Share

Calon Maduku Kaya Raya

"Hey pelakor! apa kau yakin mau masuk dalam keluarga benalu ini? Kau tak takut nasibmu sama buruknya sepertiku? Lihat nasibku sekarang, sudah diperas habis-habisan kemudian diduakan!" 

Wanita yang berumur 20tahun itu mulai berani menatapku. Aku ingin tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya. Usianya  masih terlalu muda untuk jadi seorang pelakor. Meski aku sangat membencinya, aku tak mau dia terjerumus ke dalam kejamnya keluarga benalu ini.

"Aku cinta mas Putra apa adanya. Aku siap menerima semua resikonya. Ayahku kaya, uang bukan masalah bagiku."

Aku tertawa geli mendengar ucapan wanita labil itu. Uang memang bukan masalah baginya karena selama ini semua kebutuhannya masih dicukupi orangtuanya. Cinta telah membutakan mata dan akal sehatnya. Aku jadi penasaran, bagaimana perasaan orangtuanya jika tahu anak perempuan kebanggaannya mau menjadi istri kedua seorang suami pengangguran seperti Mas Putra.

"Aku kira, akulah satu-satunya wanita bodoh yang mau dengan suami tak bergunaku ini. Ternyata ada yang lebih konslet dan sinting melebihiku!

Aku tertawa ditengah rasa sakitku. Mengejek kebodohan si pelakor. Dia pikir, urusan rumah tangga bisa terus-terusan diselesaikan dengan uang Ayahnya. Bagaimana jika kelak uang Ayahnya habis digerogoti keluarga benalu ini. Mungkinkah cintanya bisa mengenyangkan perutnya secara otomatis? mustahil!

"Cukup, Bel! jangan kau pengaruhi calon istriku. Jangan cuci otaknya untuk membenciku. Dengan izin atau tanpa izinmu, aku akan tetap menikahi Dita."

Senyuman kemenangan terukir di bibir si pelakor. Seandainya jarak kami hanya satu meter, kupastikan senyuman itu berubah jadi tangis karena seranganku. Sabar, Abel. Masih banyak kesempatan membalas penghinaan mereka padamu.

"Cepat anterin Dita pulang sebelum menantu kurangajar ini mempengaruhinya."  ucap Ibu mertuaku sambil menatap penuh kebencian kearahku.

"Menantu kurangajar, ibu yakin? Aku baru gajian hari ini, lho!" ucapku mempermainkan perasaan wanita paruh baya itu. Terlihat raut wajahnya berubah seketika. Ada rasa sesal terlihat setelah menghinaku dengan sebutan 'menantu kurangajar'.

"Dit, Mas anterin kamu pulang ya. Besok kalau istriku kerja. Kamu boleh main lagi kerumah ini."

Whattt? aku tak salah dengar barusan? Mas Putra sudah tak ada takut-takutnya denganku. Dia terang-terangan mengundang wanita murahan itu ke rumahku setelah tak mau kuusir. Benar-benar lelaki tak punya rasa malu!

"Berani wanita ini menginjakan kaki lagi di rumah ini, akan ku panggil warga untuk mengusir kalian!" ancamku berapi-api.

"Sementara kita ketemunya di hotel dulu saja, Mas. Istri pertama Mas, serem. Aku takut." ucap si pelakor dengan nada manja. Menjijikan sekali.

"Iya. Tapi kamu yang bayar ya! tau sendiri kan kalau Mas belum kerja."

Sumpah demi apapun, sekarang aku ingin memuntahkan semua isi perutku. Ucapan Mas Putra barusan membuatku mual. Sangat-sangat memalukan!

"Beres. Asalkan kamu terus bersamaku, aku enggak akan sayang keluarin duit dari Ayahku."

Lagi-lagi wanita itu menyombongkan uang Ayahnya lagi. Jadi kepo, seberapa kaya sebenarnya orangtuanya. Kapan-kapan ada waktu aku mau menyelidikinya.

Pasangan bej*d itu kemudian meninggalkan aku dan ibu mertua di kamar. Jijik sekali rasanya melihat kemesraan mereka.

Setelah kepergian Mas Putra dan si pelakor, ibu mertuaku tetap tak mau beranjak keluar dari kamarku. Sorot matanya berubah redup. Dengan memasang wajah iba, ia kembali menjadi mertua manis tanpa merasa berdosa.

"Bel!" panggilnya lembut.

"Herm!" jawabku singkat. Aku tahu betul apa yang mau disampaikan wanita iblis ini. Tapi aku ingin sedikit bermain-main dengan emosinya.

"Kamu bilang tadi hari ini baru gajian."

"Ya, betul sekali." jawabku santai.

"Boleh nggak ibu minta buat bayar arisan. Besok pagi ibu harus bayar arisan." mohonnya penuh harap. Jika kejadian tadi belum terjadi, aku langsung akan memberikan uang padanya tanpa berpikir dua kali. Tapi setelah apa yang dilakukannya padaku barusan. Maaf, aku sudah tak sudi memberikan sepeserpun uangku untuknya dan putranya.

"Gimana ya, Bu. Uang enam juta ku ini mau aku gunakan buat keperluan bayiku. Bukan aku enggak mau ngasih, tapi aku mau gunain uang ini untuk keperluan yang lebih penting." ucapku sambil mengeluarkan lembaran-lembaran merah dari dompetku.

Mendengar nominal yang ku sebutkan tadi mata ibu membulat sempurna. Bulan ini memang aku banyak lembur, makanya gajiku dapat banyak. Ibu makin memohon padaku.

"Ibu bukan minta, Bel. Ibu cuma pinjam. Nanti kalau Dita sudah jadi istri ke dua Putra otomatis uang ibu jadi banyak karena mempunyai menantu kaya. Nah saat itu ibu akan kembalikan uangmu. Kalau kamu mau ibu bisa mengganti uangmu sepuluh kali lipat lebih banyak."

