Pov Putra
Tok...tok...tok...
Suara ketukan pintu terdengar, aku enggan beranjak dari tempat tidur. Dita sangat liar di ranjang membuatku cukup kewalahan. Aku cape, aku ingin istirahat. Hanya dengan melayani Dita aku berharap bisa mendapatkan semua yang ku inginkan. Wanita haus sentuhan itu pasti akan memberikan semua hartanya untukku pelan-pelan.
Dita bangkit memakai bajunya kemudian membuka pintu kamar.
"Iya, Bu. Ada apa?" suara lembut Dita terdengar menyapa ibuku."Ibu cuma mau minta uang. Stok makanan didapur habis semua."
"Owh uang, ya? Aku jarang bawa uang cash, Bu. Soalnya orang kaya sepertiku selalu bawanya kredit card kemana-mana. Aku nggak suka bawa uang cash karena takut kerampokan."
Jawaban Dita membuatku terbelalak kaget. Rasa kantukku jadi hilang. Bisa-bisanya setelah kupuaskan dia malah pelit banget sama ibuku. Nggak ada niatan sema sekali dia balas budiku. Awas kamu, Dita!
"Masa uang 100ribu pun tak ada?" Ibuku masih memaksanya memberikan uang. Kasihan ibuku, dia pasti sangat tertekan dengan kebutuhan dapur sepeninggalan istriku Abel.
Bicara soal Abel, aku tak menyangka dia jadi sepintar sekarang. Kami sempat senang kemarin saat adikku berhasil membawa hand bag miliknya kabur. Tapi sial, dalam bag itu kosong. Tak ada barang apapun. Ku kira uang ataupun ponselnya ada disana. Lumayan kan buat biaya hidup kami setelah kepergiannya. Namun harapan kami pupus. Kami seharian kelaparan kemarin karena tak makan. Ini semua karena ulah Abel yang meninggalkan kami tanpa memberi kami uang sepeserpun. Harusnya Abel punya hati, bayar dulu utangku diwarung kek, atau isikan stok makanan didapur sebelum minggat dari rumah, kek. Wanita yang terluka memang sekejap saja bisa berubah jadi monsther jahat. Seperti Abelku sekarang yang tega meninggalkanku dan keluargaku begitu saja dalam kondisi kelaparan.
"Jangankan seratus ribu. Sepuluh ribupun tak ada uang cash aku, Bu!"
Aku bangkit tak sabar mendengar obrolan mereka. Aku akan paksa wanita itu memberikan uang pada ibuku. Namun setelah aku bangun, fokusku pindah ke objek lain. Ku lirik koper Dita. Dari pada mengemis padanya, bukankah lebih baik aku curi saja langsung uangnya.
Nasib baik berpihak padaku. Koper Dita tak dikunci. Aku memberi kode pada ibuku untuk terus mengajaknya bertengkar, ibu tau maksudku. Tak berapa lama Dita lari ke kamar mandi. Aku tak mendengar jelas lagi apa yang kemudian mereka ributkan. Mataku berbinar melihat kotak perhiasan milik Dita dalam koper.
Ku buka kotak tersebut. Sepasang anting, satu kalung dan dua buah cincin ada di kotak tersebut. Aku ambil segera perhiasan itu. Anggap ini sebagai ganti janji-janji orang tuanya yang selalu memberi harapan palsu pada keluarga kami.
Aku bergegas memakai bajuku kembali. Aku tinggalkan ibuku dan istri baruku yang masih terus saja bertengkar. Masih jam tiga sore. Toko mas pasti belum tutup. Segera aku pergi ke rumah mbak Lia tetanggaku. Aku pinjam uang sepuluh ribu untuk naik angkot kepasar. Meski awalnya mengomel saat ku pinjami, akhirnya dia memberiku juga uang tersebut. Aku tak marah dengan omelannya. Karena bulan kemarin utangku padanya belum ku bayar.
