"Lu yakin dengan jelas kalau itu adalah Arumi bini lu?"
"Iya. Dia sama mantan pacarnya dulu. Si Arumi sih kayaknya tidur. Makanya ga tahu.""Masa iya, tidur sampe ga tahu kalau mantannya nabrak orang? Kalau gak salah, yang nyupir juga banting setir sampai nabrak pohon besar, kan?"Aku terkejut bukan main. Mantanku menabrak orang saat bersamaku? Maksudnya, Kinos? Memang benar tiga tahun lalu aku mengalami kecelakaan bersama Kinos, tapi setahuku, kami tak pernah menabrak orang. Atau, apakah Bunda merahasiakan semuanya?"Sayangnya, keluarga Rumi malah menerima kompensasi dari keluarga mantannya yang s*alan itu!""Yah, karena Rumi hanya anak angkat di keluarga itu. Sama aja mereka membuangnya, kan?"Terdengar helaan napas berat Mas Haris. Segitu cintanya kah ia pada Arumi alias Rumi? Jadi, dia mendekati lalu menikahiku hanya karena aku tengah bersama dengan Kinos waktu itu?Memang benar, waktu itu kami sedang berada di sebuah pesta, aku membantu kakaknya Kinos yang merupakan wedding organizer. Pulang-pulang ketiduran di mobilnya karena terlalu capek. Namun, aku tak tahu apa-apa hingga akhirnya terbangun ketika sudah berada di rumah sakit.Bunda hanya bilang jika kami menabrak pohon besar karena Kinos ngantuk. Dan bodohnya aku, langsung percaya begitu saja. Ah, Bunda. Kenapa harus berbohong?"Rum," bisik Kalisa.Wanita itu menatapku berkaca. Sementara aku dari tadi sudah menahan mendung di pelupuk mata. Sakitnya sudah tak bisa dikatakan lagi.Kalisa membawaku pergi, yang terpenting sekarang kami sudah mengetahui tentang semua itu."Kamu yang sabar, ya, Rum. Si Haris emang keterlaluan banget. Yang salah kan Kinos," ucap Kalisa begitu mobil kami melaju.Semenjak kejadian kecelakaan itu, Kinos menghilang bak ditelan bumi. Begitupun dengan keluarganya. Kak Winda, bahkan tak bisa kuhubungi. Padahal hampir setiap hari kami melakukan komunikasi."Aku benar-benar kecewa dan sakit hati kalau Mas Haris menikahiku karena ingin balas dendam, Lis. Sungguh jahat sekali dia.""Pasti, lah. Andai aku jadi kamu pun, pasti aku sakit hati. Bahkan kemarin, meski kamu tahan pun, aku bakal ngamuk di sana. Kalau perlu ngereog sekalian. Andai jadi kamu pun," ucap Kalisan sambil menggenggam tanganku.Kami berteman sudah sangat lama, wajar jika ia pun bisa merasakan, apa yang aku rasakan sekarang. Kuhela napas panjang, aku tak bisa terus menerus begini. Kalau hanya meratap, yang ada aku bakal kecolongan terus dan Mas Haris akan bersenang-senang dibalik kebodohanku."Aku harus bergerak, Lis. Nggak bisa terus kaya gini. Besok, aku mungkin aku mendatanginya."Tepat saat aku selesai berbicara, sebuah panggilan masuk ke ponselku. Dari Bunda."Assalamu'alaikum, iya, Bun?""Tadi mertuamu ke sini.""Ngapain?""Nanya kok kamu nggak nginep di sana lagi? Terus nanya juga katanya saudara kita ke mana. Bunda bingung harus jawab aja, jadi Bunda bilang aja mereka lagi jalan-jalan.""Tapi Ibu percaya kan, Bun?""Sepertinya, soalnya mereka langsung pulang.""Alhamdulillah. Bun, maafin Arumi ya, gara-gara Arum malah Bunda jadi berbohong.""Nggak papa. Asal setelah ini, ceritakan semua pada Bunda, agar semuanya terbuka tanpa satu pun yang ditutupi.""Baik, Bun."Aku menutup telepon, lalu lagi-lagi menghela napas. Meski merasa kecewa pada orang tuaku, aku yakin kalau mereka punya alasan di balik ini semua."Gue bener-bener nggak nyangka kalau dijadiin bahan balas dendam sama Mas Haris. Yang nyetir, Kinos. Yang nabrak, Kinos. Tapi kenapa gue yang kena? Kenapa hidup nggak adil begini?" Lagi, air mataku mengalir deras.Mengingat jika selama tiga bulan ini, Mas Haris menjalani hidup rumah tangga kami tanpa cinta. Hanya aku yang mencintainya, sementara ia membenciku. Siapa yang akan bertahan?"Apa nggak sebaiknya lu tanya aja langsung? Biar semuanya jelas?"Aku menggeleng. Lalu membisikkan rencana yang sudah ada di kepalaku pada Kalisa. "Lu yakin?" "Sangat yakin." "Ya sudah, besok gue antar. Gue pantau dari kejauhan." Aku mengangguk, lalu ingat jika belum salat isya. Kami pun salat bersama. Dalam do'a aku meminta diketukkan hati Mas Haris agar tak membalas dendamnya lagi padaku. Tapi, jika mengingat Arumi yang lain, untuk apa aku berdo'a seperti ini? Andai aku jadi Rumi, sudah pasti tunanganku akan melakukan hal yang sama, kan?