Rinai di luar membuat suasana semakin syahdu. Dua manusia dengan balutan selimut bernama asmara semakin merasakan kehangatan. Bersiap menaiki lakara kehidupan percintaan.Beberapa kali obsidian hitam milik mereka bertatapan, seolah bertanya tanpa suara."Bima.." Sarah bergumam pelan.Bima menyentuh lembut bibir tebal milik Sarah. Memandanginya lama dengan tatapan rakusnya."Sebaiknya aku pulang sekarang." Bima menghembuskan nafas kasar.Lelaki itu berusaha mengubur nafsu yang sudah hampir menyelimuti seluruh tubuhnya."Satu saja, satu ciuman saja lalu kita bisa tidur," ucap Sarah.Entah apa yang Sarah pikirkan, sepertinya gadis itu sudah kehilangan akal."Tapi aku tidak yakin akan bisa berhenti setelah satu ciuman itu." Bima meremas bantal berusaha menyalurkan rasa frustasinya."Baiklah, tidur saja. Hanya berpegang tangan, seperti ini." Sarah berusaha menggenggam tangan Bima."Kamu gadis nakal Sarah." Bima tertawa kecil."Ayolah, kamu akan bergi sebulan. Aku rasa itu sangat lama." Sar
Mengetahui kerabatnya akan datang besok, Sarah segera memacu kendaraannya menuju rumah yang ditempati oleh Amarta. Keluarganya tidak boleh tahu tentang Amarta, sekalipun itu orang tuanya.Sesampainya di sana Sarah mendapati Mbok Inah sedang menyapu halaman. Dengan tergesa-gesa Sarah segera masuk tanpa menyapanya.Pandangan mbok Inah mengikuti kemana Sarah pergi, "Ada apa lagi dengan Non Sarah?" gumamnya.Begitu masuk Sarah tidak melihat Amarta di ruang tamu. Ia langsung menuju kamar yang digunakan oleh Amarta. "Amarta! Bangun. Ada hal penting yang harus aku sampaikan." Sarah mengetuk pintu kamar cukup keras.Namun hening, tak ada jawaban dari dalam. Merasa tak dihiraukan, akhirnya Sarah terpaksa mendobrak pintu namun gagal. Ia mengusap lengan atasnya merasa kesakitan, dan tak lama kemudian pintu terbuka."Kenapa? Sepagi ini kamu sudah ribut!" Tanya Amarta tak peduli."Aku harus bicara serius. Ayo duduk." Sarah berjalan menuju sofa di ruang tamu."Sepagi ini? Oke baiklah." Amarta terl
Hapsari ketakutan karena bertemu kembali dengan pesaingnya yang masih muda dan cantik, sementara dirinya jelas terlihat sebagai nenek-nenek tua. Tangannya yang sudah gemetar menjadi semakin tak terkendali. Hal itu membuat keributan diantara orang-orang yang sudah mengantri ingin membeli gudeg Hapsari. Beberapa orang yang mengetahui sebelumnya Hapsari berbicara dengan Amarta mulai berspekulasi. Namun Amarta dengan santainya berlenggang meninggalkan tempat itu tanpa ada beban. Semua yang Hapsari lihat dan ketahui tentang Amarta akan menjadi asrar diantara mereka berdua. Sesampainya di motel Amarta langsung menelepon Sarah. Harus menunggu cukup lama sampai panggilan itu terjawab. "Sarah, kapan Hadi bisa mengantarkan ku ke Surabaya. Aku harus bertemu Diane." Suara dingin yang penuh tekanan terdengar oleh Sarah dari seberang sana. "Setelah ini aku harus memutus hubunganku dengan Amarta," batin Sarah. "Mungkin besok. Hari ini Hadi masih cuti." Sarah mejawab dengan lantang dari balik te
Setelah melewati berjam-jam perjalanan menuju tempat tinggal Diane, akhirnya Amarta dan Hadi tiba di sana.Sebuah panti khusus lansia yang sudah cukup lama berdiri. Itu dapat dilihat dari model bangunan dengan arsitektur khas kolonial Belanda.Bangunan bercat putih yang sudah usang dengan pilar-pilar besar di bagian depan. Terdapat cukup banyak jendela pada setiap sisi bangunan.Hadi turun bersama Amarta, ditangannya terdapat sebuah bingkisan berisi buah-buahan segar. Sementara Amarta membawa rangkaian bunga Krisan berwarna putih bersamanya."Buah tangan yang mungkin tidak akan sempat Diane makan," batin Amarta begitu melihat bingkisan itu."Mari, Non. Saya akan menanyakan pada petugas berapa nomor kamar Diane." Hadi mempersilahkan Amarta untuk menunggu di lobi, sementara dirinya bertanya pada resepsionis."Halo selamat siang, mau bertanya pasien bernama Diane ada di ruang nomor berapa?" Hadi dengan senyum bertanya pada petugas.Petugas perempuan berseragam oranye itu pun ikut terseny
