Share

Bab 7

"Lu yakin dengan jelas kalau itu adalah Arumi bini lu?"

"Iya. Dia sama mantan pacarnya dulu. Si Arumi sih kayaknya tidur. Makanya ga tahu."

"Masa iya, tidur sampe ga tahu kalau mantannya nabrak orang? Kalau gak salah, yang nyupir juga banting setir sampai nabrak pohon besar, kan?"

Aku terkejut bukan main. Mantanku menabrak orang saat bersamaku? Maksudnya, Kinos? Memang benar tiga tahun lalu aku mengalami kecelakaan bersama Kinos, tapi setahuku, kami tak pernah menabrak orang. Atau, apakah Bunda merahasiakan semuanya?

"Sayangnya, keluarga Rumi malah menerima kompensasi dari keluarga mantannya yang s*alan itu!"

"Yah, karena Rumi hanya anak angkat di keluarga itu. Sama aja mereka membuangnya, kan?"

Terdengar helaan napas berat Mas Haris. Segitu cintanya kah ia pada Arumi alias Rumi? Jadi, dia mendekati lalu menikahiku hanya karena aku tengah bersama dengan Kinos waktu itu?

Memang benar, waktu itu kami sedang berada di sebuah pesta, aku membantu kakaknya Kinos yang merupakan wedding organizer. Pulang-pulang ketiduran di mobilnya karena terlalu capek. Namun, aku tak tahu apa-apa hingga akhirnya terbangun ketika sudah berada di rumah sakit.

Bunda hanya bilang jika kami menabrak pohon besar karena Kinos ngantuk. Dan bodohnya aku, langsung percaya begitu saja. Ah, Bunda. Kenapa harus berbohong?

"Rum," bisik Kalisa.

Wanita itu menatapku berkaca. Sementara aku dari tadi sudah menahan mendung di pelupuk mata. Sakitnya sudah tak bisa dikatakan lagi.

Kalisa membawaku pergi, yang terpenting sekarang kami sudah mengetahui tentang semua itu.

"Kamu yang sabar, ya, Rum. Si Haris emang keterlaluan banget. Yang salah kan Kinos," ucap Kalisa begitu mobil kami melaju.

Semenjak kejadian kecelakaan itu, Kinos menghilang bak ditelan bumi. Begitupun dengan keluarganya. Kak Winda, bahkan tak bisa kuhubungi. Padahal hampir setiap hari kami melakukan komunikasi.

"Aku benar-benar kecewa dan sakit hati kalau Mas Haris menikahiku karena ingin balas dendam, Lis. Sungguh jahat sekali dia."

"Pasti, lah. Andai aku jadi kamu pun, pasti aku sakit hati. Bahkan kemarin, meski kamu tahan pun, aku bakal ngamuk di sana. Kalau perlu ngereog sekalian. Andai jadi kamu pun," ucap Kalisan sambil menggenggam tanganku.

Kami berteman sudah sangat lama, wajar jika ia pun bisa merasakan, apa yang aku rasakan sekarang. Kuhela napas panjang, aku tak bisa terus menerus begini. Kalau hanya meratap, yang ada aku bakal kecolongan terus dan Mas Haris akan bersenang-senang dibalik kebodohanku.

"Aku harus bergerak, Lis. Nggak bisa terus kaya gini. Besok, aku mungkin aku mendatanginya."

Tepat saat aku selesai berbicara, sebuah panggilan masuk ke ponselku. Dari Bunda.

"Assalamu'alaikum, iya, Bun?"

"Tadi mertuamu ke sini."

"Ngapain?"

"Nanya kok kamu nggak nginep di sana lagi? Terus nanya juga katanya saudara kita ke mana. Bunda bingung harus jawab aja, jadi Bunda bilang aja mereka lagi jalan-jalan."

"Tapi Ibu percaya kan, Bun?"

"Sepertinya, soalnya mereka langsung pulang."

"Alhamdulillah. Bun, maafin Arumi ya, gara-gara Arum malah Bunda jadi berbohong."

"Nggak papa. Asal setelah ini, ceritakan semua pada Bunda, agar semuanya terbuka tanpa satu pun yang ditutupi."

"Baik, Bun."

Aku menutup telepon, lalu lagi-lagi menghela napas. Meski merasa kecewa pada orang tuaku, aku yakin kalau mereka punya alasan di balik ini semua.

"Gue bener-bener nggak nyangka kalau dijadiin bahan balas dendam sama Mas Haris. Yang nyetir, Kinos. Yang nabrak, Kinos. Tapi kenapa gue yang kena? Kenapa hidup nggak adil begini?" Lagi, air mataku mengalir deras.

Mengingat jika selama tiga bulan ini, Mas Haris menjalani hidup rumah tangga kami tanpa cinta. Hanya aku yang mencintainya, sementara ia membenciku. Siapa yang akan bertahan?

"Apa nggak sebaiknya lu tanya aja langsung? Biar semuanya jelas?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status