--Pagi hari.Aku tengah menonton televisi sambil menikmati pisang goreng yang dibuat oleh asisten rumah tangga Kalisa. Enak, sejenak aku melupakan kejadian kemarin. "Lu perginya siang, kan?" "Iya. Kayaknya kalau siang Mas Haris nggak ada. Makanya gue mau ke sana." "Yakin, gak ada?" "Iya. Orang sendalnya aja gak keliatan di depan. Kata Ibu warung nasi juga, Mas Haris datangnya pagi sama sore. Siangnya entah ke mana?""Lu nggak curiga?" "Curiga lah, pasti. Tapi, gue mau selesaiin satu-satu dulu." "Lu haru
"A-arumi?" Aku tersenyum miring di hadapannya. Tak kusangka, jika wajah yang sok mencintaiku ini, ternyata telah menusukku dari belakang. "Kamu, ngapain di sini?" "Mas sendiri ngapain di sini?" tanyaku. "Oh, a-aku lagi jenguk saudara, Rum." "Oh, yang sakit di dalam itu, saudaramu?" tanyaku. Mas Haris mengangguk. Kupikir, jika ketahuan begini ia akan marah atau apa? Mengingat kemarin dia mengatakan benci dan dendam padaku ke temannya sewaktu di cafe. Tapi lihat lah sekarang. Dia bahkan tak mau menatapku. Keringat sebiji jagung keluar dari dahi dan pipinya. Dan sikapnya, kenapa gugup sekali? Ayo lah, Mas! Keluarkan kebencian yang kamu beritahu kemarin. "Kok aku nggak tahu kalau ada saudaramu di sini?" tanyaku, mencoba melihat kejujuran dalam matanya. Namun, nihil. Karena ia malah mencurigaiku. "Kamu, kenapa bisa sampai di sini? Kamu, membuntutiku?" "Aku dari rumah teman kemarin. Di sekitar sini juga. Terus nggak sengaja lihat kamu ke sini. Istri mana yang tak curiga?" tanyaku
"E-enggak, kok. Aku mengatakan jujur semuanya." "Iya, kah?" Mas Haris mengangguk. Lalu menatap Arumi yang tengah terbaring dengan mata tertutup itu. Sejujurnya, aku tak boleh membencinya meski aku kesal karena Mas Haris ternyata menjadikanku media balas dendam saja. Karena bagaimana pun, Arumi juga korban kecelakaan di mana aku ada di dalam mobil itu. Namun, aku bukan tak ingin tanggung jawab. Bukan kah semua itu kesalahan keluarga Kinos? S*aln emang dia, sudah nabrak malah seenaknya pergi tanpa kabar dan memberi sejumlah uang pada yang bukan keluarga kandung Rumi. Dia malah menempatkan aku di posisi ini. Benar-benar lelaki menyebalkan. Andai saja dia tak kabur, pasti aku tak harus berada di sini! "Kenapa dia koma begini, Mas?" tanyaku. "Dulu, dia ditabrak oleh orang. Laki-laki yang nyetir, di sebelahnya ada pacarnya. Pas malam tahun baru, aku rencana mau jemput dia, mau kuajak ke rumah Ibu untuk liburan. Tapi, aku malah mendapati kecelakaan itu di depan mataku sendiri." Aku bis
"A-arumi." Untuk sesaat aku tertawa. Bukan seperti ini yang kuharapkan. Aku malah berharap Mas Haris bisa memarahiku agar aku bisa melampiaskan amarah ini. Tapi apa ini? Ia malah tak berkutik hingga membuatku bingung. "Aku nggak bermaksud-""Sudah, aku mau pulang. Kamu kalau mau di sini, silakan. Seperti katamu, dia butuh kamu, Mas. Sementara aku istrimu, hanya lah orang lain yang ingin kamu balaskan dendamnya. Aku, tak berhak kamu lindungi. Tak berhak kamu cintai, dan tak berhak kamu ngertiin perasaannya. Aku..." Mas Haris memelukku. Seketika air mataku mengalir deras. Allahu Rabbi ... Kenapa aku terjebak di pernikahan yang menyesakkan ini? "Lepas, Mas. Nggak usah akting lagi. Aku sudah tahu semuanya," ucapku sambil melepaskan pelukannya dan pergi keluar.Tak kuhiraukan panggilan Mas Haris. Aku terus berjalan menuju mobil Kalisa dan meminta wanita itu masuk ke mobil. Setelahnya kusuruh ia melajukan mobil menuju rumahnya. "Lu yakin mau pulang ke rumah gue dulu? Nggak mau ke cafe
