"Aku ingin tahu apakah kamu sudah berada di Jogja pada malam tahun baru?" Frans lanjut bertanya walaupun Amarta terlihat kebingungan."Memangnya ada apa? Apa hal itu penting? Atau mungkin berkaitan dengan sesuatu?" Amarta mencoba menebak.Amarta cukup kaget mendengar pertanyaan itu dari Frans. Karena perasaannya yakin bahwa apa yang ditanyakan oleh Frans ada kaitannya dengan orang-orang yang ia bunuh."Tidak... Aku hanya penasaran. Ada hal yang harus dipastikan." Frans tersenyum sekilas."Ya kalau begitu aku memilih untuk tidak menjawab." Amarta membuang muka."Apa sudah selesai? Sebaiknya kamu segera pergi karena aku masih ada urusan lain." Amarta beranjak dari duduknya."Baiklah. Wanita cantik seperti mu memang selalu sibuk. Terimakasih sudah meluangkan waktu berharga mu," ucap Frans.Frans berjalan mendekati Amarta. Satu tangannya meraih tangan kanan Amarta, dan dengan lembut Frans mencium punggung tangannya."Aku harap ini bukan pertemuan terakhir kita." Ucap Frans dengan sorot ma
Sarah langsung pergi setelah Amarta mendesaknya untuk bercerita. Namun, sekali lagi ia menutupi fakta itu dari orang disekitarnya. Ia terlalu mencintai Bima hingga ia merasa sedikit lebam bukanlah hal serius. Perlahan Sarah mulai membatasi interaksinya dengan Amarta. Hari demi hari berganti bulan, dan rotasi waktu pun bertemu hingga hitungan tahun. Amarta masih tinggal di villa itu, walau terkadang ia pindah kesana kemari mengikuti mangsanya.Frans sudah lama tidak terlihat disekitar Amarta. Amarta pun mulai bosan dengan kehidupannya yang berjalan hampir sama selama seratus tahun. Hingga suatu hari kabar yang dibawa oleh Hadi menghantarkannya pada rencana balas dendam yang membawa begitu banyak kesenangan.Hari itu hujan deras turun ditengah-tengah gelapnya malam. Kilatan petir seperti sebuah kuas yang sedang menari diatas kanvas hitam. Lukisan itu terbentuk menampakkan goresan penuh kengerian.Tok... Tok... Tok... Suara ketukan terdengar nyaring dari arah pintu depan. Mbok Inah den
Kengerian langit malam dengan gemuruh guntur dan kilatan petir terkalahkan oleh pemandangan di dalam ruangan yang terang dan sunyi. Semua orang menatap Amarta dengan penuh tanya, "Akankah ia bisa menyelamatkan lagi Sarah kali ini?" Begitulah pertanyaan yang terpendam di dalam hati mbok Inah dan Hadi.Amarta tanpa ragu berjalan masuk. Tapak kakinya terukir pada genangan darah di atas lantai. "Hadi, suami Sarah yang melakukan ini semua, kan?" "Ya, benar!" Suara Hadi bergetar.Seharusnya tanpa bertanya pun Amarta pasti sudah tahu jawabannya. Namun wanita dengan surai kemerahan itu masih butuh menyakinkan dirinya.Sarah terbaring tidak karuan di atas tempat tidur. Hampir seluruh sprei sudah berlumuran darah. Di ujung ruangan terdapat pisau dapur yang berlumuran darah."Mbok Inah, ambilkan gunting. Hadi, ceritakan apa yang terjadi sebelumnya." Tanya Amarta seraya mengecek kondisi tubuh Sarah."Seperti biasa saya menunggu di teras samping rumah setelah bekerja. Lalu Pak Bram datang dan la
Hadi termenung memikirkan pertanyaannya yang tidak dijawab oleh Amarta. Tubuhnya pasrah ditarik pergi oleh mbok Inah keluar rumah. Mereka segera masuk kedalam mobil setelah mematikan seluruh aliran listrik di rumah itu."Hadi! Sadar! Ayo cepat hidupkan mobilnya!" bentak mbok Inah.Hadi masih terdiam, hingga sebuah pukulan cukup kencang yang mendarat di kepalanya membuat ia sadar."Ah iya, maaf mbok. Saya banyak melamun." Hadi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu langsung pergi cukup jauh meninggalkan area rumah itu.Dalam keadaan gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun, Amarta memulai ritualnya. Amarta memejamkan kedua matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Dalam satu kali hentakan nafas, netra kecoklatan itu berubah menjadi warna emas yang menyala.Amarta segera membuat simbol pemanggilan dari darah Sarah yang tercecer di lantai. Walaupun keadaan gelap gulita, Amarta tidak merasa kesusahan sedikitpun seolah kegelapan adalah teman baiknya.Setelah simbol pemanggilan s
