Bu Asih bergeming, sudah lama semuanya tertutup rapat. Bahkan keberadaan mereka di desa itu pun pihak keluarga tak ada yang tahu. Masa lalu tertutup rapat hingga kini dan mungkin tak akan ia ceritakan pada sang anak.
Pak Anjar semakin pucat, penyakitnya yang menggerogoti dirinya pun sudah lama tak bisa di sembuhkan karena biaya. Keuangan mereka hancur kala terus menerus berobat. Beberapa simpanan emas pun ludes terjual.
“Bu, kenapa enggak bilang sama aku kalau Bapak sakit sudah lama,” ujar Anisa.
“Kami tidak mau membuat kamu cemas, lagi pula kami pikir kamu akan sibuk dengan suamimu. Bapak juga enggak mau bikin kamu cemas, Nis,” jawab sang ibu.
“Kaya gini yang bikin aku cemas, Bapak kita rujuk saja ke Jakarta.”
“Ibu sudah enggak ada uang lagi.”
Anisa bergeming, ia pun tak memiliki biaya. Bahkan hanya membawa baju saja keluar dari rumah sang suami. Emas yang di berikan Wisnu pun tak ia bawa karena malas jika di tuduh membawa barang yang bukan miliknya walau itu sang suami memberikannya saat belum ada goncangan orang ketiga.
“Bapak juga sudah lebih baik, dia hanya syok mendengar perpisahan kamu. Tuh, sudah sehat kan. Sudah bisa tidur nyenyak,” tunjuk sang ibu.
Tetap saja Anisa merasa takut jika terjadi sesuatu dengan sang ayah. Harusnya ia tahu sejak lama dan bisa membawa ayahnya berobat di Jakarta dan mengurus semua dokumen untuk merujuk ke rumah sakit di kota.
Namun, semuanya sudah terlambat. Kalau mereka ke Jakarta, akan tinggal di mana karena tak ada sanak saudara pikir Anisa.
“Iya sudah, Bu. Anisa mau istirahat.”
Anisa masuk ke kamar lamanya, walau sudah tak pernah ia tempati, kamar itu selalu bersih dan rapi karena sang ibu selalu merapikan setiap pagi dan berharap sang anak menempatinya lagi.
Anisa mengambil ponsel di tasnya, terlihat banyak panggilan tak terjawab dari sang suami. Tak ketinggalan pesan masuk Wisnu, ia pun kembali menaruh di nakas dan tidak sama sekali berniat membalasnya.
“Sudah tiada, bagi terasa.” Anisa bergumam sendiri.
Anisa pun sejujurnya merasa syok, ia pikir sang suami setia dan sayang dengan cobaan yang mereka hadapi. Lamanya belum di karuniai seorang anak membuat Wisnu selalu menguatkan Anisa. Sempat ia berpikir jika sang suami adalah pria paling sempurna. Akan tetapi, terpatahkan begitu saja saat perselingkuhan yang sangat rapi itu terbongkar.
Anisa mengusap air mata, ia berjanji tak akan menangisi Wisnu yang sudah berkhianat. Hanya karena dirinya tak bisa memberikan anak, bukan berati dia bisa sembarangan menikah lagi tanpa persetujuan dirinya.
***
Sinta merajut sejak tadi, ia merasa sang suami mengabaikannya padahal baru hari kedua pernikahan mereka. Semenjak Anisa ke luar dari rumah itu, Wisnu merasa tak tenang memikirkan istrinya.
“Mas, kamu kenapa sih? Aku tanya diam, aku ajak bicara diam, kamu sakit?” tanya Sinta.
“Bukan seperti itu, tapi aku cemas sama Anisa. Sampai sekarang dia enggak ada kabar,” ujar Wisnu.
“Mas, dia kan yang memilih pergi. Untuk apa Mas pikirin dia, ada aku di sini yang setia menemani Mas, kita baru saja menikah.”
Wisnu mengusap wajah kasar, ia mencoba tak memikirkan Anisa, tapi memang tidak bisa. Tidak mungkin dia tak memikirkan wanita yang sudah lama bersamanya, apalagi Anisa itu tak pernah ke luar rumah tanpa dirinya.
“Aku mengerti, tapi kamu juga harus paham, dong. Apa yang kamu inginkan sudah terwujud, kita sudah menikah. Dan kamu pun awalnya enggak mempermasalahkan Anisa yang masih menjadi istriku.” Wisnu bersuara, ia tak suka dengan apa yang di katakan Sinta. Walau bagaimanapun, Anisa adalah istrinya.
“Kamu masih cinta sama dia, Mas?” tanya Sinta meninggikan suara.
“Sudah, Sin. Jangan buat aku tambah emosi. Tolong, mengerti aku sekarang,” pinta Wisnu.
