. Tuh, lihat orang-orang melihat ke arah kamu, Lin."
Aku mengedikkan bahu. Tidak peduli dengan drama yang dibuat si Amira. Sudah biasa, dia akan terus membuat orang-orang di grupnya tidak menyukaiku dan membela dia yang katanya menjadi istri muda paling teraniaya.
"Bodo amat, Nel. Sudah biasa, 'kan kalau pihak sana membela anggotanya?" ucapku pada Nela.
"Iya, sih. Tapi, ya jangan cari masalah lah. Kamu 'kan sudah bukan siapa-siapa Pak Haikal lagi. Nanti orang-orang malah benci kamu dan peduli dia."
"Iya, iya. Enggak lagi, deh. Untuk hari ini saja, hari berikutnya lebih dari itu."
"Dasar." Nela melirikku tajam, dan aku balas dengan menaik turunkan alis padanya.
Aku tidak akan memukul kalau dia tidak mencubitku duluan. Sudah jelas sekali jika Amira yang mencari gara-gara tadi. Selama ini aku diam, tapi rasanya kediamanku terlalu menguntungkan dia.
Tidak ada salahnya sekarang aku ingin mencoba melawannya.
Bel tanda masuk sudah berbunyi. Aku disibukkan dengan setumpuk pekerjaan yang kemarin aku tinggalkan. Sudah biasa seperti ini. Tidak masuk satu hari, hari berikutnya pasti keteter.
"Ekhem!"
Aku menoleh ke samping kiri yang ternyata ada seseorang tengah berdiri memperhatikanku. Aku abai, pura-pura tidak mengetahuinya.
"Istirahat nanti, temui aku," ujarnya membungkukkan badan seolah tengah mengoreksi pekerjaanku.
"Tidak mau," kataku menolak.
"Jangan membantah, Alina. Kamu harus membayar perbuatanmu kepada istriku tadi."
Oh, ternyata Mas Haikal sudah tahu kalau aku mengerjai istrinya. Bagus, biar laki-laki rakus itu tahu, aku tidaklah selemah yang dia pikirkan.
"Istrimu duluan yang mulai," kataku tanpa melihatnya.
"Temui aku di parkiran pada saat jam istirahat. Kalau tidak, aku akan memecatmu dan aku pastikan kamu dan anakmu tidak akan bisa makan sekalian," ancam Mas Haikal membuatku geram.
Bukan takut akan ancamannya, tapi benci dengan kata-kata dia yang seolah Saffa itu hanyalah anakku.
BRAKK!
Tangan yang sedari tadi sudah terkepal kuat, aku gebrakan pada meja panjang yang berada di sampingku. Aku berdiri dengan tatapan tajam pada pria yang pernah aku gilai itu. Menarik napas panjang, memejamkan mata lalu ....
"Mbak Amira! Suamimu mengajakku rujuk! Aku, gak sudi ...!" teriakku dengan sekencang mungkin.
Sontak saja, perbuatanku itu mengundang perhatian banyak pasang mata. Bukan hanya menoleh, orang-orang yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya bersorak membuat suasana terasa sangat panas.
Wajah Mas Haikal merah padam. Dengan menahan rasa kesal, dia langsung berjalan ke depan seraya mengusap keningnya.
"Diam! Semuanya diam dan kembali bekerja!"
"Kerja kerja kerja!"
Suara ketua grup terdengar saling bersahutan menghentikan anak buahnya yang masih mengomentari aksiku. Sedangkan di sana, wajah seorang wanita terlihat menahan amarah menatap tajam ke arahku.
Ini baru permulaan, nanti mereka akan mendapatkan kejutan yang lebih besar dari ini, tentunya yang tidak akan pernah orang-orang itu bayangkan sebelumnya.
Tunggu saja.
*
Waktu pulang sudah tiba. Aku segera keluar dari pabrik untuk menemui Mama yang datang menjemputku dengan Saffa.
Tadi, pada saat istirahat makan siang Mama menelepon dan akan langsung membawaku pergi jalan-jalan.
Sebenarnya badanku cukup lelah untuk pergi jalan-jalan, tapi aku tidak kuasa untuk menolak keinginan Mama. Apalagi, Mama bilang untuk menyenangkan hati Saffa yang ingin membeli boneka baru.
"Mama!" seru anakku seraya bertepuk tangan.
Aku berlari kecil menghampiri mereka yang tengah berdiri di sebrang jalan tepat di samping mobil milik Mama.
Sengaja Mama memakai kaca mata hitam serta masker agar petinggi pabrik ini tidak mengenali orang tuaku itu.
"Halo, Sayang," ujarku menyapa putri kecil yang menggemaskan itu.
Jika dibandingkan dengan beberapa garmen milik papa, pabrik ini termasuk paling kecil dan letaknya pun bukan di pusat kota. Dan baru kali ini aku melihat Mama datang ke sini selama hampir lima tahun bekerja.
Para karyawan pun rata-rata tidak ada yang tahu bagaimana wajah pemilik PT. AA Garment. Yang mereka tahu, bosnya itu sangat sibuk hingga tidak ada waktu untuk datang berkunjung melihat tempat usaha ini. Selalu mengirimkan utusan di setiap ada pertemuan.
Padahal alasan yang sebenarnya ialah karena ada aku di sini. Papa tidak mau semua orang tahu jika aku adalah putri mereka. Saking marahnya papa, ia sampai melarangku menyebut namanya di lingkungan hidupku.
"Silahkan kamu menikah dengan laki-laki itu, tapi jangan pernah mengakui kami sebagai orang tuamu. Tinggalkan atribut putri Dinata dan pergi hanya sebagai Alina," ucap Papa kala itu.
Bodohnya, aku tetap pergi meskipun orang tua tidak meridhoi. Dan hasilnya, sudah aku nikmati.
"Saffa, ikut jemput Mama?" ucapku seraya berjongkok mengecup pucuk kepala putriku.
"Iya. Kata Oma, kita akan jalan-jalan."
"Waaah, benarkah?"
"Iya, Mama!" ujar Saffa antusias.
Aku tertawa senang melihat wajah bahagia Saffa. Rasa lelahku seketika hilang dengan hanya melihat senyuman Saffa.
Mama sudah masuk terlebih dahulu ke dalam mobil, bersiap untuk mengendarai roda empatnya.
Saat aku membuka pintu, Saffa terlepas dari peganganku dan langsung berlari menyebrangi jalan sambil berteriak memanggil seseorang yang tengah membukakan pintu mobil untuk istrinya.
"Ayah ...!"
Mas Haikal membalikkan badan, lalu segera berjalan mengelilingi mobil hingga akhirnya masuk ke dalam tunggangannya dan pergi meninggalkan putriku yang berdiri di tengah jalan.
Ubun-ubunku seketika mendidih melihat pemandangan itu. Bohong, jika tadi Mas Haikal tidak melihat Saffa.
Sudah sangat jelas, jika dia membalikkan badan melihat ke arah putrinya. Namun, kesombongan dia membuat mata hatinya tertutup. Mas Haikal memilih pergi tanpa ingin menyapa Saffa sebentar saja.
"Kurang ajar!" ujar Mama geram.
Buru-buru aku lari untuk mengambil putriku yang masih mematung melihat kepergian ayahnya. Hingga akhirnya aku dikejutkan dengan suara teriakan orang-orang ketika melihat sebuah motor melaju kencang ke arah Saffa.
"Awaaass!"
"Saffa ...!"
Bersambung
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan