"Ya, dia lagi sama mantan tunangannya. Mana koma, ya mana sempet inget sama gue. Sepertinya, Mas Haris memang punya dendam sama gue. Tapi apa?"
"Masa iya, dia nikahin lu karena dendam? Sejahat itu dia?"Aku terdiam. Iya juga. Lagi pula, berkali-kali aku memikirkannya, aku tak merasa pernah bertemu dengannya sebelum dia bekerja di tempat yang sama denganku dulu."Udah lu inget-inget?"Aku menggeleng. Sampai kepala pening pun, aku tak menemukan jawabannya. Apa ada alasan lain?"Sudah lah, kamu istirahat saja. Nanti sore, kita ke cafe yang semalam aku kunjungi. Siapa tahu Haris ada di sana."Aku mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar Kalisa. Sementara dia membersihkan meja. Padahal aku telah menawarkan bantuan, tapi dia malah menolaknya.Kupandangi wallpaper ponselku, Mas Haris tersenyum lebar di sana. Tak menunjukkan ada dendam atau kebencian yang ia tunjukkan padaku. Benarkah kalau aku hanya terlalu perasa?Ting!Sebuah pesan masuk, dari Mas Haris.[Rum, maaf semalam Mas lupa ngabarin kalau sudah sampai. Langsung tidur karena kecapekan, terus tadi pagi bangunnya kesiangan dan langsung ke kantor. Sampai lupa belum ngabarin istri Mas yang cantik ini.]Aku tersenyum kecut. Dia bahkan sudah memikirkan jawaban paling masuk akal untukku. Seandainya aku tak tahu kebenarannya, mungkin saat ini aku tengah memaklumi dan percaya begitu saja padanya.Sungguh b*d*h diri ini! Selama tiga bulan dibohongi begitu saja. Bukan tiga bulan, tapi hampir dua tahun jika menghitung masa pacaran kami juga.Allahu Rabbi, Mas! Benar-benar tega kamu.[Iya, nggak papa kok, Mas. Namanya sibuk dan capek. Asal jangan nyari istri baru aja, ya?]Kububuhkan emot ngakak, meski ekspresi asliku amat lah datar.[Oh, nggak dong. Satu aja cukup, ngapain dua.] Balasnya, dengan emot ngakak juga.Kuletakkan ponsel di atas nakas, lalu kembali menerawang. Mas Haris, mengajakku ke semua tempat yang menjadi favoritenya dengan mantan tunangannya, Arumi juga.Apa ia, tengah mencoba menemukan sosok Arumi dalam diriku karena nama kami sama? Aku, hanyalah pelariannya saja karena tunangannya kala itu koma?Sebesar itukah cintanya pada Arumi yang lain, hingga tega mematahkan hati Arumi yang ini? Aku mengusap wajah. Cari tahu nanti. Aku takkan pulang sebelum mendapatkan info aslinya.--Malam hari.Aku diajak oleh Kalisa menuju cafe yang semalam ia kunjungi. Ternyata, cafe ini memiliki konsep outdoor dengan live musik. Pantas saja Mas Haris betah.Setelah minuman datang, kami menunggu namun tak ada tanda-tanda suamiku itu akan datang. Padahal, kami berdua sudah memakai masker dan topi sebagai penyamaran. Tentu aku tak melupakan hijab.Baru ketika akan berdiri untuk pulang, muncullah Mas Haris dengan seorang lelaki. Wajahnya nampak murung, tak bersemangat. Aku dan Kalisa pun duduk kembali karena mereka mengambil duduk di belakangku sehingga aku tak kesusahan untuk mendengar semua ceritanya. Entah kenapa aku yakin, kalau Mas Haris akan menceritakan tentang tunangannya, Arumi Putri Nadir."Lu yakin semua baik-baik saja? Arumi ditinggal tak apa-apa?""Iya. Lagian ada suster yang menjaga.""Lu alasan dinas lagi sama bini lu?""Iya. Masa gue jujur kalau mau nemuin tunangan gue di sini? Orang yang gue cinta."Deg!Meski sudah tahu cerita aslinya, namun mendengarnya langsung dari mulut Mas Haris, nyatanya hatiku langsung luluh lantak. Ingin sekali aku bangun dan menyapanya langsung, namun Kalisa sudah menahan dan menggelengkan kepalanya lebih dulu."Kasihan gue sama bini lu.""Ngapain kasihan? Toh rumi jadi kaya gitu karena perbuatan si Arumi juga.""Bisa aja lu salah, Ris.""Nggak. Gue kan ada di sana juga."Deg!Apa maksudnya? Aku, orang yang telah membuat Rumi, tunangannya Mas Haris jadi koma? Ada apa ini?“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
“Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika
NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”
[Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem
“Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera
"Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas