Kuhela napas, lalu membuka pintu karena kamar mandi terletak di dekat dapur. Aku harus melaksanakan salat magrib yang sebentar lagi waktunya akan habis. "Rum." Kulihat Mas Haris tengah duduk di meja makan. Wajahnya memerah, namun sekuat mungkin kutahan untuk tak memedulikannya. Aku berada di kebimbangan. Antara cinta dan kecewa. "Aku mau salat, habis itu mau tidur. Jangan ganggu dulu, Mas. Aku butuh waktu." Kali ini, Mas Haris diam tak membantah. Ia mungkin menyetujui permintaanku barusan. Bagus lah. --Pagi hari.Aku terbangun, dan sedikit terkejut melihat Mas Haris sudah berdiri di depan pintu kamarku dengan memegang sajadah dan juga memakai baju koko. Ini kali pertama, aku melihatnya mau salat tanpa harus aku bangunkan terlebih dahulu. "Mau salat bareng?" tawarnya.Aku mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Setelah melaksanakan salat subuh, Mas Haris menawarkan untuk membuatkan sarapan. Apa ini? Kenapa ia berlebihan sekali? "Cukup aktingnya, Mas.""Siapa yang aktin
"Ke-kenapa, Mas?" tanyaku, meski dalam hati sudah bisa menebak alasan apa yang membuatnya begitu bahagia. "Arum, Rumi sadar." Tiba-tiba tubuhku oleng. Aku mundur satu langkah ke belakang hingga memegangi kursi makan. Rumi, sudah sadar? Lalu, bagaimana ke depannya? "Oh, ya?" Mas Haris mengangguk. "Aku akan ke Kota dulu." Aku menatapnya. Baru saja ia mengatakan cinta padaku, namun kini sudah akan pergi menemui tunangannya di masa lalu? Bagaimana aku bisa yakin dengan cintamu, Mas? "Aku ikut," ucapku. "Ikut? Kenapa?" "Kok kenapa? Bukannya aku istrimu?" "Iya, tapi nanti Rumi..." "Bukan kah katamu, kamu mencintaiku? Apa sekarang cinta itu tiba-tiba lenyap karena kamu mendengar Rumi telah sadar?" tanyaku. "Bukan begitu maksudku, tapi-" "Aku ikut." Aku pun masuk ke dalam kamar, berganti pakaian dan menyiapkan pakaian ganti. Karena aku memiliki firasat, Mas Haris akan di sana selama beberapa hari hingga akhirnya nanti harus kembali bekerja. Dalam perjalanan, kami sama-sama diam
Mas Haris membelai rambutku. "Kita pikirkan itu nanti."Semakin lama aku di sini, semakin overthinking. Membayangkan yang tidak-tidak, sampai rasanya ingin berteriak. "Kita pulang saja, Rum." "Tapi Rumi?" "Nggak papa, ada dokter." Aku pun mengangguk, tepat saat aku berdiri dan hendak berbalik, tiba-tiba Mas Haris terdiam. Tangan yang menggenggam tanganku, terasa bergetar. "Mas, kamu kenapa?" Tanpa menjawab pertanyaanku, Mas Haris berbalik menuju ranjang Arumi. Aku hampir saja terlonjak melihat tangan kiri wanita itu, menggenggam tangan Mas Haris. Perlahan, mata wanita itu membuka. Hingga akhirnya sempurna terbuka. Mas Haris berteriak memanggil dokter yang untungnya masih di sini. Hingga akhirnya Arumi dinyatakan sadar dari Koma. Aku terduduk di sofa dekat ranjang Arumi. Ada perasaan semacam lega, takut, dan juga malu di hadapannya. Wanita itu, tersenyum pada Mas Haris. Cantik. Dan aku, begitu cemburu. Allahu Rabbi ... Masih pantas kah Hamba untuk merasakan perasaan semacam i
Tapi bohong! Aku malah berdiri di depan kamar. Menyaksikan dua insan itu tengah saling menatap satu sama lain. "Kenapa, Mas?" "Nggak papa, istirahat lah. Aku mau keluar dulu." Aku langsung berbalik saat Mas Haris hendak keluar, lalu menyandarkan diri pada dinding kamar ini. "Aku pamit pulang dulu. Aku bisa saja, langsung pulang. Tapi, aku masih menghormatimu sebagai suamiku." "Maaf, Rum," ucap Mas Haris sambil memegang tanganku. "Tak apa, selesaikan urusanmu di sini," ucapku sambil menatap ponsel. Sedari tadi Bunda menelepon. Mungkin karena kami tak ada di rumah. "Jangan pergi." "Bunda sudah nelepon." "Tapi kamu istriku, Rum."Aku hanya tersenyum, kemudian membenarkan letak tas dan keluar sambil memesan ojek online. Mas Haris membuntutiku sampai ke luar, hingga tiba-tiba... "Aaaaaa!" Aku dan Mas Haris segera masuk. Di sana sudah ada Reni dan Maria. Pelan, tangan Arumi membuka selimut yang satu lagi. Ia bertambah histeris karena melihat sebelah kakinya tak ada. Aku memejamk
