Ibu mendekap erat gamis cokelat yang tadi sempat beralih ke tangan menantunya. "Kamu tahu nggak, As?" tanya ibu. Ia memegang tanganku. Iya, aku dan ibu memang duduk di belakang sedangkan Mas Ubay di depan. "Apa, Bu?" "Gamis ini baru dua kali dipakai oleh ibu." "Ibu nggak suka dengan gamis ini sehingga jarang dipakai?""Bukan, tetapi ibu lebih nyaman pakai kain jarik dengan kebaya. Lagi pula, masa iya ke sawah pakai gamis. Ntar sobek kena duri rumput." Ibu tersenyum. "Oh, aku kira karena nggak suka.""Oh, ya, Bu. Tanaman cabai kita yang panen itu gimana kalau kita tinggal? Kenapa aku sama sekali nggak kepikiran, ya? " Aku tepuk jidat dan seolah baru ingat ada tanaman cabai milik Ibu yang harus diurus. Ciiiit!Mas Ubay mengerem mendadak mobilnya dan menoleh ke arah ibu, "iya, kenapa kita nggak kepikiran, ya? Sayang juga, kan, kalau dibiarkan begitu saja. Mana sudah siap panen lagi. Ayo kita balik lagi!" Mas Ubay terlihat panik. Ibu tertawa melihat kami malah bahas tanaman cabai y
Kubaca sekali lagi status Mbak Vita karena masih belum paham dengan yang ia tulis kalau menyumbang itu sama dengan menitipkan uang. "Bu, apa benar seperti ini?" tanyaku setelah kupikir-pikir tidak menemukan jawabannya juga karena selama ini kalau nyumbang, ya, nyumbang aja nggak pernah minta balasan. "Apanya, As?" Ibu balik tanya. "Ini yang dibilang Mbak Vita kalau kita menyumbang itu seperti menitipkan uang? Artinya kalau kita pernah nyumbang banyak saat kita ada hajatan juga akan dapat banyak. Kalau seperti itu bukan tolong menolong untuk meringankan beban, dong, Bu?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Ibu mengambil buah anggur dan memasukkan ke dalam mulutnya. "Seharusnya memang begitu, kalau kita menyumbang itu harus ikhlas, tetapi pada kenyataannya tidak begitu, kalau kita memberi lebih sedikit dari yang pernah kita terima pasti jadi omongan orang banyak. Seperti Rida kemarin." "Rida? Memangnya Rida kenapa, Bu?" tanyaku penasaran. Rupanya saat aku pulang ke kota waktu itu ada k
Aku sudah selesai mandi dan ganti baju. Sekarang aku merasa lebih segar dan nyaman dengan baju tidur tipis berwarna merah yang menempel di badan. Kuambil alat pengering rambut karena habis keramas. Percuma mandi kalau tidak keramas. Aku menggeleng saat melihat ibu masih saja berbicara di depan ponsel dan aku merasa kalau ia seperti orang yang sedang berpidato saat ini. Apakah tidak capek berbicara tadi, Bu? Bahkan hingga aku selesai mandi. Ibu sedang berdiri di depan aquarium besar yang berisi ikan hias kesayangan Mas Ubay. Sesekali ia mengarahkan ponselnya pada ikan-ikan koi yang sedang berenang di dalam air. "Aruna dan yang lainny pasti senang kalau diajak ke sini, Vit. Tuh lihat! Ikannya banyak dan lucu banget," kata ibu masih dengan semangat empat lima. Aku merasa ada yang aneh, kenapa ibu terus berbicara sedangkan Mbak Vita yang ada di seberang sana tidak merespon? Jangan-jangan ... Aku mendekati ibu yang masih asyik dan melongok ke ponsel yang dipegangnya. ternyata benar du
Ibu terus merengek minta ponsel agar bisa menghubungi anak pertamanya itu. "Mana ponselnya, As? Biarkan ibu melakukan siaran langsung saat makan seperti para selebgram itu." Ibu menadahkan tangan padaku. Tepuk jidat. "Ibu tahu selebgram sedang live makan-makan di mana?""Tahu lah, As. Meskipun tidak punya ponsel, tetapi Ibu punya televisi, kan? Ayo, mana ponselnya sebelum waktu imsak tiba." "Nah, itu, tahu kalau waktu imsak hampir tiba? Sebaiknya Ibu segera makan dan lupakan telepon dengan Mas Karim yang belum tentu dapat respon baik. Ibu lupa dengan apa yang Mbak Vita lakukan tadi malam? Ia mematikan sambungan telepon saat berbicara dengan Ibu? Ayolah, Bu. Jangan seperti anak kecil! Kita makan sekarang juga." "Asty benar, Bu. Sebaiknya kita segera makan karena waktu sahur ini sangat terbatas dan sekarang hanya kurang lima menit," sahut Mas Ubay. Ibu menggeleng dan tangannya bersedekap. Benar kata orang, orang tua kalau sudah merengek bisa melebihi anak kecil. "Ibu nggak mau mak