Amarta berlari ke luar rumah dengan kaki telanjang berlumuran darah. Beberapa kali ia hampir terjatuh karena kakinya yang licin."Bu Laela?" Bisik Amarta begitu melihat seorang wanita tergeletak di depan rumah. Seketika kedua kaki Amarta seperti kehilangan tenaganya. Perlahan ia mendekati tubuh Bu Laela yang sudah terbujur kaku diatas tanah.Bersamaan dengan itu sebuah mobil datang memasuki halaman, dan dengan cepat Hadi dan mbok Inah berhamburan keluar menuju tempat Amarta dan Bu Laela berada."Ya ampun!" Pekik mbok Inah. Mbok Inah terduduk lemas diatas tanah.Hadi tak dapat menahan Isak tangisnya, lelaki itu pun terduduk didekat tubuh Bu Laela."Ibu! Bu Laela! Bangun Bu!" Hadi berusaha membangunkan Bu Laela. Hadi mengguncang tubuh Bu Laela. Hingga akhirnya Amarta menghentikan itu semua."Cukup Hadi! Bu Laela sudah meninggal!" Ucap Amarta."Kenapa bisa begini? Ayo, non! Hidupkan lagi Ibu Laela!" Hadi terisak.Amarta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini diluar kendalinya, semua
Sarah meremas kasar rambutnya. Jemarinya penuh dengan darah yang sudah mengering. Ia sadar, dan ingat apa yang sudah ia alami."Bima! Teganya kamu..." Suara Sarah bergetar marah. Ia menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata.Hadi dan mbok Inah yang masih terkejut hanya bisa terdiam menatap Sarah dengan rasa iba."Mbok Inah, Pak Hadi. Tolong bantu aku. Sekarang kalian bersihkan kamarku, jangan sampai ada jejak yang tertinggal. Lalu jasad ibu... " Sarah terdiam sejenak. "Urus semuanya, pastikan tidak ada jejak yang tertinggal," lanjutnya.Keesokan paginya kediaman Sarah mulai ramai. Beberapa polisi dan tim medis mulai berdatangan. Sarah memainkan perannya dengan baik- duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembab. Sampai akhirnya jasad Bu Laela dibopong kedalam mobil ambulans untuk otopsi.Kabar ramai dikediaman Sarah langsung sampai pada Bima. Awalnya lelaki itu gusar, namun ia tak menyangka ternyata jasad yang ditemukan di sana bukanlah Sarah.Rasa penasaran dan ketakutan akan
Aku Amarta, seorang gadis yang tidak pernah menua. Tentunya itu bukan nama asliku. Aku selalu pergi ke tempat berbeda dengan memakai nama yang berbeda pula. Namun, entah mengapa 'Amarta' sangat lekat di hatiku. Aku jatuh cinta pada nama itu.Aku ingat betul siapa yang memberiku nama itu. Seorang lelaki yang rela meninggalkan istri juga anaknya untuk datang padaku. Lelaki berkebangsaan Belanda yang ditangannya sudah penuh dengan darah orang pribumi. Kami banyak menghabiskan malam bersama, namun lucunya sampai saat terakhir pun aku tak tahu siapa namanya. Dia mungkin mengira aku wanita cantik bodoh yang hanya ingin hidup aman, namun sebenarnya dialah yang sedang mempersiapkan upacara pemakaman.Pada malam terakhir kami bersama, seperti biasa dia datang ketempat dimana kami biasa bertemu. Aku sudah tahu apa yang ia mau. Beberapa adegan panas di atas ranjang, juga sedikit kata-kata asmara sudah membuatnya mabuk dan tak sadar akan dunia.Tanpa ia sadari, akupun mengambil energi yang ia mi
"Aku akan memberikanmu pilihan. Mati sekarang seperti temanmu ini, atau bantu aku membawa gadis itu ketempat ku menginap. Bagaimana?" Aku tersenyum padanya, sedangkan ia menatapku penuh dengan kengerian. Ia hanya mengangguk tak jelas. Aku dapat melihat tangan kekarnya gemetar tak karuan. Sesekali matanya melihat sekilas teman yang beberapa saat lalu mengalami kejadian diluar nalar. "Ayo, sebelum wanita itu mati. Atau mungkin kamu yang lebih dulu mati?" Aku menggodanya. Dengan sigap lelaki itu menggotong wanita yang tubuhnya sudah mulai dingin itu. Sementara aku mengambil tas dan memasukan barang-barang yang sudah berserakan di atas jalanan. Lobi hotel sudah sangat sepi, hanya tersisa satu orang resepsionis yang menjaga. Lelaki berusia sekitar awal 20an nampak terkejut dengan apa yang aku bawa. "Sshhhtt." Aku menempatkan jari telunjuk didepan bibir merah ranum milikku. Lelaki itu mengerutkan keningnya. Namun aku membalasnya dengan senyuman penuh ketenangan. "Apa aku bisa memint