Sesampainya di toko emas. Aku dapat uang enam juta. Waow! Bodohnya Dita yang belum tahu sifat asliku. Ia berani menyimpan perhiasan sekali dengan surat-suratnya dalam koper yang tak berkunci. Jadi aku tak perlu susah payah, dengan mudahnya bisa menjual emas tersebut karena ada surat lengkapnya.
Setelah menjual perhiasan, aku mampir ke pasar membeli beras dan banyak kebutuhan lainnya. Untuk menebus rasa bersalahku pada Dita, kubelikan dia bakso, es campur serta buah-buahan segar untuknya. Pasti dia senang sekali nanti.
****
"Mas, darimana? kenapa pergi nggak bilang-bilang?" tanya Dita di depan pintu rumah. Sepertinya dia belum menyadari perhiasannya hilang kucuri jadi dia masih bisa sesantai ini padaku.
"Dari pasar sayang. Mas ngojek. Ni lagi nunggu becak yang ngantar barang-barang belanjaanku."
"Mas dari pasar belanja? darimana Mas dapat uang?" tanyanya penuh selidik padaku.
"Tadi pas denger kamu ribut dengan ibu, mas telepon teman. Mas pinjam uang darinya." jawabku berbohong.
"Owh, kirain nyuri."
Degh!
Aku pura-pura tertawa mendengar ucapannya.
"Mencuri? Mana ada pencuri seganteng, Mas. Hahaha...!"
"Iya kan, Mas. Suamiku yang ganteng ini mana ada muka-muka pencuri. Kalau pencuri hati iya. Buktinya aku langsung kepencut saat baru kenal, Mas." Aku dan Dita sama-sama tertawa. Dita menertawakan ucapan yang dipikirnya sangat lucu itu sedangkan aku menertawakan kebodohan ucapannya itu.
"Itu, becaknya sudah datang." ucapku menunjuk kearah becak yang berhenti di depan rumahku.
"Belanjaannya banyak banget, Mas?" tanyanya menggeleng-gelengkan kepala saat melihat satu becak penuh barang belanjaan yang ku beli.
"Iya, stok makan kita untuk sebulan." jawabku santai.
"Memangnya temenmu kasih uang kamu berapa sih, Mas. Kok kamu bisa belanja sebanyak ini?" tanyanya sambil ikut membantuku membawa barang belanjaan kedalam rumah.
"Enam juta." jawabku jujur.
"Teman Mas baik banget ya! Moga saja orang sebaik dia dimudahkan rejekinya dan dipanjangkan umurnya. Jaman sekarang jarang ada orang sebaik dia."
Aku menahan tawa mendengar ucapan istriku. Kalau seandainya saja ia tahu darimana uang ini berasal pasti dia akan berdoa yang sebaliknya.
"Ini, bakso buat kamu. Ada es campur dan buah juga. Kamu makan ya biar tenagamu pulih dan siap perang dengan Mas lagi nanti malam." ucapku sambil memberikan kresek hitam padanya.
"Bakso? Es campur? makasih sayang. Pokoknya malam ini 5 ronde karena kamu sudah baik banget sama aku."
Semoga saja 5 ronde itu perang diatas ranjang bukan perang karena aku ketahuan mencuri perhiasannya. Aku akan terus mengulur waktu agar Dita tak menyadari perhiasannya telah hilang.
Dita tengah lahap memakan bakso di ruang makan. Aku diseret ibu kedapur. Uang sisa belanja ada 3juta langsung dirampas ibuku.
"Bu sisain lima ratus ribu dong buat judi nanti malam." rengekku pada ibuku. Menyesal aku tak amankan dulu uang itu tadi.
"Enak saja judi. Kita lagi kesusahan ekonomi. Masih sempet-sempaetnya kamu mikirin judi."
"Tapi kan aku yang susah payah dapetin uang itu. Harusnya aku dong yang pegang uang itu."