Sinta membanting pintu kamar, ia tak suka jika sang suami masih memikirkan istri pertamanya. Walau benar apa yang di katakan Wisnu jika memang dirinya sejak awal tidak mempermasalahkan pernikahannya dengan Anisa. Yang terpenting mereka sudah menikah walau dirinya merasa cemburu.
“Sial sekali aku, kenapa sih dia masih memikirkan si Anisa. Sudah bagus dia pergi, sudah enggak ada penghalang aku. Tapi kenapa sih masih aja mencarinya, kalau dia kembali lagi, susah aku menguasai semuanya. Ah, sialan tuh Anisa, menyusahkan saja.” Sinta menggerutu sendiri karena kesal.
Harusnya mereka kini berbulan madu, tapi Wisnu masih saja mencoba menghubungi Anisa istri pertamanya.
Sementara itu, Bu Atik kebingungan karena terbiasa semua yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah Anisa. Kini ruang tamu masih kotor dan berantakan, belum lagi sepagi ini ia belum makan karena kesiangan bangun.
“Aduh, bagaimana ini. Males sekali aku keluar. Ternyata susah juga enggak ada si Anisa itu. Coba aku bisa menahannya lebih lama, aku enggak akan pulang seperti ini,” ujar Bu Atik.
Wanita tua itu mencoba menelepon Windy sang anak untuk datang dan membawakannya nasi. Namun, Windy tak juga mengangkat telepon darinya. Ia pun gegas ke laut rumah dan berjalan agak jauh untuk membeli makanan untuk sarapan.
“Bu Atik, tumben keluar, biasa menantu kesayangan yang belanja,” sapa tukang sayur yang biasa mangkal tak jauh dari gerbang rumah Bu Atik.
“Oh, Nisa lagi pulang kampung. Jadi, susah kan saya ni,” gerutunya.
“Oh, pantes Bu Atik keluar. Kan, biasanya takut sama matahari,” ledek salah satu ibu-ibu yang sedang belanja.
Bu Atik masam, tapi malas meladeni mereka. Keburu lapar, ia pun langsung gegas menuju warung nasi yang tak jauh dari gerbang kompleksnya juga. Ia pun langsung memesan nasi dan lauk.
Memang susah pikirnya jika tak ada Anisa, biasanya ia hanya berteriak dan makanan pun sampai. Tidak seperti sekarang, dirinya harus ke luar sendiri dengan terpaksa.
***
Kondisi Pak Anjar tiba-tiba saja memburuk. Napasnya sudah terasa sesak, bahkan saturasi oksigennya pun rendah. Mereka pun membawa ke puskesmas terdekat karena ke rumah sakit pun tak ada kendaraan.
Anisa mencoba menenangkan sang ibu yang sejak tadi menangis dan lemah melihat kondisi sang suami yang seperti itu. Ia pun sejujurnya panik, tapi mau bagaimana lagi, jika ia tak tenang, bagaimana dengan ibunya.
Dokter puskesmas sudah memeriksa sang ayah, mereka pun menyarankan untuk membawa Pak Anjar ke rumah sakit kota. Anisa berpikir keras, ayahnya tak ada BPJS, kalau pun harus di rujuk, ia tak punya uang. Anisa semakin cemas karena melihat sang ayah sudah sangat lemah. Suster pun sudah membawa tabung oksigen untuk sang ayah.
“Bu, jaga Nisa kalau Bapak enggak ada.”
“Pak, jangan bicara seperti itu, Bapak pasti sehat,” ujar Anisa.
“Iya, Pak. Jangan macam-macam bicaranya,” ujar sang istri.
“Bapak, sudah tidak kuat. Kabari keluarga di Jakarta, kasih tahu kalau Anisa anak aku,” ujar Pak Anjar.
Anisa mengernyitkan kening, ia tak mengerti dengan apa yang di katakan sang ayah. Mungkin ia pikir sang ayah sedang mengigau karena sudah lelah. Tidak lama, jerit tangis Bu Asih terdengar begitu nyaring, sama halnya dengan Anisa, yang memeluki tubuh sang ayah yang sudah tak bernyawa lagi.
“Bapak!”