"Nggak. Sudah, jangan banyak pikiran. Aku ada di sini," jawab Mas Haris. "Dari semalam, aku bertanya-tanya. Dia, siapa, Mas?" tanya Rumi, sambil menatapku. Mas Haris menarikku hingga aku berdiri di sampingnya. Detak jantungku berdetak lebih kencang, Mas Haris akan memperkenalkanku pada Arumi?"Kenalkan, ini Arumi." "Wah, nama kita sama?" tanyanya sambil berbinar. Seolah lupa dengan pertanyaannya pada Mas Haris. Kuakui, lelaki itu mahir sekali mengalihkan pembicaraan. Mas Haris menatapku dengan memohon, dan aku tahu arti tatapannya itu. "Iya, nama kita sama." "Jadi, hubungan kalian apa?" tanya Rumi, lagi. "Kami..." Mas Haris malah menatapku. Kuhela napas panjang, sabar, Rum. Sabar. "Aku adalah sepupunya Mas Haris, dari pihak ayahnya iya," ucapku. --"Kamu harus beri tahu Ibu, Mas. Bagaimana pun, lusa kamu sudah mulai masuk kerja," ucapku sambil menyantap bakso di depan rumah sakit. Arumi baru saja minum obat, dan sekarang tengah tertidur. "Aku, cuma belum siap aja, Rum. Bagai
"Anda siapa, megang-megang istri saya?" tanya Mas Haris pada Kinos. "Istri? Kamu, sudah menikah, Rum?" Aku mengangguk, Mas Haris menatap tak suka pada lelaki itu. Apakah dia lupa wajah Kinos? "Mas, dia Kinos. Mantan pacarku." Mas Haris terdiam, mungkin otaknya tengah berpikir keras. Setelah beberapa menit, umpatan keluar dari mulutnya. Dengan penuh amarah, dia menarik tubuh Kinos masuk dan di hadapan Rumi, ia hentakkan hingga Kinos menjauh beberapa langkah. "Lihat hasil perbuatanmu!" teriak Mas Haris. Aku berusaha menenangkannya, karena ini adalah rumah sakit. Kinos terdiam. Matanya membeliak melihat tangan dan kaki Rumi yang tak lagi sempurna. Mungkin ia masih bingung dengan maksud Mas Haris. "Dia, korban kecelakaan tiga tahun lalu. Yang keluarganya, dikasih uang oleh keluargamu," ucapku. Sementara Rumi bingung sambil menatap kami secara bergantian. "Mas, ada apa ini? Kenapa kamu narik-narik orang masuk?" tanya Rumi keheranan. "Dia, orang yang telah menabrakmu, Rum," ucap Ma
POV HARIS "Katamu, dia saudaramu, Mas. Kenapa sepertinya kamu mengkhawatirkannya?" tanya Rumi saat beberapa kali aku menoleh ke arah pintu, berharap Arum segera datang. Rasanya hati tak tenang, jika ia berduaan dengan mantannya. Ada luka di hati, dan terasa seperti terbakar. "Ya dia kan pergi sama orang yang sudah mencelakaimu, Rum. Aku takut saja, bagaimana pun dia saudaraku," kataku beralasan. "Kamu nggak bisa, cuma merhatiin aku aja? Apa, karena keadaanmu seperti ini sekarang, Mas?" tanya Arum. "Ssst! Jangan su'udzon. Aku tak pernah berpikir seperti itu. Nanti malam, aku akan menghubungi Ibu supaya menemanimu di sini dulu. Kamu nggak papa, kan, kalau kutinggal dulu?" tanyaku. "Nggak papa. Kan ada Arum?" "Masalahnya, dia juga ikut pulang." "Kenapa?" "Besok kan hari senin, Rum. Aku gak enak sudah merepotkannya dua hari ini." "Ah, iya juga. Aku minta maaf sudah merepotkan kalian, ya." "Nggak papa," ucapku sambil mengelus rambutnya, tepat saat Arum datang bersama lelaki bena
"Arum, ini Ibu belikan buah tadi," ucap Ibu Mertuaku saat berkunjung ke rumah. Aku yang tengah menjemur baju, terkejut mendengar suara Ibu mertua yang tiba-tiba datang. Pasalnya, beliau tak memberi kabar terlebih dahulu. "Walah, repot-repot, Bu." "Nggak repot, kok. Oh iya, mana Haris?" tanya Ibu. "Mas Haris lagi di toko Ayah, Bu. Mau ambil paku katanya." "Oalah." "Ibu tumben banget ke sini nggak ngomong-ngomong?" "Ya biarin. Masa ke rumah anak sendiri harus izin?""Bukan begitu, Bu. Kan bisa dijemput sama Mas Haris. Lagian ini hari sabtu, Mas Haris kan libur." Ibu duduk di kursi makan, kuambilkan minuman untuk Ibu dan langsung diteguk habis oleh beliau. "Sini, Rum!" ucap Ibu sambil menarik kursi di sebelahnya. Aku pun menuruti Ibu, dan duduk di sebelah beliau. Roman-romannya, beliau ingin mengatakan sesuatu yang penting. "Kenapa, Bu?" "Ibu kepikiran terus, soal si Rumi." "Memangnya kenapa?" tanyaku. "Nggak tenang rasanya dia di sana cuma sama asisten rumah tangga doang."