"Uangmu ya uang ibu juga. Sama ibu sendiri perhitungan kamu!"
"Ya kasihlah buat beli rokok aku." rengekku lagi.
"Berhenti ngrokok dari sekarang. Abel sudah keluar dari rumah ini. Nggak ada yang jamin kebutuhanmu lagi. Istrimu yang sekarang kaya tapi pelit." ucap ibuku. Benar juga ucapannya. Dita pelit sekali. Makanya selama ini aku segan minta uang padanya meski aku tahu dia orang kaya.
"Eh, Put. Ibu lihat istrimu makin kesini makin aneh."
"Aneh gimana, Bu?" tanyaku bingung.
"Tadi dia muntah-muntah."
"Memangnya kenapa kalau dia muntah-muntah. Mungkin saja dia masuk angin terus muntah."
"Tapi dia marah waktu ibu mendekat tadi. Katanya ibu bau keringat, kedatangan ibu makin buat dia mual."
"Itu, mah nggak aneh, Bu. Aku juga sering mual kalau cium bau keringat ibu, tapi aku tahan karena takut ibu tersinggung. Makanya mulai sekarang mandi yang rajin biar orang lain nggak tersiksa dengan bau badan ibu."
Ibu mendelik mendengar ucapanku. Apa aku salah mengeluarkan unek-unekku selama ini?
"Kamu itu! ibu lagi serius ngomong malah becanda!"
"Putra nggak becanda. Putra ngomong serius tadi."
"Sudah jangan menyahut lagi. Ibu belum selesai ngomong. Ibu curiga istri barumu hamil."
"Jangan becanda deh, Bu. Kita baru ketemu dua minggu lalu, itupun saat itu aku pakai pengaman. Baru saja hari ini aku tak pakai pengaman mana mungkin dia langsung hamil."
"Ibu nggak becanda. Ibu yakin pasti dia menyembunyikan sesuatu dari kita. Setelah dipikir-pikir ibu baru merasa curiga sekarang kenapa Ayah Dita memaksa kalian menikah secepatnya padahal mereka tahu kamu sudah beristri."
Aku diam, membenarkan semua ucapan ibuku.
"Sementara pura-pura tak tahu masalah ini, Bu. Kita pura-pura baik saja dulu sama Dita."
"Nggak bisa gitu dong. Dia dah nipu kita. Mana dia dan keluarganya pelit banget lagi. Mending ibu usir langsung dia dari rumah ini. Kita bujuk lagi Abel tinggal dirumah ini. Pasti istri pertamamu masih mau kok balikan sama kamu. Kita tinggal berakting sedih dan menyesal saja pasti dia terus maafkan kita."
"Tidak semudah itu membujuk Abel datang lagi kerumah ini, Bu. Dia sudah ngijinin kita tinggal dirumah ini saja dah untung. Jangan harap kita bisa dapatkan maafnya."
"Kamu ini ganteng-ganteng bodoh. Abel itu sebenarnya nggak tegaan. Kita berdrama menangis dan menyesal pasti dia mau maafin kamu lagi. Atau bila perlu kita pergi dukun biar hatinya luluh seperti dulu pas dia pertama kalinya pergi. Gimana?"
"Iya kita lakuin itu nanti. Tapi untuk sekarang kita buat pelajaran Dita dulu karena sudah menutupi kehamilannya dari kita."
"Maksudmu?" tanya ibuku
"Aku akan mengajak teman-temanku merampok rumah Dita. Kan orangtuanya lagi pergi keluar negeri jadi rumahnya paling cuma ada pembantu dan satpam saja. Pasti mudah merampok disana."Ibuku tersenyum mendengar ideku.
"Kamu sebenarnya pintar, tapi selama ini kamu tak kamu pakai otak pintarmu itu. Kamu ambil semua barang-barang berharga di rumah itu. Nanti kita kabur dan tinggalin kota ini."