***
Bu Asih dan Anisa menjerit histeris saat dokter menyatakan jika Pak Anjar sudah tak bernyawa lagi. Penyakitnya sudah kronis dan menjalar ke bagian tubuh lain hingga membuat komplikasi. Karena terbatasnya dana, Bu Asih tak membawa suaminya ke rumah sakit besar. Ia pun tak mengabari sang anak yang ada di Jakarta kala itu.Anisa memegangi tubuh sang ayah yang sudah kaku. Ia meratapi nasibnya yang malang. Kehancuran rumah tangannya dan juga kepergian sang ayah. Tangisnya tak henti, Bu Asih pun sama hatinya menjerit karena ia masih merasa membutuhkan sang suami.“Nis, sudah, kasihan Bapakmu kalau kau tangisi,” ujar sang ibu.“Bu, Nisa belum bisa membahagiakan Bapak, Bapak meninggal apa karena masalah yang Anisa bawa padanya?”“Bukan, ini memang kesalahan Ibu yang enggak bisa merawat Bapak, ibu tak punya uang untuk membawa Bapak ke rumah sakit besar. Ibu juga enggak mengabari kamu karena takut menggang6 rumah tangga kamu, Nis. Ini bukan salah kamu,” ujar sang ibu.Tetap saja Anisa masih mer
Bu Asih menjelaskan semuanya pada Anisa, bagaimana mereka bisa berada di kampung itu dan meninggalkan keluarga mereka di Jakarta. Hal itu bentuk protes sang ayah karena tak bisa menerima semua yang telah di putuskan oleh kakeknya Anisa.Jiwa pemberontak sang ayah begitu kuat, dia pun rela menjadi miskin demi harga diri. Kini, semua sudah berlalu dan Amara ingin mengajak keponakan dan Kakak iparnya kembali ke Jakarta dan menjalankan wasiat yang di berikan oleh sang ayah.“Apa aku enggak salah dengar? Ayah adalah anak salah satu konglomerat di Jakarta dulu?” tanya Anisa.“Iya, dulu memang kamu semua tak bisa melakukan apa pun untuk membuat kakek kamu sadar. Namun, ternyata sebenarnya kakek kamu sudah mengetahui rencana jahat istri barunya. Dia membiarkan ayahmu pergi bukan dengan senang hati. Tapi, sepanjang hidup kakek kamu sangat menyesal saat kehilangan anak laki-laki yang paling siap sayang,” ujar Amara.“Tante kenapa baru sekarang mencari kami?” Pertanyaan itu begitu saja terlontar
Anisa membanting ponsel ke kasurnya. Tidak menyangka akan seperti ini. Pesan masuk Wisnu membuatnya tak berselera melakukan apa pun. Bahkan memasukkan keperluan ke dalam koper saja malas.“Ada apa, Nis?” tanya sang ibu.“Itu, Mas Wisnu. Dia bilang aku masih istrinya dan enggak akan menceraikan aku. Siapa yang enggak kesal, mana mau aku bermadu seperti itu. Dia pikir hebat melakukan poligami?” Anisa terus saja menggerutu.“Bisa kita selesaikan, apalagi Tante kamu orang hebat. Nanti dia yang menyelesaikan. Jangan cemas.” Bu Asih menenangkan Anisa.Anisa pun tak membalas pesan masuk suaminya. Ia hanya melihat dan kembali merapikan beberapa barang yang akan di siapkan.Bu Asih memandang foto sang suami. Entah, apa suaminya bahagia dengan keputusan mereka kembali ke Jakarta. Namun, sesuai dengan apa yang di wasiatkan sang suami, memang almarhum menginginkan Anisa kembali ke Jakarta agar keluarga Wisnu tak semena-mena dan membuktikan kalau Anisa bukan kalangan biasa.“Nis, sampai Jakarta ki
Semua pelayan pun menunduk hormat, Anisa benar-benar merasa menjadi orang kaya mendadak. Biasanya ia di teriaki Bu Atik untuk mengerjakan sesuatu. Jika saat ini, ia yang bisa berteriak dan meminta di ambilkan sesuatu.Netranya memandang kagum setiap detail isi rumah megah itu. Beberapa foto dan ia kembali menatap sebuah foto keluarga. Di sana ada ayahnya yang masih terlihat sangat muda. Rasa sedih kembali muncul, saat ia mendapat kebahagiaan, tapi sang ayah pun tiada.“Biar Tante antar ke kamar kamu, Mbak Asih sekalian yuk,” ujar Amara.Tante Amara mengantar Anisa dan Bu Asih ke kamar mereka. Setelah itu saat di kamar Anisa, Amara pun duduk di tepi ranjang.“Apa kamu ingin sesuatu?” tanya sang tante.“Tidak, Tan. Tapi, sepetinya aku butuh bertemu dengan Mas Wisnu. Tapi, aku tidak mau memberitahu dulu kehidupanku yang sekarang, biarlah mereka menganggap aku masih gembel. Aku akan menyelesaikan semua.”“Kabari Tante jika kamu butuh sesuatu. Di sini kita hanya tinggal ber empat.”“Suami
