Share

4

Kaluna Maharani Atmaji Putri POV

Malam ini setelah makan malam dengan keluarga Ervin, kami semua berkumpul di ruang keluarga dan menonton tv bersama. Di sana aku bisa melihat interaksi Ervin dengan Ranu, entah kenapa aku tidak bisa melepaskan tatapanku dari ke dua mahluk ciptaan Tuhan yang sungguh indah itu.

"Sabar Mbak, bentar lagi Mbak Luna bakal nimang anak mbak sendiri sama Mas Ervin," seketika aku kaget mendengar suara itu di telingaku.

Aku hanya tersenyum. "Aku belum kepikiran sampai sana," Jawabku jujur.

"Kenapa belum Mbak? aku lihat mas Ervin itu Papa able banget lho Mbak, Mbak enggak usah takut kalo mas Ervin akan selingkuh, sepanjang hidup aku, baru sekali ini mas Ervin bawa cewek pulang ke rumah langsung di kenalin jadi calon istri pula dan aku lihat perlakuan dia ke Mbak itu so sweet banget."

"Apanya yang so sweet?"

"Lha itu tadi Mbak Luna mau ke mobil ambil laptop aja di anterin, Mbak Luna di tantangin ibu masak aja, Mas Ervin bantuin kan, padahal aku tau lho Mbak, Mbak Luna gak terlalu akrab ama spatula apalagi urusan goreng-goreng, goreng telur aja bentuknya udh sehancur muka aku kan," tutur Jani jujur yang membuat wajahku memerah bukan karena marah tapi malu karena kejadian sehabis maghrib itu terngiang kembali.

Ketika aku ke lantai satu setelah mandi, ibu memintaku untuk memasak karena Jani sedang repot mengurus Ranu dan belum sempat memasak untuk makan malam. Aku yang sedari kecil tidak pernah tau menahu soal urusan dapur, menjadi shock, mangap-mangap seperti ikan kekurangan air, bingung mau mengatakan apa.

Andai aku jujur jika diriku tidak menguasai urusan dapur terutama masak memasak bisa-bisa aku langsung dicoret dari daftar calon mantu dan aku sudah tidak punya waktu lagi untuk mencari pengganti Ervin saat ini. 

Akhirnya aku hanya mengangguk dan berjalan menuju dapur, satu satunya yang  masih bisa aku masak mungkin hanya menggoreng telur. Dengan keterbatasan kemampuanku, aku mencoba menggoreng dan bukannya menjadi telur mata sapi, yang sekarang jadi adalah telur gosong dengan mata sapi sudah meleleh tidak bulat di tengah.

"Nasib-nasib, gini amat sih pengen punya suami doang, perjuangannya melelahkan," desisku di dapur tetapi tidak sengaja di dengar oleh Ervin yang sedang mengambil air minum.

"Perlu bantuan nggak, Lun?"

Mendengar suara Ervin, badanku menjadi menegang, pelan-pelan aku membalikkan badan dan terlihat Ervin sedang mengalungkan celemek memasak bergambar Doraemon warna biru di badannya yang tegap sempurna.

"Eee...nggak usah kayanya. Aku bisa sendiri," jawabku yakin.

"Tapi dari apa yang aku lihat dimata kamu, kamu itu saat ini memang belum bisa masak. Sini aku bantuin, kamu motong motong sayuran yang buat sop aja," kata Ervin yang langsung mengambil alih dapur.

Aku membuka kulkas, dan mencari bahan bahan yang biasa digunakan untuk membuat sop. Setelah mengeluarkannya, aku bergegas memotongnya, tapi tanpa aku minta Ervin sudah membantuku.

"Kamu kalo ada kesulitan dan perlu bantuan bisa bilang sama aku, sebisa mungkin nanti aku bantu," kata Ervin sambil mengupas kentang.

Aku hanya tersenyum memamerkan deretan gigi yang rapi, putih sambil berucap, "kalo urusan dapur aku nyerah, karena aku masuk dapur bisa di hitung pakai jari. Paling cuma ambil minum sama makan doang."

"Kamu tinggal bareng orangtua?"

"Sejak lima tahun yang lalu aku sudah nggak tinggal bareng mereka walau kami satu kota, tepatnya sejak aku beli rumah sendiri. Kamu tinggal disini bareng ibu dan Jani?" Tanyaku sambil menatap Ervin yang sibuk memotong kentang.

"Enggak, Lun. Aku tinggal di apartemen. Sesekali saja aku balik ke sini buat nengokin ibu, Jani dan Ranu."

"Ngomong-ngomong, tadi aku nggak sengaja denger pembicaraan kamu sama ibu, aku tau ini bukan kapasitas aku untuk bicara sebenarnya cuma aku pengen bantu kamu dan ibu."

"Kamu denger semua?"  tanya Ervin dengan mata yang saat ini fokus padaku.

Aku menganggukkan kepalanya."Iya, maaf kalo aku mendengar semuanya. Aku pengen bantu kamu soal biaya HD ibu. Aku harap kamu bisa terima itu, bagaimanapun aku calon istri kamu dan aku minta kamu berhenti dari pekerjaan kamu selama kita menikah. Itu pasti akan membuat kamu kehilangan penghasilan."

"Kamu nggak perlu sampai segitunya Lun. Aku tau kamu punya banyak uang tapi aku masih bisa biayain ibu," Kata Ervin yang terdengar seperti tersinggung di telingaku.