Aku terkekeh mendengar ucapan ibu mertuaku. Impiannya terlalu tinggi, pasti sakit sekali kalau mendadak jatuh nanti.

"Aku tak mau minjemin ibu. Ibu pinjam dengan orang lain saja. Jika perlu dengan calon menantu ibu yang mengaku kaya raya itu." sindirku. Terlihat muka ibu merah padam. Dia pergi begitu saja meninggalkanku tanpa suara lagi.

Kulirik seprei dan selimut bekas suami dan gundiknya bercinta. Segera ku ambil lalu kumasukan plastik dan ku buang kedalam tong sampah besar diluar rumahku.

Setelah membuang sprei itu, perutku terasa keroncongan minta diisi. Aku menuju dapur, masakan tadi pagi memang masih ada untuk makan siang suamiku beserta ibu dan adiknya. Saat itu ide ku memanas-manasi keluarga benalu itu muncul. Aku pesan makanan kesukaan mereka secara online, tapi aku pesan masing-masing satu porsi saja.

Tiga puluh menit berlalu, makanan yang ku pesan akhirnya datang juga. Segera ku buka tiga macam makanan berbeda. Dengan sekejap aku yakin bisa melahap semua makanan ini. Aku sengaja makan dalam kamar, memancing amarah keluarga benalu itu.

Ceklek

Baru saja satu suap aku makan, Mas Putra membuka pintu kamar. Dia terkejut karena tak biasa melihatku makan di kamar. Terlebih melihat banyaknya makanan sedap yang ku makan sendirian.

"Kenapa kamu makan disini, Bel?" tanyanya lembut.

"Memangnya kenapa kalau aku makan disini, aku mau makan dimana saja bukan urusanmu!"

"Kau yakin bisa ngabisin semua itu? Mas minta satu porsi ya. Mas, lapar!" Kulihat Mas Putra menelan salivanya karena melihat makanan favoritnya.

"Didapur masih ada sisa makanan tadi pagi. Kenapa tak makan makanan itu saja kalau Mas lapar." ucapku membuatnya sangat kesal. Raut wajahnya berubah seketika.

"Mas mau sate padang ini. Mas bosan makan sayur masakanmu terus."

"Masih mending ada makanan, Mas. Mulai besok takan ada sayur atau makanan apapun diatas meja makan. Aku sudah tak sudi mengeluarkan satu rupiah pun untukmu dan keluaragamu."

"Jangan gitu dong, Bel. Lalu kita makan apa nanti?"

"Kok tanya aku, sih! itukan keluargamu, bukan keluargaku. Owh, ya. Katanya calon istrimu kaya raya, minta uanglah sama dia."

"Dia belum jadi istri sahku, Bel. Aku masih malu minta sama dia."

Aku terkekeh geli mendengar ucapan suamiku.

"Lalu tadi waktu suruh bayarin sewa hotel kamu gak malu. Jangan-jangan bukan karena kamu malu minta. Dia saja yang pelit enggak mau ngasih calon suaminya uang." ucapku sambil menggigit sate padang kesukaan suamiku. Dia terus menelan ludahnya melihatku menyantap makanan kesukaannya.

"Jangan ngomong kemana-kemana kamu. Dia sudah sering kok ngasih uang ke aku. Sekarang aku lagi malu saja minta lagi. Lagian, aku mau nikah sama dia karena butuh uangnya saja. Aku cintanya cuma sama kamu saja, Bel. Seandainya bentuk badanmu  semontok dulu. Nggak kerempeng seperti ini, jauh cantikan kamu dibanding Dita. Percaya padaku, Bel!

"Gimana mau montok lagi, Mas. Jangankan makanan bergisi. Makanan ringan seperti kerupuk dan lainnya saja kamu tak mampu membelikannya untukku. Untung aku mau kerja, jadi aku bisa bertahan hidup sampai sekarang. Kalau aku juga sama pemalasnya sama kamu. Aku jamin bisa mati kelaparan karena tak makan sepanjang hari."

"Sudah cukup! kalau tak mau membagi makananmu jangan ngomel-ngomel enggak jelas seperti ini. Kamu tahu kan, aku benci orang cerewet. Sekarang aku cape mau istirahat. Mending kamu cepat keluar dari kamar ini biar enggak ganggu aku tidur!"

Karena marah, Mas Putra kehilangan akal sehatnya. Masa dia ngusir pemilik kamar sekaligus pemilik rumah yang dia dan keluarganya tumpangi selama ini.

"Nggak salah Mas ngusir aku. Memangnya ini kamar kamu? Memangnya rumah ini juga punyamu? Kamu lupa kalau kamu cuma numpang disini. Lucu masa kamu malah ngusir aku, pemilik sah rumah ini."

Tersadar dengan ucapanku, suami benaluku itu langsung gerak cepat pergi meninggalkan kamarku. Aku menertawakan kebodohannya. Aku pikir-pikir dia suami yang sangat langka. Karena baru sekarang ku temukan jenis orang tak tahu diri seperti dia.

Setelah selesai makan, sengaja ku buang bekas bungkusan dari makanan yang sudah kuhabiskan ke dalam tong sampah di dapur. Berharap setelah ibu mertua melihatnya darah tingginya langsung kumat dan langsung dibawa ke rumah sakit. Itu caraku mengusirnya secara halus. Jika tidak mempan juga, aku akan gunakan cara kasar. Tapi sepertinya aku ingin bermain-main dengan keluarga benalu ini sebentar lagi. Biar mereka tersiksa sama tersiksanya sepertiku selama setahun tinggal bersama mereka. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status