Amara menarik napas saat ingin mengatakan hal sebenarnya pada Bu Asih. Ia takut sang kakak tak percaya dengan apa yang akan dikatakannya, terlebih tentang wasiat dari sang ayah tentang masa depan perusahaan mereka.“Ini, bisa Mbak baca.” Amira menyerahkan sebuah pernyataan dari kertas kecil. Asih pun membacanya, perlahan dan ia menatap tak percaya pada Amira.“Aku agak ragu untuk mengatakan hal ini karena takut Mbak Asih tak percaya,” ujar Amira.“Apa harus secepatnya?” tanya Asih.“Seharusnya lebih cepat, aku enggak tahu kalau Anisa itu punya suami. Makanya sejak lama kami mencari, agar lebih cepat menikahkan Abas dan Anisa. Apa Mbak percaya dengan apa yang aku katakan?” tanya Amira.“Mbak percaya karena sebelum meninggal, Mas Anjar pernah mengatakan hal ini. Tapi belum tahu dengan siapa Anisa akan menikah. Tapi, Mas Anjar bilang kalau Anisa seharusnya menikah dengan pilihan kakek agar harta kekayaan tak jatuh ke tangan orang yang salah. Apalagi jika kami tak memiliki keturunan laki-
Luapan emosi Anisa tak bisa tertahan karena kali ini ia harus mengeluarkan semua isi hatinya. Wisnu pun seperti merasa tak bersalah atas yang apa yang di lakukan sang ibu. Malah ia mengatakan hal itu memang tugas seorang istri.“Demi Allah, aku sakit hati atas perlakuan kalian, apalagi saat kamu mengatakan hal itu wajar. Mas, lepaskan aku, ceraikan aku.” Napas Anisa tersengal-sengal seperti sedang berlari.“Baik, kalau itu yang kamu mau. Silakan ajukan perceraian kita, satu hal yang harus kamu tahu, suatu saat kamu akan menyesal dan memohon untuk kembali. Ingat itu, Nisa.”“Enggak akan, Mas. Tunggu surat perceraian dariku dan sampai bertemu di persidangan. Permisi,” ujar Anisa.Anisa mengambil tas dan meninggalkan Wisnu yang masih bergeming melihat kepergiannya. Wisnu heran melihat Anisa yang lebih berani dari yang pernah ia tahu.Apalagi Anisa berani membentak dan begitu tegas ingin bercerai. Sebelumnya ia hanya menerima apa yang sudah diperintahkan oleh dirinya dan sang ibu.“Kenapa
Mendengar nama Abas di sebut oleh sang ibu, Anisa merasa kesal. Haruskah ia menikah dengan orang yang baru saja ia kenal, bahkan rasa trauma masih melekat di jiwa. Pernikahan pertama kandas, kini ia harus kembali di paksakan dalam sebuah drama rumah tangga baru.Tak pernah ia mengerti, untuk menjadi orang kaya apa perlu pengorbanan yang besar. Apalagi menikah dengan Abas agar harta kekayaan miliknya tak jatuh ke tangan pihak yang tak bertanggung jawab.“Jika aku tidak mau menikah dengan Abas, apa yang akan terjadi?” tanya Anisa.“Tidak masalah, tapi kami tidak menjamin kalau harta kamu tidak akan berpindah ke pihak lain. Harta akan jatuh ke tangan kamu jika menikah dengan pria pilihan kakek. Jika tidak, harta akan menjadi perebutan beberapa pihak. Satu hal lagi, kamu akan tatap menjadi miskin dan tidak akan bisa membalas mantan suami dan mertua kamu,” ujar Amira.Tangan Anisa mengepal keras, ia tak mengerti dengan situasi seperti ini. Ia ingin membalas semua perlakuan mantan suaminya.
Mimik wajah Anisa tak bersahabat saat mendengar apa yang di katakan Abas.“Aku enggak mau bahas masalah itu lagi, lagi pula proses perceraian aku masih panjang. Tidak bisa begitu saja menikah dengan kamu.”“Oh, jadi seperti itu. Aku akan menunggu hari itu, di mana kamu akan menjadi istriku.” Senyum semringah dari Abas membaut Anisa jengkel.Niat mencari angin malah membuatnya kembali tak bersemangat. Ia pun kembali memutuskan masuk ke rumah karena ada Abas di sana.Pria dengan kaca mata itu hanya tersenyum tipis saat Anisa melangkah dengan cepat masuk ke rumah. Senyum itu kembali hilang saat Anisa sudah tak terlihat.“Aku pun tak berharap menikah denganmu.” Abas langsung menyesap kopi hangat miliknya. Setelah itu, ia pun duduk menatap langit-langit malam ini.***Wisnu datang ke rumah orang tuanya bersama Sinta. Bu Atik masih menyambut hangat menantunya itu. Sementara, Pak Hartawan memperhatikan Sinta dengan penuh selidik. Baginya, Anisa menantu terbaiknya yang tak ada gantinya.“Jadi