Aku senang ibuku mendukung niatku. Aku tak sabar jadi orang kaya. Dengan memiliki uang aku yakin bisa mendapatkan model wanita seperti apa saja.
"Mas, Putra!"
Suara teriakan Dita hampir membuat gendang telingaku pecah. Wanita penipu itu kenapa berteriak sekeras itu. Mungkinkah dia sudah menyadari perhiasannya hilang? Aku masih cape, malas sekali melayaninya bertengkar.
Pov Liam"Mingkem Liam, nanti kemasukan nyamuk mulutmu!"Aku baru sadar setelah Irish menyuruhku menutup mulutku. Malu? tentu saja begitu."Kamu lama sekali!" aku pura-pura geram pada Irish."Ngantri. Pengunjung salon bukan aku saja!" jawabnya.Aku membukakan pintu mobil untuknya."Aku pakai mobilku saja!" ucap Irish."Jangan membantah kenapa? Masuk!"Irish pasrah dan menuruti perintahku. Sepanjang perjalanan memang kami saling diam tapi mataku jelalatan curi-curi pandang kearahnya.Mobilku telah sampai di depan hotel yang sudah di sewa sebagai tempat pernikahan Viola dan Yudha. Aku menuntun Irish selayaknya kami betulan sepasang kekasih.Saat masuk kedalam, aku melihat Viola dan suaminya sedang sibuk mengobrol dengan tamu lainnya."Irish menunduk dan sama sekali tak berani menatap mantan pacarnya. Aku tahu hatinya sedang sangat hancur tapi dia harus mengangkat wajahnya agar tidak terlihat lemah seperti ini."Jangan nangisin jodoh orang gitu!" ucapku menggoda Irish."Siapa yang nangis
Pov Liam"Polisi sudah datang. Maaf, telah membuatmu malu di depan umum. Aku tak mau kamu kabur dan kembali menyakiti Irish!" ucapku. Vikha sangat marah melihat beberapa polisi datang ingin menangkapnya."Brengs*k kamu Liam. Kamu temanku tapi kenapa kamu malah membela wanita itu!" teriak Vikha saat polisi akan membawanya pergi. Pengunjung restoran yang datang semua menatap kearah Vikha.Vikha memang temanku. Kami cukup akrab semasa SMA dulu tapi bukan berarti aku diam saja saat dia melakukan kejahatan.Aku kasihan pada Irish. Hidupnya sudah sangat berantakan karena Vikha. Aku harap Irish akan kembali mendapat haknya setelah Vikha dan yang lainnya tertangkap.Setelah urusan Vikha selesai aku langsung pulang kerumah."Kau sudah makan?" tanyaku saat Irish membuka pintu rumah."Belum. Kamu sendirikan yang melarangku makan sebelum kamu pulang!" jawabnya datar. Aku tersenyum karena senang dia menuruti perintahku."Aku mandi dulu, kamu siapkan makan malamnya!" perintahku. Dia mengangguk dan
Pov LiamAwalnya aku sangat marah karena mantan istri temanku selalu saja membuat masalah. Aku kesal wanita itu selalu membuatku hampir celaka, namun setelah mendengarkan cerita menyedihkannya, semua perasaan benciku hilang. Namun meski begitu aku tak mau melepasnya begitu saja. Dia harus tetap ku hukum.Setelah keadaannya membaik aku membawanya pulang ke rumahku. Mobilnya masih di bengkel jadi dia menurut begitu saja saat aku menyuruhnya masuk ke dalam mobilku.Irish sangat rajin, dia mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan sangat rapih. Masakannya juga sangat enak. aku heran dengan Alan. Bagaimana dia bisa membuang wanita seperti Irish demi wanita egois seperti Vikha dan keluarganya."Kamu sudah makan?" tanyaku ketika akan makan malam."Sudah." jawabnya sambil menyiapkan makanan di atas meja makan."Lain kali jangan makan sendirian. Kamu harus tunggu aku sampai pulang." ucapku."Ok!" jawabnya singkat padahal aku ingin dia lebih cerewet seperti biasanya. Tapi yang tetjadi malah seba