Melihat cahaya merah keluar dari celah pintu membuat Hadi khawatir. Tanpa berpikir panjang lelaki berkepala plontos itu menerobos masuk tanpa permisi.Saat pintu terbuka, Hadi melihat Amarta dengan sebuah batu bercahaya merah di antara dirinya dan Diane. Batu itu melayang dan jatuh tepat di atas telapak tangan Amarta."Diane...hidupmu berubah karena batu ini. Hal baik dan hal buruk semua berasal dari sini." Amarta menatap Diane yang mulai membuka matanya."Namun, seharusnya kamu ingat...yang menjadi dasar kekuatan batu ini adalah niat pada hatimu. Semakin besar obsesi di dalam hatimu, semakin banyak batu ini menyerap darahmu. Karena itulah batu ini dinamakan batu Ludira," lanjut Amarta."Sepertinya tidak ada gunanya aku menjelaskan ini sekarang, begitupun bila aku menjelaskannya dulu. Semua tidak akan berguna karena kamu bersikeras ingin bersama lelaki itu. Kita sahabat..aku bahkan menyayangimu seperti saudaraku sendiri. Tapi kamu memilih jalan yang sama denganku, dan sekarang kamu ha
Hadi kembali ke kediaman Sarah dengan hati yang cukup lega. Ia tidak menyangka Amarta akan memberikan respon positif."Aku akan melaporkannya pada Nona Sarah besok pagi." Hadi langsung menuju kamar tempat ia tinggal di rumah Sarah.Keesokan paginya Hadi meghadap Sarah. Ia melaporkan semua, kecuali kejadian yang terjadi pada Diane. Entah mengapa hatinya terasa was-was karena sudah menjadi saksi atas kematian tidak wajar Diane, dan dia tidak mau menyeret Nona Sarah pada kemungkinan yang membahayakan."Amarta langsung menerimanya? Tanpa mendebat?" Sarah bertanya untuk kesekian kalinya pada Hadi."Iya Non, saya serius. Nona Amarta langsung setuju." Hadi menjawab sambil memperhatikan jalanan."Aneh...entah mengapa aku merasa ada yang janggal." Sarah menatap kearah luar jendela mobil."Sebaiknya Nona Sarah tidak memikirkan soal Nona Amarta lagi. Fokuslah pada acara besar yang sudah menanti." Hadi memberikan saran."Ya kamu benar. Aku rasa Amarta tidak sekejam itu. Kita sudah membantunya, ma
Bunyi suara peralatan medis mengisi ruang kosong di mana Sarah berbaring. Orang tuanya berada di sana. Menemaninya yang entah dapat hidup kembali atau tidak."Bagaimana ini?" Tanya Bu Laela, suaranya sudah serak dan hampir hilang karena terlalu banyak menangis."Tenanglah Bu. Kita tidak boleh mengabari keluarga Bima dulu. Pernikahan masih jauh, jangan memberikan mereka kesedihan terlalu dini." Pak Agus berusaha menenangkan Istrinya.Samar-samar Sarah mendengar percakapan orang tuanya. Ia bisa mendengar namun tak bisa membuka mata."Dimana ini..." Sarah berdialog sendiri dalam pikirannya.Sarah tak ingat lagi dirinya ada di mana. Rekaman terkahir ingatannya memperlihatkan sebuah truk bermuatan berat melaju kencang ke arahnya. "Sebuah truk.. tabrakan, setelah itu...rasa panas yang seperti membakar tubuhku, wajahku." Dalam keadaan tidak sadar otak Sarah masih aktif mencari jawaban. Ingatan-ingatan yang tergambar abstrak memenuhi otaknya."Akh... Kepalaku sakit. Mungkin lebih baik aku t
Semua orang di dalam ruangan tiba-tiba terdiam. Air muka mereka berubah dari ketakutan menjadi keterkejutan. "Bagaimana kamu bisa tahu?" Pak Agus bertanya dengan mimik wajah lebih serius. "Aku tahu. Sarah mengandung anak lelaki itu, kan? Aku bisa merasakannya." Amarta mendekati Sarah, ia meletakkan telapak tangannya di atas perut Sarah. "Bayi ini, apa kamu rela mengorbankannya?" lanjut Amarta. Manik hitam milik Sarah bergetar samar. Ia bahkan tidak tahu bahwa kini ia tengah berbadan dua. "Aku mengandung anak Bima?" Sarah bertanya di dalam hati. Tiba-tiba saja air matanya menetes, hal itu membuat kelopak matanya yang memiliki luka bakar terasa perih dan panas. "Bagaimana ini? Apa aku harus mengorbankan anak ini?" Sarah dilema. "Jika kalian setuju, kita harus melakukannya di kediamanmu. Tidak boleh ada yang tahu apa yang aku lakukan pada Sarah kecuali orang tuanya." Sarah berbalik menghadap Pak Agus dan Bu Laela. Orang tua Sarah tak memberi jawaban. Bisa di lihat air muka mereka