Luapan emosi Anisa tak bisa tertahan karena kali ini ia harus mengeluarkan semua isi hatinya. Wisnu pun seperti merasa tak bersalah atas yang apa yang di lakukan sang ibu. Malah ia mengatakan hal itu memang tugas seorang istri.“Demi Allah, aku sakit hati atas perlakuan kalian, apalagi saat kamu mengatakan hal itu wajar. Mas, lepaskan aku, ceraikan aku.” Napas Anisa tersengal-sengal seperti sedang berlari.“Baik, kalau itu yang kamu mau. Silakan ajukan perceraian kita, satu hal yang harus kamu tahu, suatu saat kamu akan menyesal dan memohon untuk kembali. Ingat itu, Nisa.”“Enggak akan, Mas. Tunggu surat perceraian dariku dan sampai bertemu di persidangan. Permisi,” ujar Anisa.Anisa mengambil tas dan meninggalkan Wisnu yang masih bergeming melihat kepergiannya. Wisnu heran melihat Anisa yang lebih berani dari yang pernah ia tahu.Apalagi Anisa berani membentak dan begitu tegas ingin bercerai. Sebelumnya ia hanya menerima apa yang sudah diperintahkan oleh dirinya dan sang ibu.“Kenapa
Mendengar nama Abas di sebut oleh sang ibu, Anisa merasa kesal. Haruskah ia menikah dengan orang yang baru saja ia kenal, bahkan rasa trauma masih melekat di jiwa. Pernikahan pertama kandas, kini ia harus kembali di paksakan dalam sebuah drama rumah tangga baru.Tak pernah ia mengerti, untuk menjadi orang kaya apa perlu pengorbanan yang besar. Apalagi menikah dengan Abas agar harta kekayaan miliknya tak jatuh ke tangan pihak yang tak bertanggung jawab.“Jika aku tidak mau menikah dengan Abas, apa yang akan terjadi?” tanya Anisa.“Tidak masalah, tapi kami tidak menjamin kalau harta kamu tidak akan berpindah ke pihak lain. Harta akan jatuh ke tangan kamu jika menikah dengan pria pilihan kakek. Jika tidak, harta akan menjadi perebutan beberapa pihak. Satu hal lagi, kamu akan tatap menjadi miskin dan tidak akan bisa membalas mantan suami dan mertua kamu,” ujar Amira.Tangan Anisa mengepal keras, ia tak mengerti dengan situasi seperti ini. Ia ingin membalas semua perlakuan mantan suaminya.
Mimik wajah Anisa tak bersahabat saat mendengar apa yang di katakan Abas.“Aku enggak mau bahas masalah itu lagi, lagi pula proses perceraian aku masih panjang. Tidak bisa begitu saja menikah dengan kamu.”“Oh, jadi seperti itu. Aku akan menunggu hari itu, di mana kamu akan menjadi istriku.” Senyum semringah dari Abas membaut Anisa jengkel.Niat mencari angin malah membuatnya kembali tak bersemangat. Ia pun kembali memutuskan masuk ke rumah karena ada Abas di sana.Pria dengan kaca mata itu hanya tersenyum tipis saat Anisa melangkah dengan cepat masuk ke rumah. Senyum itu kembali hilang saat Anisa sudah tak terlihat.“Aku pun tak berharap menikah denganmu.” Abas langsung menyesap kopi hangat miliknya. Setelah itu, ia pun duduk menatap langit-langit malam ini.***Wisnu datang ke rumah orang tuanya bersama Sinta. Bu Atik masih menyambut hangat menantunya itu. Sementara, Pak Hartawan memperhatikan Sinta dengan penuh selidik. Baginya, Anisa menantu terbaiknya yang tak ada gantinya.“Jadi
Anisa menggigit bibir, selama ini ternyata mereka pun hampir bangkrut dan ia sama sekali tak tahu. Gaya sok kaya ibu mertuanya beserta Windy sang ipar membuatnya muak. Setiap hari hanya makian dan cacian, belum lagi sang ipar yang selalu mengatakan dirinya hanya perempuan kuno dan tak modis yang berasal dari kampung.Tarikan napas Anisa terl6memebuat ia sangat lega. Setidaknya sebelum ia membalaskan dendam pun, keluarga Wisnu sudah sulit. Jadi, lebih mudah menjatuhkannya.“Kita mau ke mana?” tanya Anisa.“Kita ke mal, sepertinya kamu butuh sesuatu untuk mempercantik diri. Kita beli baju dan beberapa perlengkapan lainnya,” ujar Amara.“Aku enggak bisa menemani, Ma. Ada meeting dengan klien.”Anisa bernapas lega, setidaknya tidak ada Abas di sekitarnya. Lagi pula, kenapa juga pria itu selalu ada setiap ke mana pun.Abas menurunkan mereka di depan mal. Amara pun meminta tak usah menjemput dirinya karena mereka akan meminta jemput sopir pribadi saja.Anisa berjalan sejajar dengan Amara. S
