Share

Sembilan

Bu Asih bergeming, sudah lama semuanya tertutup rapat. Bahkan keberadaan mereka di desa itu pun pihak keluarga tak ada yang tahu. Masa lalu tertutup rapat hingga kini dan mungkin tak akan ia ceritakan pada sang anak.

Pak Anjar semakin pucat, penyakitnya yang menggerogoti dirinya pun sudah lama tak bisa di sembuhkan karena biaya. Keuangan mereka hancur kala terus menerus berobat. Beberapa simpanan emas pun ludes terjual.

“Bu, kenapa enggak bilang sama aku kalau Bapak sakit sudah lama,” ujar Anisa.

“Kami tidak mau membuat kamu cemas, lagi pula kami pikir kamu akan sibuk dengan suamimu. Bapak juga enggak mau bikin kamu cemas, Nis,” jawab sang ibu.

“Kaya gini yang bikin aku cemas, Bapak kita rujuk saja ke Jakarta.”

“Ibu sudah enggak ada uang lagi.”

Anisa bergeming, ia pun tak memiliki biaya. Bahkan hanya membawa baju saja keluar dari rumah sang suami. Emas yang di berikan Wisnu pun tak ia bawa karena malas jika di tuduh membawa barang yang bukan miliknya walau itu sang suami memberikannya saat belum ada goncangan orang ketiga.

“Bapak juga sudah lebih baik, dia hanya syok mendengar perpisahan kamu. Tuh, sudah sehat kan. Sudah bisa tidur nyenyak,” tunjuk sang ibu.

Tetap saja Anisa merasa takut jika terjadi sesuatu dengan sang ayah. Harusnya ia tahu sejak lama dan bisa membawa ayahnya berobat di Jakarta dan mengurus semua dokumen untuk merujuk ke rumah sakit di kota.

Namun, semuanya sudah terlambat. Kalau mereka ke Jakarta, akan tinggal di mana karena tak ada sanak saudara pikir Anisa.

“Iya sudah, Bu. Anisa mau istirahat.”

Anisa masuk ke kamar lamanya, walau sudah tak pernah ia tempati, kamar itu selalu bersih dan rapi karena sang ibu selalu merapikan setiap pagi dan berharap sang anak menempatinya lagi.

Anisa mengambil ponsel di tasnya, terlihat banyak panggilan tak terjawab dari sang suami. Tak ketinggalan pesan masuk Wisnu, ia pun kembali menaruh di nakas dan tidak sama sekali berniat membalasnya.

“Sudah tiada, bagi terasa.” Anisa bergumam sendiri.

Anisa pun sejujurnya merasa syok, ia pikir sang suami setia dan sayang dengan cobaan yang mereka hadapi. Lamanya belum di karuniai seorang anak membuat Wisnu selalu menguatkan Anisa. Sempat ia berpikir jika sang suami adalah pria paling sempurna. Akan tetapi, terpatahkan begitu saja saat perselingkuhan yang sangat rapi itu terbongkar.

Anisa mengusap air mata, ia berjanji tak akan menangisi Wisnu yang sudah berkhianat. Hanya karena dirinya tak bisa memberikan anak, bukan berati dia bisa sembarangan menikah lagi tanpa persetujuan dirinya.

***

Sinta merajut sejak tadi, ia merasa sang suami mengabaikannya padahal baru hari kedua pernikahan mereka. Semenjak Anisa ke luar dari rumah itu, Wisnu merasa tak tenang memikirkan istrinya.

“Mas, kamu kenapa sih? Aku tanya diam, aku ajak bicara diam, kamu sakit?” tanya Sinta.

“Bukan seperti itu, tapi aku cemas sama Anisa. Sampai sekarang dia enggak ada kabar,” ujar Wisnu.

“Mas, dia kan yang memilih pergi. Untuk apa Mas pikirin dia, ada aku di sini yang setia menemani Mas, kita baru saja menikah.”

Wisnu mengusap wajah kasar, ia mencoba tak memikirkan Anisa, tapi memang tidak bisa. Tidak mungkin dia tak memikirkan wanita yang sudah lama bersamanya, apalagi Anisa itu tak pernah ke luar rumah tanpa dirinya.

“Aku mengerti, tapi kamu juga harus paham, dong. Apa yang kamu inginkan sudah terwujud, kita sudah menikah. Dan kamu pun awalnya enggak mempermasalahkan Anisa yang masih menjadi istriku.” Wisnu bersuara, ia tak suka dengan apa yang di katakan Sinta. Walau bagaimanapun, Anisa adalah istrinya.