"Bilang saja, bakal lu jelaskan besok ketika pulang. Ntar gue anter." "Serius?" "Iya, lah. Ga tega gue lihat lu lagi kaya gini malah pulang duluan." "Ya kan pakai ojek online." "Tetep aja, lah!""Ya udah." Aku pun mengetik sesuai saran yang dibilang oleh Kalisa tadi, lalu membuka media sosial. Banyak sekali teman-teman dunia maya yang memposting foto bersama pasangannya. Jika diingat-ingat, aku memang jarang sekali mengambil foto bersama Mas Haris. Mungkin ia malas, karena bagaimana pun, dalam hati dan pikirannya, aku adalah orang yang telah menyebabkan tunangannya koma. --Pagi hari. Aku sudah bersiap untuk pulang. Semalaman telepon dan pesan beruntun datang dari Mas Haris. Kuabaikan, hingga akhirnya tak tahan mendengar deringnya lalu kumatikan ponsel. Saat kubuka, hampir seratus pesan yang masuk. Tujuh puluh pesan darinya. Hanya spam memanggil namaku. "Kenapa? Haris ngehubungi?" "Iya, semalam. Kok bawa koper?" "Gue udah ngehubungin laki. Mau nginep di rumah nyokap." "Wah,
Seketika kepalaku sakit. Kata-kata yang dilontarkan oleh Mas Haris semakin berputar di kepala. "Arum? Arumi?" Aku langsung melepaskan tangan Mas Haris yang ada di pundakku. Saat ini tujuanku hanyalah Bunda. Aku segera berdiri, meski Mas Haris sempat menghalangi, namun aku segera menghentakkan tangannya. "Arum!" Aku berlari ke rumah Bunda, sampai di sana Kalisa masih duduk bersama Bunda. Matanya berkaca menatapku. "Bunda, jujur sama Arumi. Apa yang pernah terjadi?" "Bunda... Bunda ..." "Bunda! Katakan!" teriakku. "Rum! Jangan bentak bundamu!" bentak Kalisa. Seketika aku terdiam. Ya Allahu Rabbi! Apa yang telah kuperbuat? Astaghfirullah. "Bunda, maafkan Arumi, Bun. Arumi cuma ...""Kamu memang nggak ingat apa-apa setelah kejadian itu, Nak." Aku terdiam mendengar kata-kata Bunda. Aku tak ingat apapun? "Kamu memang sadar di tempat saat mengalami kecelakaan. Kamu bahkan teriak histeris saat melihat orang yang tertabrak itu. Tapi, setelahnya kamu pingsan. Sadar-sadar di rumah sa
Ting!Sebuah pesan masuk, dari Kalisa. Kubuka dan kubaca. [Bunda pasti punya alasan kenapa nyembunyiin semua ini dari lu. Saran gue, coba dengarkan dulu penjelasan Bunda. Gue pamit pulang ke rumah nyokap dulu. Nanti sore ke sini.] Kuletakkan lagi ponsel, lalu mencoba memejamkan mata. Hati tak tega marah pada Bunda, tapi bagaimana lagi? Aku punya alasan untuk melakukan itu. Aku berpikir lagi. Apa yang terjadi waktu itu? Kenapa aku sama sekali tak ingat? Kata Bunda dan Mas Haris aku bahkan histeris melihat tubuh Arumi. Memangnya Arumi bagaimana? "Aah, kepalaku sakit." Kurasakan nyeri yang teramat di bagian kepala. Sepertinya nihil, aku tak dapat mengingat apapun. --"Rum, ini Ayah." Aku membuka mata saat mendengar suara Ayah di balik pintu. Aku mencoba untuk duduk. "Boleh kami berikan kejelasan? Mau sampai kapan kamu mengurung diri? Keluar lah, biar Bunda jelaskan semuanya." Kali ini suara Bunda yang terdengar. Mau tak mau, aku akhirnya keluar setelah berpikir beberapa saat. Di
Kutatap dua bola mata Mas Haris. Ia masih diam membeku, mungkin tak menyangka jika aku akan menantangnya seperti ini. "Mas? Kenapa diam saja?""A-aku...""Kenapa? Apa sekarang kamu ragu, Mas?" tanyaku. "Bukan begitu, tapi..." "Lalu?" tanyaku."Aku..." "Intinya ini semua memang salahku, kan? Meski yang menabrak mantan pacarku, tapi aku ada di dalam mobil yang sama. Maka, aku takkan menceritakan pada siapapun tentang ini semua, termasuk Bunda. Jadi, kamu bebas membalaskan dendammu padaku." Aku berdiri, hendak masuk ke dalam kamar. Rasanya lelah sekali badan ini. Harus menghadapi fakta yang berkali-kali membuat tubuhku bergetar. "Aku, dengar semuanya tadi," ucap Mas Haris sambil mencekal tanganku. "Dengar apa?" tanyaku tanpa menoleh padanya. "Semua yang sudah diceritakan Bunda tadi. Aku dengar semua. Aku hendak masuk ke rumah Bunda, tapi urung karena mendengar kalian tengah membicarakan hal itu," ucapnya."Lalu?" Mas Haris menatapku. Yang membuatku terkejut, matanya memerah. Dia