Windy ke luar dari rumah sang ibu dan bertemu dengan Wisnu. Ia pun meluapkan kekesalannya pada sang kakak.“Itu kan punya temannya, lagi pula salah di mananya kalau di belanja juga?” tanya Wisnu.“Ya aku hanya ingin tahu. Masa enggak boleh lihat, apa namanya kalau pelit,” ujar Windy.“Ah, kamu jangan banyak mikir jelek. Sudah aku mau masuk,” ujar Wisnu.Windy semakin kesal dan emosi, sama saja seperti sang ibu, sang kakak pun bersikap membela Sinta.Windy pun gegas pulang dan mengendarai motornya. Ia tak mau suaminya pulang sebelum dirinya, ia pun sudah membeli beberapa makanan untuk sang suami.Beberapa menit sampai di rumah, ia melihat mobil sang suami sudah ada di halaman rumah. Ia sedikit cemas, lalu gegas memarkirkan motornya.“Kamu dari mana?” tanya Fahmi, suaminya Windy.“A—aku dari beli makan. Beli sayur di warung depan, kamu kok enggak bilang pulang cepat?” tanya Windy pelan.“Kalau suamimu bilang, berarti kamu tahu dan pasti enggak kelayapan. Benarkan apa yang mama bilang, M
Sejak tadi Wisnu mencoba menghubungi Anisa, tapi ia tak mau mengangkatnya. Baginya membuang waktu saja dan lebih baik untuk melanjutkan kegiatannya sekolah kepribadian.“Apa tidak kamu angkat dulu?” tanya Miss Mora.“Enggak usah, paling dia hanya ingin marah-marah karena sudah menerima surat gugatan cerai.” Anisa menyunggingkan senyum. Ia berharap cepat membalas semua apa yang di lakukan mantan suaminya.“Angkat saja, coba dengar apa yang dia katakan,” ujar Miss Mora.Anisa mengikuti saran Miss. Mora dan gegas mengangkat ponselnya. Benar dugaannya, baru saja mengatakan halo, Wisnu pun sudah menyambar bak petir.“Maksud kamu apa mengirim surat cerai, hah? Sudah merasa hebat?” Suara dari seberang telepon terdengar sangat emosi.“Aku enggak ada maksud apa pun, tapi bukanya aku sudah katakan akan meminta cerai dari kamu. Aku memang hebat, hanya saja kamu baru menyadari,” ujar Anisa.“Jangan sombong kamu. Aku tahu, baru menjadi pembantu rumah tangga saja sudah banyak tingkah. Derajat kamu
Amira menyenggol sangat anak, ia pun mendengar sedikit saat Abas memuji Anisa. Bagaimana tidak, khusus acara ini Anisa di dandani oleh salon langganan sang Tante.Bu Asih pun menyambut sang anak. Ia tak percaya jika anaknya bisa secantik itu. Biasanya hanya bermodal alas bedak murah dan lipstik biasa. Akan tetapi, kali ini Anisa menjadi luar biasa.“Maaf, kalau menunggu lama,” ujar Anisa.“Iya, enggak masalah. Kita langsung saja, sekalian memperkenalkan kamu pada beberapa rekan bisnis,” ujar Abas.“Iya, benar. Tante dan ibu kamu tidak ikut, di rumah saja. Kalian saja yang pergi,” ujar sang tante.“Iya, Bu. Kita jalan dulu,” ujar Anisa.Anisa tak tahu jika hari ini akan bertemu banyak orang. Ia pikir makan malam berdua saja, tapi ternyata bertemu beberapa kolegan perusahaan. Apalagi, Abas akan mengenakan dirinya pada mereka sebagai pemilik baru perusahaan sang ayah.Abas membukakan pintu mobil, lalu Anisa pun masuk dengan senyum tipis di bibir.“Kamu siap?”“Siap, Bas.”***Pak Hartawa
Anisa pamit ke toilet, ia terkesiap saat lengannya ada yang menarik. Ia membalikkan badan. Sesuai dugaan, akan ada Wisnu yang meminta penjelasan dan kepo dengan kehidupan barunya.“Nis, ini kamu?” tanya Wisnu.“Kenapa, kaget lihat aku yang seperti ini?” tanya Anisa. Senyum tipis menghiasi bibir munggilnya hingga membuat Wisnu pun bergetar melihatnya.“Nis, kamu benar-benar cantik. Dari dulu sampai saat ini, Nis. Sayang maafkan, aku, kita kembali sama-sama seperti dulu dan kita jalani program bayi tabung yang kamu inginkan dulu. Bagaimana?”Anisa menepis tangan Wisnu yang hampir memeluknya. Ia memundurkan langkah saat pria itu mendekat.“Tolong jangan mendekat, kita bukan suami istri lagi. Ingat itu, kamu pikir setelah penghinaan keluarga kamu, aku akan kembali sama kamu. Kenapa baru sekarang kamu mengiyakan program itu, bukannya dulu kamu menolak? Aku tahu, karena kamu melihat aku menjadi pemilik perusahaan?” Netra Anisa tak dapat berbohong tentang kebanciannya pada Wisnu.Pria itu me