“Kamu masih cinta sama dia, Mas?” tanya Sinta meninggikan suara.

“Sudah, Sin. Jangan buat aku tambah emosi. Tolong, mengerti aku sekarang,” pinta Wisnu.

Sinta membanting pintu kamar, ia tak suka jika sang suami masih memikirkan istri pertamanya. Walau benar apa yang di katakan Wisnu jika memang dirinya sejak awal tidak mempermasalahkan pernikahannya dengan Anisa. Yang terpenting mereka sudah menikah walau dirinya merasa cemburu.

“Sial sekali aku, kenapa sih dia masih memikirkan si Anisa. Sudah bagus dia pergi, sudah enggak ada penghalang aku. Tapi kenapa sih masih aja mencarinya, kalau dia kembali lagi, susah aku menguasai semuanya. Ah, sialan tuh Anisa, menyusahkan saja.” Sinta menggerutu sendiri karena kesal.

Harusnya mereka kini berbulan madu, tapi Wisnu masih saja mencoba menghubungi Anisa istri pertamanya.

Sementara itu, Bu Atik kebingungan karena terbiasa semua yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah Anisa. Kini ruang tamu masih kotor dan berantakan, belum lagi sepagi ini ia belum makan karena kesiangan bangun.

“Aduh, bagaimana ini. Males sekali aku keluar. Ternyata susah juga enggak ada si Anisa itu. Coba aku bisa menahannya lebih lama, aku enggak akan pulang seperti ini,” ujar Bu Atik.

Wanita tua itu mencoba menelepon Windy sang anak untuk datang dan membawakannya nasi. Namun, Windy tak juga mengangkat telepon darinya. Ia pun gegas ke laut rumah dan berjalan agak jauh untuk membeli makanan untuk sarapan.

“Bu Atik, tumben keluar, biasa menantu kesayangan yang belanja,” sapa tukang sayur yang biasa mangkal tak jauh dari gerbang rumah Bu Atik.

“Oh, Nisa lagi pulang kampung. Jadi, susah kan saya ni,” gerutunya.

“Oh, pantes Bu Atik keluar. Kan, biasanya takut sama matahari,” ledek salah satu ibu-ibu yang sedang belanja.

Bu Atik masam, tapi malas meladeni mereka. Keburu lapar, ia pun langsung gegas menuju warung nasi yang tak jauh dari gerbang kompleksnya juga. Ia pun langsung memesan nasi dan lauk.

Memang susah pikirnya jika tak ada Anisa, biasanya ia hanya berteriak dan makanan pun sampai. Tidak seperti sekarang, dirinya harus ke luar sendiri dengan terpaksa.

***

Kondisi Pak Anjar tiba-tiba saja memburuk. Napasnya sudah terasa sesak, bahkan saturasi oksigennya pun rendah. Mereka pun membawa ke puskesmas terdekat karena ke rumah sakit pun tak ada kendaraan.

Anisa mencoba menenangkan sang ibu yang sejak tadi menangis dan lemah melihat kondisi sang suami yang seperti itu. Ia pun sejujurnya panik, tapi mau bagaimana lagi, jika ia tak tenang, bagaimana dengan ibunya.

Dokter puskesmas sudah memeriksa sang ayah, mereka pun menyarankan untuk membawa Pak Anjar ke rumah sakit kota. Anisa berpikir keras, ayahnya tak ada BPJS, kalau pun harus di rujuk, ia tak punya uang. Anisa semakin cemas karena melihat sang ayah sudah sangat lemah. Suster pun sudah membawa tabung oksigen untuk sang ayah.

“Bu, jaga Nisa kalau Bapak enggak ada.”

“Pak, jangan bicara seperti itu, Bapak pasti sehat,” ujar Anisa.

“Iya, Pak. Jangan macam-macam bicaranya,” ujar sang istri.

“Bapak, sudah tidak kuat. Kabari keluarga di Jakarta, kasih tahu kalau Anisa anak aku,” ujar Pak Anjar.

Anisa mengernyitkan kening, ia tak mengerti dengan apa yang di katakan sang ayah. Mungkin ia pikir sang ayah sedang mengigau karena sudah lelah. Tidak lama, jerit tangis Bu Asih terdengar begitu nyaring, sama halnya dengan Anisa, yang memeluki tubuh sang ayah yang sudah tak bernyawa lagi.

“Bapak!”

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
ita hariyanti
Kadang Wisnu kadang Wahyu,,perlu koreksi lagi
goodnovel comment avatar
Bagus Budiwijaya
menarik perjuangan seorang istri yang di khianati
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status