"Vin, maaf kalo kamu tersinggung atas apa yang aku bilang barusan. Bagaimanapun juga ketika kita menikah, ibu adalah orang tuaku juga, sebagai anaknya kita wajib memberikan yang terbaik bagi orang tua kita selagi kita masih mampu," mendengar kata kataku barusan, akhirnya Ervin menyetujui keinginanku.

***

Malam hari ketika aku sudah berbaring di ranjang yang berada di kamar Ervin tiba-tiba Handphoneku bergetar dan tertera pesan W******p dari Hilda, mau tidak mau aku membacanya.

Hilda : Gmn rasanya ketemu camer?

Luna : Kepo lo?

Hilda : Pastilah, gue sudah nggak sabar pengen ghibah virtual sama lo dari tadi sore malah.

Luna : Gue barusan tidur dikamar Ervin. Gue nginep dirumah ibunya malam ini.

Hilda : katanya NO SEX, taunya ketemu sekali langsung ngamar berdua di rumah emaknya pula.

Luna : susah emang kalo ngomong sama emak-emak yang otaknya mesum kaya lo gini.

Hilda : gue bukannya mesum, kan nggak ada salahnya test drive dulu sama Ervin. Biar Lo tau gimana rasanya nyaman apa enggak.

Luna : lo kira gue mau beli mobil?

Hilda : bukan beli mobil, cuma beli suami.

Luna : sekali lagi Lo nyebut-nyebut soal rahasia kita ini, gue gampar pakai sandal.

Setelah membalas pesan W******p dan hanya dibaca oleh Hilda tanpa membalasnya lagi, aku akhirnya berusaha untuk tidur dikamar di Ervin ini yang sejujurnya sulit untuk dilakukan karena kasur ini beraroma Ervin dimana mana. Siksaan yang cukup berat bagiku karena aromanya yang cukup menggoda iman.

***

Pagi hari di rumah Ervin sudah begitu ramai dengan tangisan Ranu dan teriakan suara Jani dibawah, bahkan aku mendengar Ervin ikut menenangkan Ranu yang menangis. Usut punya usut ternyata Ranu mengamuk karena belum mau dimandikan dan sekarang Jani kesulitan memakaikan baju setelah sukses memaksa Ranu untuk mandi. Aku turun dari kamar, menuju lantai satu.

"Eh Lun, kamu sarapan dulu, kita mau ke apartemen aku buat ambil berkas berkas pengurusan numpang nikahnya."

Aku hanya menatap Ervin dengan pandangan tidak percaya, yang ngebet nikah kan aku, tetapi justru Ervin yang semangat 45 mengurus semua. Padahal aku berbicara kepada Mama dan Papa saja belum.

"Vin, kalo kamu anterin aku ke bandara saja gimana? aku kudu balik sekarang. Weekend ini aku ada event wedding di 2 gedung dan aku harus awasi jalannya acara."

"Oh okay, tapi kamu makan dulu terus mandi ya?"

Aku hanya menganggukkan kepala dan segera menuju meja makan, lanjut naik lagi ke lantai dua dan mandi. Pukul 09.00 WIB aku sudah rapi dengan baju yang kemarin aku gunakan. Ketika turun dari lantai atas, aku melihat Ervin sedang duduk di ruang tengah dengan kaki kanan ia tekuk dan sandarkan ke paha kirinya. Ervin dengan kaos dan celana skinny jeans hitamnya, terlihat kontras dengan kulit putihnya. Aku hanya berhenti di tengah tangga memperhatikan Ervin, entah sudah berapa lama aku berdiam diri di sini, hingga Ervin akhirnya sadar dan menoleh kepadaku. Senyuman Ervin pagi ini yang secerah matahari pagi sanggup membuatku salah tingkah sendiri.

"Sudah puas belum ngelihatin aku?"

Aku merutuki kebodohannya dalam hati.

"Siapa juga yang ngelihatin kamu? GR banget. Cuma lagi lihatin rumah kok sepi pada kemana?"

"Oh, Jani sama Ranu sedang antar ibu HD, tadi mereka niatnya nunggu kamu turun tapi keburu nanti antriannya makin banyak dan lama jadi aku suruh langsung berangkat aja. Kamu sudah siap?"

"Sudah, yuk berangkat sekarang aja soalnya penerbanganku 3 jam lagi," Kataku sambil berjalan menuruni tangga langsung menuju pintu utama rumah melewati Ervin yang juga mengikutinya dibelakang.

Saat hampir sampai di mobil, Ervin memanggil yang membuat aku menoleh dan berhenti berjalan. Aku kira ada apa, ternyata Ervin hanya berjalan disebelahku, meletakkan telapak tangan kanannya di punggungku, sambil membukakan pintu mobil untukku dengan tangan kirinya.

"Hmm, benar kata Hilda, kalo Ervin itu so sweet banget ternyata," kataku dalam hati.

Disepanjang perjalanan aku memberikan informasi tentang rencanaku berkaitan dengan pernikahan yang akan mereka berdua lakukan. Aku menginginkan pernikahan secara sederhana saja yang dihadiri keluarga dan teman dekat. Ervin sempat tersenyum, karena jika dipikir aku ini berprofesi sebagai seorang Wedding organizer, namun kenapa untuk hari bahagianya justru aku ingin yang sederhana saja.

Kata kataku yang mengatakan, "buat apa buang duit banyak-banyak, cuma untuk pernikahan yang akan diakhiri dalam jangka waktu satu tahun kedepan," sanggup membuat Ervin diam seribu bahasa setelahnya, hingga kami sampai di bandara dan Ervin langsung tancap gas meninggalkanku karena aku menolak diantar sampai kedalam.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status