Anisa menggigit bibir, selama ini ternyata mereka pun hampir bangkrut dan ia sama sekali tak tahu. Gaya sok kaya ibu mertuanya beserta Windy sang ipar membuatnya muak. Setiap hari hanya makian dan cacian, belum lagi sang ipar yang selalu mengatakan dirinya hanya perempuan kuno dan tak modis yang berasal dari kampung.Tarikan napas Anisa terl6memebuat ia sangat lega. Setidaknya sebelum ia membalaskan dendam pun, keluarga Wisnu sudah sulit. Jadi, lebih mudah menjatuhkannya.“Kita mau ke mana?” tanya Anisa.“Kita ke mal, sepertinya kamu butuh sesuatu untuk mempercantik diri. Kita beli baju dan beberapa perlengkapan lainnya,” ujar Amara.“Aku enggak bisa menemani, Ma. Ada meeting dengan klien.”Anisa bernapas lega, setidaknya tidak ada Abas di sekitarnya. Lagi pula, kenapa juga pria itu selalu ada setiap ke mana pun.Abas menurunkan mereka di depan mal. Amara pun meminta tak usah menjemput dirinya karena mereka akan meminta jemput sopir pribadi saja.Anisa berjalan sejajar dengan Amara. S
Windy ke luar dari rumah sang ibu dan bertemu dengan Wisnu. Ia pun meluapkan kekesalannya pada sang kakak.“Itu kan punya temannya, lagi pula salah di mananya kalau di belanja juga?” tanya Wisnu.“Ya aku hanya ingin tahu. Masa enggak boleh lihat, apa namanya kalau pelit,” ujar Windy.“Ah, kamu jangan banyak mikir jelek. Sudah aku mau masuk,” ujar Wisnu.Windy semakin kesal dan emosi, sama saja seperti sang ibu, sang kakak pun bersikap membela Sinta.Windy pun gegas pulang dan mengendarai motornya. Ia tak mau suaminya pulang sebelum dirinya, ia pun sudah membeli beberapa makanan untuk sang suami.Beberapa menit sampai di rumah, ia melihat mobil sang suami sudah ada di halaman rumah. Ia sedikit cemas, lalu gegas memarkirkan motornya.“Kamu dari mana?” tanya Fahmi, suaminya Windy.“A—aku dari beli makan. Beli sayur di warung depan, kamu kok enggak bilang pulang cepat?” tanya Windy pelan.“Kalau suamimu bilang, berarti kamu tahu dan pasti enggak kelayapan. Benarkan apa yang mama bilang, M
Sejak tadi Wisnu mencoba menghubungi Anisa, tapi ia tak mau mengangkatnya. Baginya membuang waktu saja dan lebih baik untuk melanjutkan kegiatannya sekolah kepribadian.“Apa tidak kamu angkat dulu?” tanya Miss Mora.“Enggak usah, paling dia hanya ingin marah-marah karena sudah menerima surat gugatan cerai.” Anisa menyunggingkan senyum. Ia berharap cepat membalas semua apa yang di lakukan mantan suaminya.“Angkat saja, coba dengar apa yang dia katakan,” ujar Miss Mora.Anisa mengikuti saran Miss. Mora dan gegas mengangkat ponselnya. Benar dugaannya, baru saja mengatakan halo, Wisnu pun sudah menyambar bak petir.“Maksud kamu apa mengirim surat cerai, hah? Sudah merasa hebat?” Suara dari seberang telepon terdengar sangat emosi.“Aku enggak ada maksud apa pun, tapi bukanya aku sudah katakan akan meminta cerai dari kamu. Aku memang hebat, hanya saja kamu baru menyadari,” ujar Anisa.“Jangan sombong kamu. Aku tahu, baru menjadi pembantu rumah tangga saja sudah banyak tingkah. Derajat kamu
Amira menyenggol sangat anak, ia pun mendengar sedikit saat Abas memuji Anisa. Bagaimana tidak, khusus acara ini Anisa di dandani oleh salon langganan sang Tante.Bu Asih pun menyambut sang anak. Ia tak percaya jika anaknya bisa secantik itu. Biasanya hanya bermodal alas bedak murah dan lipstik biasa. Akan tetapi, kali ini Anisa menjadi luar biasa.“Maaf, kalau menunggu lama,” ujar Anisa.“Iya, enggak masalah. Kita langsung saja, sekalian memperkenalkan kamu pada beberapa rekan bisnis,” ujar Abas.“Iya, benar. Tante dan ibu kamu tidak ikut, di rumah saja. Kalian saja yang pergi,” ujar sang tante.“Iya, Bu. Kita jalan dulu,” ujar Anisa.Anisa tak tahu jika hari ini akan bertemu banyak orang. Ia pikir makan malam berdua saja, tapi ternyata bertemu beberapa kolegan perusahaan. Apalagi, Abas akan mengenakan dirinya pada mereka sebagai pemilik baru perusahaan sang ayah.Abas membukakan pintu mobil, lalu Anisa pun masuk dengan senyum tipis di bibir.“Kamu siap?”“Siap, Bas.”***Pak Hartawa