Ibu buru-buru menekan tombol hijau dan menghadap kamera. "Assalamu'alaikum, Bu?" Terdengar suara wanita seorang menyapa, tetapi bukan Mbak Vita, Mbak Sindi, maupun Mbak Nurma melainkan Rida. "Waalaikumsalam, Da." Ibu tersenyum lebar meski aku tahu ia sangat kecewa saat ini. "Maaf, ya, Bu. Baru bisa menghubungi Ibu hari ini karena kemarin sibuk. Sebenarnya sudah berencana mau telepon tadi malam, tetapi malah ketiduran. Ibu sampai di rumah Asty jam berapa? Jauh, ya, rumah Asty? Oh, ya, Ibu mabuk perjalanan nggak? Setahu aku, ibu suka mabuk kendaraan makanya enggak pernah mau kalau diajak ke rumah Astu yang jauh dan hanya bisa ditempuh dengan mobil, itu pun sampainya lama. Ibu baik-baik saja, kan? Ibu sekarang ada di mana? Apakah itu rumah Asty? Wah, sepertinya rumahnya bagus dan nyaman, ya, Bu? Pantesan Ibu sampai lupa tidak memberiku kabar saat sudah sampai." Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Rida tanpa jeda yang ditanggapi senyum lebar oleh ibu. "Iya, Da. Alhamdulillah, Ibu b
Gema takbir terus berkumandang. Kami sedang menikmati hidangan khas lebaran berupa ketupat plus opor dan kawan-kawannya. Kulirik ibu yang seperti tidak berselera makan. Aku tahu, bukan makanannya yang tidak enak, tetapi pikirannya yang sedang tidak tenang memikirkan anak-anaknya di desa. Iya, ini untuk pertama kalinya ibu merayakan hari raya tanpa mereka."Ibu masuk ke kamar dulu, ga, As?" Ibu mengambil tissue dan mengusap bibirnya. "Enggak dihabiskan makanannya, Bu?" tanya Mas Ubay. "Ibu sudah kenyang." Ibu mengusap perutnya. Aku tersenyum dan mengangguk meski dalam hati menyangkal. Dari mana ia bisa kenyang kalau makanannya saja masih separuh. Rasa rindu pada seseorang memang terkadang membuat kita kehilangan selera makan. "Kenapa, Dek?" tanya Mas Ubay setelah kami selesai makan dan aku kembali melihat status Mbak Nurma dengan motor barunya. Kutimang-timang ponselnya dan aku masih termenung memikirkan dari mana Mas Karim mendapatkan uang untuk beli motor itu. Aku bahkan tidak
Mas Karim yang sudah terlihat segar dan tampan dengan baju koko berwarna hijau tua plus peci hitam itu matanya terlihat berkaca-kaca. Ia tersenyum sehingga lesung pipinya kelihatan jelas. Saat melihat Mas Karim, bayangan bapak tiba-tiba melintas. Perawakannya yang tinggi tegap memang mewarisi bapak. Kata ibu, Mas Karim sangat mirip dengan bapak saat masih muda. "Sepertinya kamu sangat senang, Rim? Ada kejutan apa untuk Ibu?" tanya ibu. "Adnan sudah besar, Bu, sehingga kalau naik motor rasanya sesak jika bertiga." Mas Karim memulai pembicaraan. Ia menjeda napasnya sebelum melanjutkan ucapannya."Iya, terus?""Bu, aku sudah punya motor baru di hari raya ini. Rencananya buat Adnan nanti agar ia bawa motor sendiri saat keliling silaturahim nanti," kata Mas Karim. "Apa nggak terlalu dini memberi motor pada Adnan. Bahaya, lho, Mas, anak kecil seperti dia sudah bawa motor sendiri?" sahut Mas Ubay. "Mau bagaimana lagi, Bay. Motor kami sudah terlalu berat kalau buat bonceng tiga apalagi
Aku masih tidak habis pikir, kenapa Rida bisa berada di dalam mobil Mbak Vita dengan anak-anaknya yang terdengar berisik. Padahal biasanya ia paling anti memberikan tebengan pada sembarang orang. "As, aku telepon kamu karena ada yang ingin kubicarakan," ucap Mbak Vita serius. "Iya, Mbak. Ada apa?" tanyaku dengan memutar bola mata malas. "Kamu pasti heran kenapa aku memberi tumpangan pada Rida dan anak-anaknya yang berisik ini, kan? Lihat! Betapa berisiknya suasana di dalam mobilku ini padahal aku suka dengan ketenangan." Mbak Vita sesekali mengarahkan ponselnya ke arah anak Rida yang terus saja berceloteh saat di dalam mobil yang belum berjalan itu. Haish. Kenapa Mbak Vita bertele-tele begitu? "Tadi aku lihat Rida begitu kerepotan saat di jalan bersama dua anaknya itu padahal mobilku kosong. Sebagai tetangga yang baik dan cantik serta ramah, aku bertanya, dia mau ke mana, kan?" ucap Mbak Vita. Kukorek telingaku dan mengembuskan napas kasar. Mendengarkan ucapan Mbak Vita yang ti