Pov AlanAku tak menyangka Irish tega menghancurkan kepercayaan Ayahku. Untuk apa coba dia menjual rumah dan toko pemberian Ayahku kalau bukan untuk memberi Yudha bantuan.Aku tahu keuangan Yudha pasti sedang hancur untuk mengurus ibunya. Jadi lelaki itu menggunakan Irish untuk menyelamatkannya dari kemiskinan.Awalnya aku tak percaya Irish menjadi wanita sebodoh itu demi Yudha. Nmaun setelah Vikha memberiku bukti bahwa Irish benar-benar sudah menjual toko dan rumah aku baru percaya.Meski aku tahu kesalahan Irish fatal, melihat wanita itu di maki secara kasar oleh Ayahku, aku menjadi tak tega. Entah aki masih terus menyukainya atau perasaan ini hanya perasaan kasian saja."Kamu sedang memikirkan apa, sayang?" tanya Vikha sambil mendekat kearahku. Sebelah wajahnya masih sangat menakutkan, tapi syukurnya dia sudah bisa menerima kenyataan."Aku masih saja tak habis pikir dengan perbuatan Irish. Kenapa dia makin bodoh setelah bercerai denganku. Dulu meski aku jahat, aku tak peelrnah meni
Mataku hampir saja terpejam, namun bel di rumahku terus-terusan berbunyi tanpa jeda. Aku yakin orang datang berniat cari masalah.Pintu ku buka, ada lima lelaki berbadan kekar berdiri di depan pintu. Apa orang-orang ini adalah orang suruhan dari orang yang sudah menipuku kemarin?"Kami akan memberi waktu satu jam dari sekarang untuk kamu mengemas barang-barang kamu!" ucap salah satu dari mereka."Kenapa aku harus mengemas barangku?" tanyaku sambil menatap nyalang para lelaki itu."Jangan pura-pura bodoh! kamu sudah menjual rumah ini pada bos kami!" bentak lelaki tadi."Bos kalian gila. Dia sudah menjebakku. Aku tak pernah menjual rumah ini padanya!""Jangan banyak bicara kamu atau kamu akan menyesal!" lelaki yang dari tadi bicara memberi kode pada temannya untuk menyeretku. Aku melakukan perlawanan, tapi tenagaku tidak ada apa-apanya di banding mereka. Aku terlempar keluar pintu rumah.Beberapa lelaki yang tadinya masuk ke dalam rumah kembali dan membawakanku koper berisi baju-bajuku.
Pov Irish"Apa enggak ada cara lain ya, Bik? aku enggak tega menyerahkan sertifikat rumah dan toko pemberian Ayah Adit pada mereka. Aku takut Ayah Adit akan marah jika tahu.""Dia takan tahu, Bu. Rahasia ini cuma kita berdua yang tahu. Toko ibu cukup ramai sebelumnya. Anda pasti pelan-pelan bisa mencicil uang yang anda pinjam." balas bik Linda. Benar juga ucapannya, bisnis kueku cukup ramai, aku yakin bisa dengan cepat membayar cicilan hutangku."Baiklah, Bik. Kapan kita temui orang itu?" tanyaku pada Bik Linda."Kapanpun anda ingin menemuinya saya akan antarkan." jawabnya."Kalau gitu besok kita akan ke rumah orang itu.""Baik bu, esok jemput langsung saja saya di rumah kontrakan saya."Aku mengangguk setuju. Kemudian bik Linda pamit pulang. Setelah kepergiannya aku merasa kembali kesunyian di rumahku sendiri. Mengingat penghianatan Yudha aku kembali menangis. Selemah ini memang aku sekarang.Semua fotoku saat bersama Yudha sudah aku hapus, nombornya pun sudah ku blokir. Barang-baran