Anisa pamit ke toilet, ia terkesiap saat lengannya ada yang menarik. Ia membalikkan badan. Sesuai dugaan, akan ada Wisnu yang meminta penjelasan dan kepo dengan kehidupan barunya.“Nis, ini kamu?” tanya Wisnu.“Kenapa, kaget lihat aku yang seperti ini?” tanya Anisa. Senyum tipis menghiasi bibir munggilnya hingga membuat Wisnu pun bergetar melihatnya.“Nis, kamu benar-benar cantik. Dari dulu sampai saat ini, Nis. Sayang maafkan, aku, kita kembali sama-sama seperti dulu dan kita jalani program bayi tabung yang kamu inginkan dulu. Bagaimana?”Anisa menepis tangan Wisnu yang hampir memeluknya. Ia memundurkan langkah saat pria itu mendekat.“Tolong jangan mendekat, kita bukan suami istri lagi. Ingat itu, kamu pikir setelah penghinaan keluarga kamu, aku akan kembali sama kamu. Kenapa baru sekarang kamu mengiyakan program itu, bukannya dulu kamu menolak? Aku tahu, karena kamu melihat aku menjadi pemilik perusahaan?” Netra Anisa tak dapat berbohong tentang kebanciannya pada Wisnu.Pria itu me
Wajah mantan ibu mertua Anisa pun memerah, tubuhnya bergetar dan hampir saja oleng jika dirinya tak berpegangan pada meja. Mendengar perkataan Anisa membuat ia takut juga malu.“Sepertinya Bu Atik kurang kuat menghadapi sesuatu. Contohnya, ketika saya mengingatkan semua perbuatan Anda. Oh, iya, perusahaan suami Anda berada di bawah naungan perusahaan saya. Untung saja saya sudah tidak menjadi menantu Ibu Atik yang terhormat, kalau iya, mungkin kalian akan menguras semua dan menyingkirkan saya, betul atau benar?”Seulas senyum terpancar dari bibir Anisa. Masalah betul atau benar, hanya perumpamaan saja. Anisa mendekati mantan ibu mertuanya, tangan lembut itu mengelus pipi Bu Atik.“Jika saya mau, saat ini juga kalian akan menjadi gembel, tapi tidak semudah itu lepas dari saya. Semua baru di mulai,” ujar Anis.Anisa melenggang meninggalkan Bu Atik yang menganga saat Anisa berlalu melewatinya. Ia melenggang cantik bak majikan yang anggun.Bu Atik sedikit memundurkan langkah, tubuhnya kem
Selesai Anisa mandi, sang ibu pun sudah menunggunya di kamar. Bu Asih sengaja menemukan sang anak karena akan membicarakan sesuatu. Anisa pun duduk menghampiri wanita tua yang kini terlihat lebih segar dan cantik. Memang, uang itu segalanya dan membuat semua terlihat berubah.“Bu, ada apa?” tanya Anisa.“Ibu hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Apalagi, ibu yakin enggak mudah bertemu dengan mantan mertua kamu. Ibu yakin, hati kamu enggak sekuat yang di perlihatkan ke mereka.”Anisa bergeming memikirkan apa yang dikatakan sang ibu. Benar dugaan Bu Asih, sekuat tenaga ia pun ingin berteriak memaki sang mantan mertua. Dirinya begitu membenci wanita yang menoreh luka di hatinya.“Bu, tenang saja, aku akan terlihat kuat di depan mereka. Semua harus aku lakukan agar mereka mendapatkan balasannya.”“Tapi ibu cemas dengan dendam kamu, ibu takut kamu malah tersiksa dengan semua itu.”Seorang ibu hanya mencemaskan sang anak. Bu Asih tidak mau kalau Anisa malah menjadi tidak bahagia. Apal
Senyum Anisa begitu terpancar saat Sinta tak bisa melawan dirinya. Kini, Sinta tinggal menunggu nasib saja. Sementara, Anisa sudah mempersiapkan sesuatu untuk Sinta.“Ini pekerjaan, bukan masalah pribadi. Tidak bisa di campur adukkan. Tidak ada hak Anda mengatakan saya seperti itu,” ujar Sinta membela diri.“Ya, ada dong. Kalau kamu sedang banyak pikiran, otomatis pekerjaan kamu terganggu. Ini buktinya bulan lalu zero. Kosong, apa saja yang kamu lakukan!”Anisa melempar berkas laporan ke wajah Sinta.Hal itu membuat Sinta kembali menjadi bahan pergunjingan bagi para karyawan yang mengintip di jendela.“Saya kasih waktu satu bulan, jika tidak naik 50 %, maka kamu harus siap mengajukan surat pengunduran diri.”Sinta mengangkat kepala, ia terkesiap oleh ancaman Anisa. Mantan istri suaminya itu tidak main-main dengan pembalasannya.Bibir Sinta bergetar hebat, ia tak tahu harus mengatakan apa. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan mengiyakan apa yang dikatakan Anisa.“Silakan kembali.”Diki da